Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.
Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.
Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Datang Diam-Diam
Langit St. Aurelius University pagi itu cerah. Aula utama dipenuhi bunga-bunga papan ucapan selamat. Namun bagi Elvareon, semua kemeriahan itu terasa sunyi. Ia berdiri di antara wisudawan lain, menanti namanya dipanggil.
Orang tua Elvareon pastinya datang diacara wisuda anaknya. Mereka diberikan tiket pesawat gratis dari beasiswa Elvareon. Ayah dan Ibunya duduk dibarisan orang tua, melihat anaknya yang dipanggil dengan gelar dr.
“Selanjutnya, kami undang ke atas panggung… dr. Elvareon Delacroix.”
Langkah Elvareon terhenti. Ia menarik napas, lalu melangkah maju. Aula bergema oleh tepuk tangan. Di tribun atas, kedua orang tuanya berdiri, mata mereka berkaca-kaca. Namun Elvareon tidak tahu, ada empat pasang mata lain yang tak kalah haru: Achazia, Brianna, Kaivan, dan Ciara, bersembunyi di deretan kursi belakang.
“Zia, itu dia… namanya dipanggil penuh,” bisik Brianna, matanya basah.
Achazia menggigit bibir. Jantungnya berdegup kencang. “Akhirnya… dia benar-benar seorang dokter.”
Elvareon menerima ijazahnya dari Rektor, membungkuk hormat, lalu tersenyum kecil. Dalam hatinya, ia menyebut satu nama.
“Achazia… aku berhasil.”
Tak lama setelahnya, suara panitia kembali memecah keheningan.
“Dan berikutnya, kami undang ke atas panggung… dr. Arvin Wijaya.”
Dari kejauhan, Kaivan menahan tawa. “Itu dia, jagoan kita yang satu lagi.”
Arvin berjalan santai, melambaikan tangan ke arah kerumunan. Ia menerima ijazahnya dengan gaya khas Arvin yaitu santai, percaya diri, dan sedikit lebay. Tapi bagi Elvareon, Arvin adalah alasan dirinya tetap waras selama perjalanan kuliah ini.
Elvareon menemui ayah dan ibunya lalu memeluk mereka sambil menangis.
"Kamu berhasil nak." ucap ibunya penuh haru.
Arvin dan mommynya mendekati Elvareon dan mereka saling berjabat tangan.
"Selamat juga, nak" ucap ibu Elvareon pada Arvin.
Mommy Arvin berjabat tangan dengan ayah dan ibu Elvareon. Mereka adalah orang tua yang sederhana tapi sangat menyayangi Elvareon.
Sementara prosesi berlanjut, Achazia berjalan pelan ke arah taman dekat aula. Di tangannya, buket bunga besar yang di tengahnya tersembunyi buku kedokteran yang dulu Elvareon impikan.
Ia meletakkannya di meja kecil dekat taman, menyisipkan kartu kecil bertuliskan:
"Selamat atas gelar doktermu, Delacroix. Jangan pernah berhenti menyembuhkan. Dari seseorang yang percaya padamu."
“Zia, yakin gak mau kasih nama?” tanya Ciara pelan.
Achazia tersenyum tipis. “Aku mau dia menebak sendiri.”
Mereka lalu pergi ke balik pohon dan melihat gerak-gerik Elvareon.
Sementara itu, Ibu Elvareon yang sedang berdiri bersama suaminya melihat sekilas ke arah taman. Wajahnya tiba-tiba berubah serius.
“Pak, itu buket… yang naruh itu siapa?” bisiknya.
Ayah Elvareon mengikuti arah pandangan istrinya. Dan di sanalah ia melihat, Achazia Velmorin, meski wajahnya sedikit tertutup masker dan kacamata hitam, namun sorot matanya tidak asing.
“Itu… putri Velmorin.” Ayahnya menepuk bahu istrinya pelan. “Mereka datang. Dia yang naruh bunga itu.”
Elvareon berjalan ke taman, mengikuti arahan Arvin yang menggodanya, “Bro, ada fans berat lu ninggalin sesuatu tuh.”
Elvareon terkesiap saat melihat buket bunga dan buku tebal di atas meja. Ia membaca kartu kecil itu, bibirnya melengkung membentuk senyum.
Tanpa ia sadari, dari arah belakang, ibunya menghampiri. “El, kamu tahu siapa yang naruh ini?”
Elvareon menggeleng. “Gak ada nama, Bu. Tapi… aku merasa seperti kenal caranya.”
Ibunya tersenyum. “Itu Achazia. Dia ada di belakang sana.”
Elvareon membalikkan badan, matanya mencari. Dan di antara kerumunan, ia melihat sosok Achazia, berdiri gugup dengan Brianna, Kaivan, dan Ciara di sampingnya.
Achazia dan Ciara keluar dari pohon besar itu dan dengan berani menemui Elvareon. Brianna dan Kaivan langsung menuju Elvareon dan menjabat tangannya.
"Halo dokter" ucap Kaivan
Elvareon lalu tersenyum. Senyum yang ia tunggu selama ini. Dengan jas putih itu beserta gadis yang dicintainya.
“Elvareon Delacroix.” Suara Achazia akhirnya terucap. Dia melepas masker dan kacamata hitamnya.
Elvareon tersenyum, melangkah mendekat dengan buket di tangannya. “Jadi ini dari kamu?”
Achazia mengangguk, wajahnya memerah. “Kalau iya, kenapa?”
Elvareon tertawa kecil, menatapnya penuh syukur.
“Karena aku udah nunggu momen ini sejak lama.”
Kedua orang tua Elvareon menghampiri mereka.
“Terima kasih sudah datang, Achazia,” ucap ibunya lembut. “Buket ini… luar biasa. Terima kasih sudah percaya pada anak kami.”
Brianna, Kaivan, dan Ciara bergantian menyalami orang tua Elvareon. Suasana menjadi cair, penuh kehangatan. Meski singkat, pertemuan itu menjadi awal dari babak baru yang selama ini tertunda.
Tak lupa mereka juga menyalami Arvin dan mommynya.
"Eh, fotbar dong" goda Arvin sambil menyenggol siku Elvareon
Arvin mendorong Elvareon mendekat kesamping kanan Achazia dan mengambil ponselnya
"Tiga...dua...satu..." ckrek
Foto mereka berhasil diambil. Jantung Achzia berdetak sangat cepat dia seperti ingin meledak. "Ini Arvin blak-blakan banget. Belum ada aba-aba udah fotoin aja" ucapnya dalam hati.
Elvareon berfoto dengan kedua orang tuanya serta dengan Arvin sahabatnya itu. Mereka saling bergantian berfoto untuk mengabdikan moment.
"Eh ngomong-ngomong kalian ke sini naik apa?" tanya Elvareon
"Pake nanya. Naik pesawatlah, beli tiket dari gaji. Kami kan udah kerja." ucap Kaivan sambil mengangkat alisnya.
Brianna menyipitkan matanya
"Santai aja ngomongnya." ucap Brianna kesal.
Elvareon tertawa kecil. Kaivan benar, teman-temannya sudah lebih dulu lulus dibanding dirinya apalagi teman-temannya sekarang sudah bekerja dan berpenghasilan sendiri. Wajar saja mereka bisa membeli tiket pesawat.
"Makasih ya, Achazia." ucap Elvareon sambil menatap matanya
"Eh... iya iya" balas Achazia gugup
"Cieee...." Arvin menggoda
Waktu berpisah tiba. Elvareon harus kembali mengikuti sesi foto seangkatannya, sementara Achazia dan teman-temannya bersiap pulang supaya tidak ketinggalan pesawat.
“Zia, aku belum tahu kapan kita bisa ketemu lagi…” ujar Elvareon pelan.
Achazia tersenyum, menatapnya dalam-dalam. “Hari ini cukup buatku. Tapi aku percaya… gak butuh waktu lama lagi.”
Elvareon mengangkat buket bunga itu. “Aku simpan ini. Suatu hari… aku bakal bilang terima kasih dengan lebih layak.”
Mereka saling berpelukan lalu perlahan pergi. Achazia melambaikan tangan kepada Elvareon, Arvin dan keluarganya.
"Pacarmu cantik juga" ucap Arvin
Ibu Elvareon merasa hatinya ada kejanggalan. Disisi lain dia sangat suka dengan Achazia karena kerendahan hatinya. Namun Achazia tetaplah dari keluarga orang kaya. Bahkan kalau dokter pun biasa bagi keluarganya. Bagaimana mungkin putranya, Elvareon bisa mendapatkan Achazia?
"Ibu, kenapa murung?" tanya Elvareon
"Eh, tidak apa nak." Ibunya tidak mau mengaku
Arvin dan Elvareon dipanggil untuk foto seangkatan. Mereka lalu bergegas pergi memegang map ijazah masing-masing.
Mereka berpisah, tapi kali ini bukan dengan kesedihan. Ada keyakinan di mata mereka, bahwa jarak tidak akan memisahkan lagi.
Hari di mana nama Elvareon Delacroix dipanggil, adalah hari di mana dinding yang selama ini memisahkan mereka mulai runtuh.
Dan di tangan Elvareon, buket bunga sederhana itu menjadi simbol dari perasaan yang tak pernah padam.