 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Rayhan terpukul seperti kehilangan arah, bahkan beberapa panggilan dari rumah sakit ia abaikan begitu saja, pikirannya hanya satu Aisy, yang saat ini benar-benar sudah pergi meninggalkan dirinya.
Hingga pada sore hari Reyhan masih terus meratapi kesedihannya, sampai-sampai Lusi sendiri yang menghampiri anaknya, dan di saat Lusi datang wanita paruh baya itu begitu terkejut melihat kerapuhan sang anak.
Lusi mematung saat sampai diambang pintu kamar Reyhan, tangannya bergetar hatinya ikut hancur. Ia melangkah perlahan mendekat, napasnya tercekat melihat Reyhan terduduk di lantai dengan rambut berantakan, mata sembab, dan beberapa foto Aisy berserakan di sekelilingnya. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara isak tertahan dari putranya.
“Reyhan…” suara Lusi nyaris bergetar.
Namun Reyhan tak menoleh. Ia hanya menatap kosong ke arah foto Aisy yang sedang tersenyum senyum yang kini terasa seperti duri di dadanya.
“Reyhan, Nak… sampai kapan kamu mau seperti ini?” Lusi berjongkok di hadapan anaknya, menatap mata Reyhan yang nyaris tanpa cahaya.
Dengan suara serak, Reyhan akhirnya menjawab, “Bu… dia benar-benar pergi. Aisy pergi karena aku. Aku yang hancurin semuanya.”
Lusi menatapnya pilu. Ia ingin memeluk anaknya, tapi tubuh Reyhan terlalu kaku, terlalu rapuh.
"Kamu tidak salah Nak, di dalam hubungan ini, kamu sudah melakukan yang terbaik untuk dia, bahkan sedikitpun kau tidak ada niatan untuk meninggalkannya, seharusnya sebagai seorang istri yang mempunyai kekurangan ia sadar diri, bukan malah menghancurkan dirinya sendiri," ucap Lusi.
“Tidak, Mi!” potong Reyhan dengan suara tinggi tapi bergetar. “Kali ini aku benar-benar kehilangannya. Dia nggak mau lihat aku lagi, nggak mau dengar suara aku. Semua yang aku lakukan cuma bikin dia menderita!”
Lusi menatap anaknya yang kini menunduk dalam-dalam, bahunya bergetar menahan tangis. Perlahan Lusi menyentuh kepala Reyhan dan berbisik lirih, “Nak, lepaskan saja, dia sudah memilih jalannya sendiri, aku sebagai ibumu gak ridho kalau kamu terus-menerus terpuruk gara-gara dia, dia susah kamu perjuangkan dan kamu pertahankan dengan peliknya masalah yang sedang kamu hadapi, tapi Aisy, apa pernah dia melihat perjuanganmu itu nak? Tidak wanita itu terlalu egois dan memikirkan dirinya sendiri!" cetus Lusi.
"Ini bukan tentang perjuangan dan siapa yang diperjuangkan tapi ini tentang janji, sebuah rumah tangga, aku sudah mengingkari kedua janji, dengan Aisy dan juga dengan kedua orang tuanya, Mi, aku sudah gagal menjaga Ais ... gagal ..."
Air mata Reyhan pun jatuh semakin deras. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa kehilangan, bukan karena Aisy pergi tapi karena ia sadar, cinta yang dulu ia abaikan kini tak mungkin lagi bisa ia genggam.
☘️☘️☘️☘️
Malam harinya, Aisy menatap langit dari jendela kamarnya. Angin berembus lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Namun di dada wanita itu, ada sesuatu yang berdenyut hangat perasaan yang sulit dijelaskan antara haru dan canggung.
Masih terbayang jelas pelukan Zea tadi siang, suara mungil itu yang memanggilnya Mama dengan ketulusan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia memejamkan mata, senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Ya Allah, mungkinkah ini salah satu cara-Mu menenangkan hatiku?” bisiknya lirih.
Tanpa ia sadari ternyata kehidupan membawanya kembali ke pelukan gadis kecil itu.
Aisy mulai memejamkan matanya, tanpa sadar kantuk pun mulai menyerang dan tidak lama, ia menyusuri dunia mimpinya.
☘️☘️☘️☘️☘️
Keesokan harinya, Aisy kembali ke rumah sakit untuk melanjutkan proses administrasi. Namun begitu sampai di bagian HRD, petugas menyambutnya dengan ekspresi sedikit ragu.
“Maaf, Bu Aisy… kami baru menerima kabar dari pihak pelatihan pusat. Ada sedikit kendala,” ujar petugas itu hati-hati.
Aisy menegakkan bahu. “Kendala apa, ya?”
“Surat rekomendasi dari dokter pembimbing Ibu saat magang dulu belum lengkap. Tanpa itu, pelatihan penyegaran tidak bisa diproses.”
Aisy mengerutkan kening. “Tapi dokter itu sudah pindah tugas, setahu saya ke luar kota.”
Petugas hanya bisa menghela napas. “Iya, itu yang membuatnya sedikit rumit, Bu. Tapi kalau Ibu bisa mendapatkan tanda tangan atau surat pengganti dari dokter senior lain yang mengenal Ibu dulu, berkasnya bisa kami proses kembali.”
Aisy terdiam. Dalam hati, semangatnya sedikit goyah. Ia menatap berkas di tangannya lembar-lembar kertas yang seolah menertawakan usahanya untuk bangkit. Tapi kemudian, ucapan psikiaternya kembali terngiang.
“Bangkit itu bukan soal cepat atau lambat, tapi soal seberapa tulus kita ingin pulih.” kata DR vira yang selalu terngiang.
Ia menarik napas panjang dan mencoba tersenyum. “Baiklah, saya akan cari jalan keluarnya.”
☘️☘️☘️☘️
Beberapa hari berlalu, Aisy berkeliling ke beberapa tempat, mencari jejak dokter pembimbing lamanya, tapi hasilnya nihil. Di tengah kelelahan itu, ia memutuskan mampir ke sebuah kafe kecil di dekat rumah sakit untuk beristirahat.
Dan di sanalah takdir kembali mempertemukannya dengan Kenny.
Pria itu tengah duduk di salah satu meja, sedang membantu Zea menulis tugas sekolahnya.
Zea yang pertama kali melihat Aisy. “Mama!” serunya girang, membuat beberapa orang menoleh.
Kenny menoleh cepat, matanya membulat kecil sebelum akhirnya tersenyum lembut.
“Aisy…” sapanya sopan. “Kebetulan sekali bisa bertemu lagi.”
Aisy tersenyum canggung sambil menunduk sedikit. “Iya, tidak menyangka kita sering bertemu akhir-akhir ini.”
Setelah beberapa percakapan ringan, Kenny akhirnya menanyakan kabar Aisy di rumah sakit. Dari nada bicaranya yang jujur dan tulus, Aisy tanpa sadar bercerita sedikit tentang kendala yang sedang ia hadapi.
Kenny mendengarkan tanpa menyela. Setelah Aisy selesai, pria itu menatapnya dengan tenang. “Kalau boleh tahu, dokter pembimbing kamu dulu siapa namanya?”
“Dokter Bima… tapi beliau sudah pindah tugas ke Palembang. Saya tidak tahu cara menghubunginya lagi,” jawab Aisy lirih.
Kenny berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil. “Kebetulan saya mengenal salah satu rekan beliau. Kalau kamu tidak keberatan, saya bisa bantu menghubungi.”
Aisy spontan menatapnya, antara terkejut dan ragu. “Lho, masa iya? Tapi saya tidak ingin merepotkan, Pak Kenny.”
“Tidak merepotkan sama sekali,” jawab Kenny pelan. “Kadang, Tuhan mempertemukan kita di waktu yang tepat bukan untuk kebetulan tapi untuk saling membantu.”
Kalimat itu menembus hati Aisy lebih dalam dari yang ia duga. Ia hanya bisa tersenyum kecil, menyembunyikan getaran halus yang tiba-tiba hadir di dadanya.
Zea yang sedari tadi mendengarkan langsung memeluk Aisy dari sisi kursi. “Berarti Mama nggak pergi lagi kan? Mama mau jadi dokter lagi biar bisa obatin Zea?” katanya polos.
Aisy tertawa kecil, air matanya hampir jatuh. Ia mengelus rambut bocah itu lembut.
“Iya, Sayang. Mama akan berusaha jadi dokter lagi… tapi kali ini, bukan cuma buat orang lain, tapi juga buat Zea.”
Kenny menatap pemandangan itu diam-diam ada sesuatu di dalam dirinya yang pelan-pelan luluh, seolah melihat cahaya kecil di tengah hidupnya yang selama ini sunyi.
Bersambung .....
Ayo kak semangatin Aisy terus ya
 
                     
                     
                    