Teruntuk semua perempuan di luar sana yang masih berjuang untuk bahagia dengan caranya masing-masing.
Ini tentang Bara Wirya. Seorang wartawan kriminalitas yang sedang mengulik kehidupan Dijah yang mengganggu pikirannya.
***
"Kamu ini tau apa sih? Memangnya sudah pernah beli beras yang hampir seperempatnya berisi batu dan padi? Pernah mulung gelas air mineral cuma untuk beli permen anak? Kalo nggak pernah, nggak usah ngeributin pekerjaan aku. Yang penting aku nggak pernah gedor pintu tetangga sambil bawa piring buat minta nasi."
Bara melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Dijah dan melepaskan wanita itu untuk kembali masuk ke sebuah cafe remang-remang yang memutar musik remix.
Bara menghela nafas keras. Mau marah pun ia tak bisa. Dijah bukan siapa-siapanya. Cuma seorang janda beranak satu yang ditemuinya di Kantor Polisi usai menerima kekerasan dari seorang mantan suami.
Originally Story By : juskelapa
Instagram : @juskelapaofficial
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Jalan-Jalan
"Gak usah pake helm ya... Kan udah malem banget," ujar Bara pada Dijah saat mereka telah berada di dekat motor.
"Memangnya kalo malem kepala kita jadi sekeras aspal?" sindir Dijah pada Bara.
"Ya enggak Jah... Cuma kan gak apa-apa. Gak ada Polisi." Bara telah berada di atas motor dengan kedua kakinya menahan kendaraan itu bersiap menerima beban tubuh Dijah.
"Harusnya tetap dipake. Biar aman," ucap Dijah seraya naik ke motor.
"Selain aman, nyaman juga perlu Jah..." sambung Bara.
Dijah ini terkadang memang benar-benar tak mengerti apa maksud hatinya, pikir Bara. Kalau mereka mengenakan helm, pipi mereka tak akan bisa saling bersentuhan saat berbicara di atas motor.
Bara ingin mereka seperti pasangan pacaran lainnya yang mesra di atas motor.
"Pakaian ganti kamu di mana?" tanya Bara.
"Ada di tas ini," jawab Dijah.
"Kalo gitu ke SPBU dulu, roknya tuker. Udah?" tanya Bara menyalakan motormya sambil menajamkan indera perasanya di pinggang menanti tangan Dijah melingkari.
"Udah..." sahut Dijah seraya memeluk pinggang Bara dengan tangan kanannya.
Bara tersenyum. Sudah benar, pikir Bara. Tapi kurang erat. Harusnya Dijah lebih mencengkeram perutnya. Salah satu fungsi motor mahal itu adalah untuk memukau wanita. Dan harusnya Dijah sama seperti kebanyakan wanita yang ingin dibonceng oleh Bara.
Dan membonceng Dijah menggunakan rok ketat seperti itu, sepertinya tidak akan mewujudkan angan romantisme di dalam kepala Bara.
Jadi Bara membawa Dijah ke sebuah SPBU agar bisa menukar pakaiannya. Bara tersenyum di dalam hati. Malam minggu itu dia akan membawa Dijah makan dan nongkrong di tempat yang biasa ia datangi.
"Pake jaket aku lagi." Bara menyodorkan sebuah jaket yang memang tadi dibawanya dari rumah.
"Banyak banget jaketnya," tukas Dijah. "Yang di tempatku juga masih ada. Udah aku setrika. Nanti aku kasi," sambung Dijah lagi.
"Gak apa-apa, disimpen aja dulu. Jaketku emang banyak. Namanya juga naik motor. Ya udah naik, kalo udah pake jeans gitu, kamu kan duduknya lebih nyaman." Alasan saja mengatakan agar Dijah yang lebih nyaman. Padahal, ia juga merasa sangat nyaman saat wanita itu memeluknya.
"Makan di mana?" tanya Dijah dengan kedua tangan yang sudah melingkari perut Bara. Ia berbicara tepat di telinga kiri Bara.
"Hah? Apa?" tanya Bara menoleh sedikit ke kiri. Dan ia seketika merasakan bibir Dijah menyentuh telinganya. Begini ternyata rasanya, batin Bara. Ia merasakan segerombolan kupu-kupu seperti sedang menari di perutnya.
"Makan di mana?" ulang Dijah.
"Makan di tempat aku biasa nongkrong. Mau kan?" tanya Bara menghentikan motornya di persimpangan sebuah lampu merah. Ia kembali menelengkan kepalanya ke kiri. Ia bisa merasakan permukaan bibir Dijah di atas pipinya. Nafas Dijah terasa hangat dan membuat merinding karena menerpa telinganya.
"Di mana aja nggak apa-apa." Dijah menjawab tanpa menjauhkan wajahnya. Ia seperti sedang berbicara di atas permukaan pipi yang disodorkan Bara padanya.
Bara mengatupkan mulutnya. Ia merasa rencananya telah berhasil. Sebelum kembali melajukan motornya, Bara menggenggam tangan Dijah yang berada di atas perutnya sesaat.
Mereka tiba di sebuah cafe kecil yang dilengkapi dengan peralatan live music sederhana di halamannya. Hanya sebuah gitar dan sepasang perkusi untuk keperluan akustik. Beberapa pasang meja dan kursi bulat tersusun di halaman cafe itu.
"Aku biasa sering nongkrong di sini ama temen-temen kantor. Karena aku kuliah di kampus yang sekarang cuma ambil S2, aku nggak gitu deket ama temen di kampus. Lebih sering main ama temen kantor." Bara berbicara sambil terus berjalan menggandeng tangan Dijah.
"Mas Bara!" panggil Bayu yang melihat kedatang Bara.
"Udah lama?" tanya Bara sambil menyambut sebuah isyarat TOS dengan kepalan dari Bayu.
"Lumayan. Berdua aja? Yang kemarin pesenku udah disampein belom?" tanya Bayu.
"Pesen apa?" Bara balik bertanya.
"Salam untuk mbak rambut merah..."
"Eh itu ada meja kosong!" seru Bara tiba-tiba.
"Mbak rambut merah? Tini maksudnya?" tanya Dijah yang diseret Bara menjauhi Bayu.
Bara tak mau Bayu banyak bertanya soal Tini pada Dijah. Bisa habis dia nanti. Jaman sekarang, laki-laki dan perempuan tak ada bedanya kalau dalam soal membahas dan mendalami urusan pribadi orang lain.
"Maksud Mas yang tadi itu Tini kan?" tanya Dijah lagi saat mereka telah duduk berdampingan menghadapi meja besi bulat yang masih kosong. Meja itu tak ada taplaknya. Cuma sebuah gelas berisi parafin dengan api kecil.
"Manggil Bayu yang masih lebih muda dari aku bisa pake Mas. Manggil aku nggak mau gitu. Kenapa sih?" Bara memandang Dijah yang tiba-tiba sibuk memandang lilin dalam gelas.
"Kenapa? Panggil aku pake Mas gitu Jah..." Bara menatap Dijah, wajahnya benar-benar cemberut sekarang.
"Katanya mau ngajak aku makan, kalau cuma mau bahas begituan aku pulang sekarang aja. Kakiku sakit. Pegal." Dijah setengah bangkit mengambil tasnya.
Bara dengan cepat memegang tas Dijah yang sejak tadi malam berada di pangkuannya. "Kok gitu sih? Makan dulu," tukas Bara kemudian sedikit menarik lengan Dijah agar kembali duduk.
Makan malam di Sabtu malam itu tidak berjalan sesuai rencana Bara. Ia dan Dijah sama-sama diam. Wanita itu tak ada melontarkan pertanyaan apapun padanya.
Bahkan saat Bayu datang ke meja mereka dengan seorang teman mereka yang lain, Dijah tak ada menoleh sama sekali. Bayu pasti menyadari kalau saat itu Bara dan Dijah baru saja ribut. Percuma sudah punya anak pikir Bara, kenyataan sikap umur 23 tahun itu ternyata tak mudah ditepis.
"Sini tasnya, dicantolin aja. Biar duduknya gampang." Bara meminta tas Dijah yang sekarang tergenggam erat di tangan wanita itu.
"Udah nggak usah, cepet. Aku udah ngantuk." Dijah berkata seperti itu tanpa melihat ke arah Bara.
Bara menyerah kemudian naik ke atas motornya. Dijah duduk di boncengannya dengan tubuh condong namun menggenggam sebuah tas yang menjadi penghalang di antara mereka.
Motor itu memang dirancang untuk tidak mengecewakan pemiliknya. Meski Dijah meletakkan tas di antara mereka, wanita itu tak bisa menghindar saat letak duduknya terus melorot dan kedua kakinya menjepit tubuh Bara.
Keduanya masih diam. Bara yang tak enak hati dan kecewa dengan sikap Dijah yang dinilainya kekanakan, sekarang mulai meniru Dijah. Ikut diam.
Dijah yang sebal dengan sikap Bara yang dinilainya suka memaksa langsung masuk ke kamarnya setibanya mereka kembali ke tempat kos.
Dijah langsung menuju lemari dan mengambil jaket Bara yang sudah disetrika rapi olehnya.
"Ini jaketnya! Bawa aja." Dijah menyodorkan jaket itu pada Bara yang ternyata sudah ikut masuk ke kamar dengan sepasang kaus kaki yang masih melekat di kakinya.
"Kan tadi aku bilang, entar-entar aja. Belum perlu jaketnya. Simpen aja, jaketku banyak." Bara masih berdiri dengan kemeja hitam yang tergulung sampai ke lengannya. Jeans biru muda membalut sempurna tungkainya yang panjang.
Dijah yang sedang sensitif karena lelah sepulang bekerja tak menghiraukan perkataan Bara. Ia mengaduk-aduk sebuah paperbag yang berada di bawah lemarinya.
Paperbag di dalam lemari itu berisi bekas plastik belanjaan dan paperbag-paperbag lainnya. Untuk hobi Dijah yang ini, ia hampir sama dengan wanita Asia pada umumnya. Sama-sama suka menyimpan plastik bekas belanjaan.
Dahi Bara mengernyit memperhatikan Dijah yang telah menemukan sebuah paperbag berwarna putih dan langsung mencemplungkan jaket Bara ke dalamnya.
"Nih, ambil! Oiya ini juga." Dijah meletakkan paperbag yang dipegangnya kemudian mulai melepaskan jaket Bara yang masih berada di tubuhnya.
"Kamu kenapa sih?" tanya Bara.
"Aku cuma capek, mau tidur." Dijah melipat jaket Bara dengan rapi kemudian menjejalkannya ke dalam paperbag itu asal-asalan.
"Jah!" panggil Bara mencengkeram tangan wanita itu.
"Udahlah, aku capek. Bener. Sebelum-sebelumnya aku nggak pernah secapek ini. Make sepatu tinggi itu bener-bener bikin betisku tersiksa. Kamu pulang aja deh! Katanya Senin mau ke Belanda. Nanti orang tua kamu nyariin anaknya nggak pulang-pulang. Taunya nginep di tempat begini." Dijah hanya memandang Bara sekilas kemudian kembali menyodorkan paperbag putih itu pada Bara.
"Ini nanti Jah... Gak usah sekarang. Kamu emang nggak mau ketemu aku lagi? Iya?" tanya Bara.
Dijah hanya diam memandang kepala tempat tidurnya.
"Aku cuma nanya, kenapa kamu bisa manggil Bayu dengan sebutan Mas, tapi ke aku nggak? Itu aja. Memangnya salah kalo aku nanya? Aku penasaran. Kalo kamu bilang alasan logis, aku nggak apa-apa."
"Memangnya penting ya nanya begituan? Sepenting itu dipanggil Mas aja? Apa bedanya?" sergah Dijah. Dan benar apa yang dikatakan Mbok Jum baru-baru ini pada Dijah. Bahwa ia dan Bara sama keras kepalanya. Mereka berdua sama-sama berpikir bahwa satu sama lain tak mengerti perasaan lainnya.
"Oke, aku pulang." Bara melepaskan cengkeramannya dari tangan Dijah.
"Iya," jawab Dijah cepat.
"Ya udah..." Bara melangkah menjauhi Dijah menuju pintu kamar yang setengah tertutup.
"Jangan lupa itu jaketnya dibawa," tukas Dijah
Langsung diusir, pikir Bara. Malam Minggu apa ini? Mau pergi berpisah seminggu malah perpisahannya begini. Bara sepertinya tak rela.
"Ke sini sebentar," panggil Bara masih dengan wajah kesal. Dijah sudah memunggunginya berdiri di dekat lemari sibuk mengaduk-aduk isi tasnya.
"Apa sih?" tanya Dijah kesal. "Ya udah sana!" usir Dijah.
"Sini..." Bara merendahkan suaranya dan menatap tajam ke arah wanita yang juga sedang melemparkan pandangan sengit padanya.
"Apa..." Dijah berjalan mendekati Bara yang berdiri di dekat pintu.
Bara menarik tangan Dijah sampai tubuh wanita itu menempel padanya. Pintu yang tadinya setengah terbuka, sekarang menjadi sepenuhnya tertutup karena gerakan tubuh Bara yang tiba-tiba.
"Aku nggak mau pergi kalo kamu ngusir aku kayak gini," ujar Bara. Tangan kirinya menekan pinggang Dijah dan satu tangan lainnya masih mencengkeram pergelangan tangan wanita itu.
"Ya udah kalau mau pulang," ucap Dijah mulai tak konsisten.
Bara berbalik dan mendesak Dijah ke arah pintu. Punggung wanita itu sudah menyatu dengan pintu tipis yang kalau matahari sedang terik, celahnya bisa meloloskan cahaya.
Begitu dekatnya jarak mereka, sampai Dijah harus benar-benar mendongak untuk menatap wajah Bara saat pria itu berbicara.
"Kamu perempuan pertama yang ngusir aku," ucap Bara menunduk di telinga Dijah. Wanita itu hanya diam menikmati hembusan hangat nafas Bara menyapu leher dan telinganya.
Bara kemudian semakin menunduk untuk mensejajarkan bibir mereka. Dan dengan bibir mereka yang nyaris menempel, Bara berkata, "aku akan tunggu sampe kamu mau manggil aku Mas tanpa aku minta."
Sedetik kemudian, Bara menangkup wajah Dijah dan mulai menjejali bibir wanita itu dengan ciuman kasar. Kekesalannya semakin berlipat ganda.
Dijah yang tak mau memanggilnya dengan sebutan Mas, Dijah yang sensitif dan mudah tersinggung. Dan terakhir... Dijah yang dengan berani mengusirnya. Bara tak mau malam minggunya anyep. Seminggu ke depan ia hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya mencium dan menyentuh wanita itu.
Bara mencium bibir Dijah dengan rakus. Ia tak peduli pada wanita itu yang sepertinya terkejut dan tersengal-sengal karena ciuman panjang dan beruntun yang tak memberinya jeda.
Mulanya Dijah hanya diam menerima sesapan dan gigitan Bara yang semakin menjadi-jadi. Tapi saat ciuman itu sudah memasuki menit ke sekian, kaki Dijah harus berjinjit menempeli pintu kamarnya karena berusaha mengimbangi apa yang sedang dilakukan Bara.
Dijah memejamkan mata. Ciuman Bara yang tergesa ikut memabukkannya. Dadanya sudah turun naik tak teratur. Ia berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya mengisi paru-paru.
Ciuman Bara kali ini berbeda menurut Dijah. Kemarin pria itu menciumnya dengan lembut. Kali ini ciuman pria itu seperti bercampur ada rasa marah-marahnya. Bukan manis-manisnya.
Nafas Bara terengah-engah dan pria itu akhirnya melepaskan serangan ciuman panjangnya.
"Mau usir aku?" tanya Bara dengan nafas tersengal-sengal. Ia memegang kedua tangan Dijah dan menempelkan sepasang tangan itu di atas kepala pemiliknya.
Dijah yang juga terengah-engah hanya memandang Bara dan tak melawan. Bara kembali mendaratkan gigitan halusnya di leher Dijah. Ia kembali memejamkan mata. Api dalam tubuh Bara kini memang tengah berwarna biru. Paling panas.
Menit berikutnya, tangan Bara sudah membuka seluruh kancing pakaian Dijah. Kenikmatan dunia memang memabukkan dan membuat lengah. Dijah sedang terlena. Ia memejamkan mata menikmati sentuhan pria yang disukainya. Ia bahkan tetap memejamkan mata saat ciuman Bara sudah berpindah dari bibirnya.
Bara mengangkat tubuh Dijah agar lebih mudah mendaratkan ciuman di tempat yang didambanya. Dijah sudah mendesah. Bara yakin hari ini mereka pasti akan kepalang basah. Dijah sudah semakin lemah. Bara ikut memejamkan matanya, tenggelam di antara dada menakjubkan yang sedang dinikmatinya.
"Api..." Ucapan seseorang di luar melintas di telinga Bara. Benar kata Tini tadi batinnya. Apinya semakin menyala sekarang.
"Ada asap Tin!" seru seseorang. Asap apa pikir Bara.
"Jah! Jah! Aduh! Aku bukan maksud ganggu lho. Lagi pake gaya digendong ya? Bayanganmu keliatan dari luar Jah! Matikan lampu harusnya! Minta Mas-mu pake baju! Tolong bantu dobrak kamar Asti. Dia tidur tapi kamarnya ada asap. Kebakaran Jah!" Suara Tini benar-benar menyetrum kepalanya.
"Kebakaran? Kebakaran apa?" tanya Dijah spontan melompat dari gendongan Bara.
"Kamar Asti! Minta Mas-mu bantu dobrak kamarnya!" teriak Tini lagi.
"Aku bantu dobrak kamar Asti!" Bara langsung meraih handle pintu. "Pake baju sana!" tukas Bara terkekeh kemudian keluar dari kamar.
Dijah yang menyadari seluruh atasannya telah berada di lantai kemudian tergagap memungutinya satu persatu.
"Itu Mas! Tolong! Asti dipanggilin nggak keluar! Ditelfon nggak jawab! Dijah mana?" tanya Tini saat menyodorkan sebuah linggis pada Bara.
"Dijah masih di kamar!" jawab Bara kemudian mulai mendongkel pintu.
"Oh berarti Dijah yang udah telanjang?" tanya Tini pada Bara dengan polosnya. Di dekat mereka berdiri Mak Robin, dan Boy si penghuni kamar sebelah Asti. Bara hanya melanjutkan pekerjaannya seraya berpura-pura tuli.
To Be Continued.....