Aira tak menyangka jika pernikahan harmonis yang ia bina kini hancur lebur, karna orang ketiga.
Dunianya hancur, hingga sebuah kecelakaan menimpanya dan membuat ia koma. setelah sadar, ia dihadapkan dengan seorang pria yang tiba-tiba saja menjadikannya seorang budak. hingga dimana Aira dijadikan bak seorang tawanan oleh pria misterius itu.
sementara disisi lain, Rayyan berusaha menjalani dendam yang diamanatkan padanya dari sang ayah. dendam yang begitu membuatnya berapai-api pada Aira.
akankah Rayyan berhasil menuntaskan dendamnya? atau malah rasa cinta timbul dihatinya untuk Aira?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annavita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan pakaian santai yang nyaman, Rayyan melangkah menuju ruang kerjanya. Ruangan itu, yang biasanya menjadi tempatnya untuk merencanakan strategi dan menganalisis informasi, kini terasa seperti medan perang yang siap ia taklukkan.
Rayyan duduk di kursi kerjanya, merasakan kenyamanan yang familiar di bawahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dan memfokuskan pikirannya. Ia tahu bahwa ia harus tetap tenang dan rasional jika ingin berhasil dalam misinya.
Dengan gerakan perlahan, Rayyan membuka laci meja kerjanya. Di dalamnya, ia menemukan sebuah foto yang sudah usang, namun sangat berharga baginya. Foto itu menampilkan beberapa pasukan polisi dengan senjata lengkap, berdiri dengan gagah berani di depan sebuah gedung pemerintahan.
Rayyan menatap foto itu dengan tatapan yang penuh dengan emosi. Di tengah kerumunan pasukan polisi itu, ia melihat kedua ayahnya, ayahnya yang kandung dan ayahnya yang angkat, berdiri tegak berdampingan dengan Pandu, pria yang kini menjadi target utamanya. Ketiganya tampak muda dan penuh dengan semangat, seolah dunia berada di bawah kendali mereka.
Rayyan menyimpan foto itu kembali ke tempatnya dengan hati-hati, seolah ia sedang menyimpan sebuah harta karun yang rapuh. Lalu, ia mengambil sebuah pistol yang juga berada di samping foto itu. Pistol itu, yang terbuat dari baja yang dingin dan berat, terasa pas di tangannya.
Rayyan mengusap pistol itu dengan lembut, seolah ia sedang membelai kekasihnya. Ia membayangkan bagaimana rasanya menarik pelatuk itu, bagaimana rasanya melihat Pandu tersungkur di tanah dengan darah yang mengalir dari tubuhnya. Ia merasa bahwa ia siap untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.
*
Beberapa hari kemudian, suasana di kantor Rayyan terasa berbeda dari biasanya. Ada aura ketegangan yang menyelimuti setiap sudut ruangan, seolah badai akan segera datang menghantam.
Beberapa orang penting, dengan jas mahal dan wajah serius, terlihat mondar-mandir dengan gelisah. Hari itu adalah hari yang telah lama ditunggu-tunggu oleh Rayyan, hari di mana ia akan bertemu langsung dengan musuh bebuyutannya, Pandu.
Pandu tiba di kantor Rayyan dengan dikawal oleh beberapa pengawal bertubuh kekar. Pria itu tampak berwibawa dan percaya diri, seolah ia adalah penguasa dunia. Ridwan kepala tim Rayyan dan anggota tim lainnya menyambut kedatangan Pandu dengan senyum ramah.
"Selamat datang di kantor saya, Pak Pandu," ucap Ridwan dengan hormat. "Suatu kehormatan bagi saya bisa bertemu dengan Anda."
"Aku dengar kalian merekrut orang paling hebat di bidang ini," balas Pandu memuji
"Oh, iya. Perkenalkan ini Rayyan ahli IT kami, dia lulusan terbaik di Amerika" balas Ridwan mengenalkan Rayyan pada Pandu.
Rayyan mengangguk salam hormatnya, dan dengan sempurna ia menutupi dendamnya pada Pandu saat ini.
"Rayyan" sapanyanya memperkenalkan diri.
"Ternyata masih muda. Jarang sekali orang muda sepertimu bisa mengandalkan IT di pemerintahan ini" balas Pandu
"Terimakasih, Anda terlalu memuji," jawab Rayyan dengan rendah hati. "Saya hanya melakukan sebisa saya saja."
Keduanya berjabat tangan dengan erat, saling bertukar senyum palsu. Di balik senyum itu, keduanya menyimpan dendam dan kebencian yang mendalam. Pandu tidak tahu bahwa Rayyan adalah anak dari pria yang telah ia khianati, dan Rayyan tidak sabar untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.
Saat tengah berbincang, Rayyan sekilas menatap ponsel Pandu yang tergeletak di atas meja. Ia berpikir keras, mencari cara untuk membuat Pandu meninggalkan ponselnya sejenak. Ia tahu bahwa di dalam ponsel itu terdapat informasi penting yang dapat membantunya mengungkap kejahatan Pandu.
*
Saat pertemuan berlangsung, Rayyan menyadari Pandu mulai gelisah, tanda ia ingin ke toilet. Ini adalah kesempatan emas.
"Tuan Pandu, apakah anda ingin menikmati kopi yang baru saja kami buat? Saya jamin anda akan menyukainya" tawar Rayyan
"Ah, maaf Rayyan. perut saya sedikit bermasalah, mungkin saya akan ketoilet sebentar" balas Pandu
"Tentu saja, Tuan. Silahkan, toilet ada diujung ruangan ini" ucap Rayyan sembari mengarahkan Pandu
Untung saja tim yang lain pergi sejenak karna masalah yang terjadi pada sistem mereka, sementara Rayyan diminta untuk menemani pandu saat itu.
Saat Pandu beranjak, Rayyan dengan sigap memberikan kode pada salah satu asistennya yang sengaja bekerja disana sebagai petugas kebersihan, untuk membantu pekerjaan Rayyan. Asisten itu mengangguk paham dan mulai bersiap. Pandu meletakkan ponselnya di meja begitu saja sebelum menuju toilet.
Begitu Pandu masuk toilet, asisten Rayyan dengan cepat namun tenang mendekati meja. Ia memastikan tidak ada yang melihat, lalu memberikan sebuah alat kecil pada Rayyan. Rayyan menerimanya dengan gerakan cekatan.
Rayyan mendekati ponsel Pandu. Dengan tangan yang terlatih, ia memasang alat penyadap super tipis ke ponsel Pandu. Alat itu dirancang agar tidak terlihat dan tidak mengganggu fungsi ponsel.
Tak sampai satu menit, Rayyan selesai. Ia membersihkan sidik jarinya dari ponsel Pandu dan kembali ke tempat semula, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Asistennya pun kembali ke posisinya semula.
Saat Pandu kembali, Rayyan menyambutnya dengan senyum ramah. "Semoga anda merasa lebih baik, Tuan Pandu"
Pandu tersenyum lega. Ia tidak menyadari bahwa ponselnya kini telah menjadi mata dan telinga Rayyan.
Saat Pandu hendak meninggalkan ruangan, ia berbalik dengan tiba-tiba, sorot matanya menajam, "Apa kau bisa meretas CCTV?" tanyanya, sebuah pertanyaan yang lebih terdengar seperti perintah yang terselubung.
Rayyan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Pertanyaan ini datang tak terduga, menguji batas kemampuannya dan kesetiaannya. Ia tahu, jawaban yang salah bisa membuyarkan seluruh rencana yang telah ia susun dengan susah payah. Ia menarik napas dalam, berusaha mengendalikan ekspresinya.
"Itu pertanyaan yang menarik, Tuan Pandu," jawab Rayyan dengan tenang, berusaha mengulur waktu. Ia menatap Pandu lurus-lurus, mencoba membaca pikiran pria di hadapannya. "Kemampuan untuk mengakses dan memanipulasi sistem pengawasan adalah aset yang berharga, namun juga tanggung jawab yang besar. Saya yakin, anda lebih dari tahu soal itu."
Pandu tersenyum tipis, seolah puas dengan jawaban Rayyan. "Ah, maafkan saya. Seharusnya saya sudah tahu jawabannya," ucapnya, nada suaranya melembut. "Saya hanya sedang putus asa. Saya ingin meminta bantuanmu untuk menemukan putriku."
Rayyan merasakan sedikit kelegaan, namun kewaspadaannya tetap tinggi. Ia tahu, Pandu tidak akan menyerah begitu saja. Ini mungkin hanya permulaan dari permainan yang lebih berbahaya.
"Tentu saja saya memiliki kemampuan itu, Tuan Pandu," jawab Rayyan dengan nada yang meyakinkan.
"Namun, dengan segala hormat, keahlian saya lebih difokuskan pada keamanan data dan perlindungan informasi. Meretas sistem CCTV bukanlah bidang keahlian utama saya, dan jujur saja, itu di luar lingkup pekerjaan yang kita bicarakan saat ini. Tapi, saya akan dengan senang hati merekomendasikan beberapa ahli yang sangat kompeten di bidang itu jika anda berkenan."
Rayyan memberikan senyuman profesional, menunjukkan bahwa ia menghormati permintaan Pandu, tetapi memiliki batasan yang jelas.
Mendengar jawaban Rayyan yang menolak permintaannya, Pandu merasakan amarahnya bergejolak. Penolakan itu terasa seperti tamparan keras di wajahnya, mengingat posisinya sebagai seorang pengusaha berpengaruh dan berkuasa. Ia tidak terbiasa ditolak, apalagi oleh seorang pemuda yang baru saja dikenalnya. Namun, Pandu berusaha keras untuk menyembunyikan kekesalannya. Ia tidak ingin terlihat lemah atau putus asa di hadapan Rayyan.
Dengan senyum tipis yang dipaksakan, Pandu mengangguk singkat. "Saya mengerti," ucapnya dengan nada datar. "Saya menghargai kejujuran Anda."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Pandu berbalik dan melangkah keluar dari kantor Rayyan. Ia berjalan dengan langkah tegap, berusaha mempertahankan wibawanya. Namun, di dalam hatinya, ia merasa sangat marah dan frustrasi.
*
Begitu Pandu masuk ke dalam mobilnya, ia langsung melampiaskan kekesalannya. Ia menggebrak sandaran tangan dengan keras, membuat sopir dan asistennya terkejut.
"Sialan!" umpat Pandu dengan nada geram. "Sombong sekali anak itu! Dia pikir dia siapa berani menolak permintaanku?"
Asistennya, yang sudah terbiasa dengan perubahan suasana hati Pandu yang tiba-tiba, hanya bisa menundukkan kepala dalam diam. Ia tahu, lebih baik tidak ikut campur saat Pandu sedang marah.
Setelah beberapa saat meredakan emosinya, Pandu kembali fokus pada masalah utamanya, yaitu pencarian Aira. Ia menoleh ke arah asistennya yang duduk di depan bersamanya.
"Bagaimana dengan pencarian Aira? Apakah ada perkembangan baru?" tanya Pandu dengan nada mendesak.
Asistennya menggelengkan kepala dengan wajah lesu. "Maaf, Tuan. Kami masih belum menemukan petunjuk apa pun," jawabnya dengan nada menyesal. "Kami sudah memeriksa semua rumah sakit dan hotel di sekitar kota, tapi tidak ada jejak Aira."
Mendengar jawaban itu, Pandu menghela napas panjang. Ia merasa putus asa dan tak berdaya. Ia sudah mengerahkan semua sumber daya yang dimilikinya untuk mencari Aira, tapi hasilnya masih nihil. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ia akan pernah menemukan putrinya lagi.
Pandu memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri. Ia membayangkan wajah Aira, senyumnya yang manis, dan tawanya yang riang. Ia merasa sangat merindukannya.
"Di mana kamu, Aira?" bisik Pandu dengan nada lirih. "Papa sangat mengkhawatirkanmu."
Dirumah Rayyan Aira tengah melamun menatap kosong ke luar jendela yang terbuka.
*
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan komentar kamu 🥰
guys baca juga ini seru buanget loh... apalagi mantan suami Aira, nanti sadar dan ngejer ngejer lagi tu mantan bini... hoho