"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Topeng Tak Kasat Mata
Malam sudah semakin larut, namun matanya enggan terpejam. Tubuhnya tak bisa diam dengan tenang di atas kasur empuk itu. Mungkin karena suasana hatinya sangat baik malam ini.
Pukul 22:00. Begitulah yang tertera di layar ponselnya.
Menyerah — Sewindu bangkit dari rebahnya. Tak ada yang dapat menghiburnya di sana selain dinding serba putih dengan kaca yang menggantung di salah satu sisinya.
Dengan langkah mengendap, Sewindu keluar dari kamarnya. Matanya menelisik di antara gelap yang menyergap di luar sana.
Selain dua kamar yang digunakan olehnya dan Wisnu, seluruhnya masih di selimuti debu tipis. Orang-orang mungkin akan berpikir rumah ini masih tak berpenghuni.
Sewindu berusaha tak mengeluarkan suara sekecil apa pun saat melewati kamar Wisnu. Barang kali pria itu sudah tertidur di dalam sana.
Namun, saat dia memutar kunci pintu utama, terdengar suara yang cukup keras.
Tepat saat itu juga, terdengar suara derak ranjang dari kamar Wisnu. Pria itu langsung keluar dari kamarnya dan menangkap basah Sewindu yang berdiri di dekat pintu.
“Mau ke mana?”
Matanya masih begitu segar, tak ada tanda-tanda kalau dia baru saja terganggu dalam tidurnya. Wisnu menatap tajam pada Sewindu yang kini menoleh ke arahnya.
“Jam berapa ini, Ndu? Mau ke mana?” Wisnu mengulang pertanyaannya.
Dari nada suaranya, sudah sangat jelas pria itu pasti akan melarang Sewindu melewati pintu itu malam ini.
Sewindu berdiri layu di depan sana. “Mau beli susu,” jawabnya tanpa menoleh ke arah Wisnu.
Pria itu mendekat pada istrinya. “Besok aja nggak bisa?”
Sewindu menggeleng. “Aku nggak bisa tidur, Mas. Masa harus begadang?”
“Tunggu sebentar!”
Wisnu kembali berjalan menuju kamarnya. Terdengar suara grusak-grusuk dari dalam sana, entah apa yang dia lakukan di dalam sana.
Begitu pintu kamar kembali terbuka,Wisnu keluar setelah berganti celana panjang. “Saya saja yang belikan. Kamu tunggu di rumah!”
Di tengah gelap dalam rumah peninggalan seorang nenek. Sudah pasti bangunan itu sudah berdiri cukup lama. Kosong beberapa bulan pula.
Sewindu sontak menggeleng. “Aku beli sendiri aja, Mas Wisnu yang di rumah.”
Mendengar itu, Wisnu melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan gerakan dagunya, dia menyuruh Sewindu menyingkir dari jalannya.
Namun, Sewindu masih bersikukuh menggeleng — menolak untuk menurut. Dia malah berbalik badan dan kembali memutar kunci itu sekali hingga pintu terbuka.
“Aku aja yang beli, Mas Wisnu nggak usah repot-repot,” katanya sambil ngacir keluar.
Sebelum gadis itu melangkah terlalu jauh, Wisnu sudah lebih dulu membuka suaranya. “Nurut sama suami apa susahnya, Ndu?”
Sewindu sontak menoleh saat mendengarnya. Alisnya naik tinggi dengan kerut tak biasa. Selanjutnya, dia tersenyum tipis.
“Bukannya status itu cuma di depan keluarga kita saja?”
Gadis itu mengulang ucapan Wisnu beberapa waktu yang lalu. Di malam saat mereka memutuskan untuk menerima perjodohan ini dengan sebuah perjanjian yang disetujui satu sama lain.
Melihat Wisnu terdiam, gadis itu tersenyum semakin lebar. Dia kembali melanjutkan langkahnya dengan ceria, meninggalkan suaminya yang berdiri di ambang pintu.
“Jangan jauh-jauh!” seru Wisnu pada gadis itu.
Tak menjawab, Sewindu hanya mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi dan berlari kecil menyusuri pemukiman sunyi itu.
...****************...
“Ini aja, Mbak?” tanya si penjual saat Sewindu menyerahkan empat kotak susu putih.
Sewindu mengangguk sebagai jawaban. Meski begitu matanya masih menyusuri setiap rak yang memuat jajanan di sana.
Warung madura mungkin selalu ada di setiap kota — setidaknya ada satu di dalam sebuah pemukiman. Seperti yang Sewindu hampiri malam ini.
“Mbak warga baru ya di sini?”
Sewindu tersenyum dan mengangguk. “Iya, Bu. Baru datang hari ini.”
Penjual itu membulatkan bibirnya. Matanya memandangi Sewindu dari ujung kepala hingga kaki. Membuat Sewindu menggerakkan jemari kakinya dengan canggung.
“Di mana, Mbak?” tanya wanita itu lagi.
“Di sana,” Sewindu menunjuk arah yang dia lewati tadi. “Di rumah joglo yang ada kolam ikan di depannya.”
Sorot mata si penjual tak lagi sinis seperti sebelumnya. Wanita itu langsung menaikkan alisnya dan tersenyum ramah.
“Oalah! Mantune Bu Ratna?” ucapnya cukup kencang.
Mendengar nama Bunda, Sewindu langsung mengangguk mantap. Dia menarik senyum canggung saat melihat perubahan ekspresi dari pemilik warung ini.
“Umur berapa, Mbak?” tanyanya lagi.
Sewindu sempat ragu untuk menjawab. “20 tahun.”
Sorot mata julid tak dapat dia tutupi di sana. “Anak saya yang paling kecil juga seumuran sama kamu. Tapi, sekarang dia lagi sibuk kuliah!”
“Malam-malam begini kok sendirian, Mbak? Mas Wisnu ke mana?”
Tipikal tetangga kepo yang menjadi sumber gosip di kampung. Wanita itu mulai bertanya lebih banyak padanya.
“Ada di rumah kok, Bu.”
Sewindu menjulurkan tangannya untuk menerima uang kembalian dan barang yang dia beli di sana. Namun, penjual itu malah kembali menarik barang-barang itu.
Dia melambai dan meminta Sewindu untuk mendekat. “Mbaknya tahu toh, kalau rumah itu sudah lama kosong?”
Sewindu menatap wanita itu sekilas sebelum kembali menarik tubuhnya. “Kata Bunda memang sudah beberapa bulan ini kosong, Bu. Memangnya kenapa?”
“Banyak penyewa yang katanya ngelihat penampakan di rumah itu, Mbak. Makanya nggak banyak yang betah tinggal di sana. Paling lama cuma setahun!”
Sewindu terdiam sejenak. Kalimat itu cukup menggerakkan jiwa penakutnya.
“Sewindu!”
Sewindu menoleh pada asal suara dari belakang tubuhnya. Di sana, Wisnu berdiri dengan nafas sedikit terengah. Sepertinya dia sudah mencari Sewindu ke mana-mana.
Gadis itu melirik pada jam yang menggantung di warung itu. Sudah sekitar 30 menit sejak dia pamit untuk membeli susu.
Wisnu melirik pada pemilik warung dan menyapanya dengan senyuman sekilas. Dia menoleh pada Sewindu yang masih memandang padanya.
“Sudah? Kalau sudah selesai, ayo pulang!”
Wisnu mengulurkan tangannya. Mengambil belanjaan Sewindu dan uang kembalian yang dimasukkan ke dalam kantung plastik yang sama.
Dia kembali tersenyum singkat sebelum membawa Sewindu pergi dari sana. “Mari, Bu.”
Tanpa perlu digandeng, Sewindu sudah langsung menurut pada Wisnu. Dia sempat tersenyum sebentar pada pemilik warung sebelum berlari kecil mengimbangi langkah lebar Wisnu.
Setelah cukup jauh dari warung itu, barulah Wisnu menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Matanya menata tajam Sewindu yang berjalan di sampingnya.
“Bukannya sudah saya bilang, jangan jauh-jauh!” ucap Wisnu ketus.
Sewindu tak menggubris, gadis itu hanya tertarik dengan susu yang baru saja dia rebut dari tangan Wisnu. Meminumnya dengan tenang, seolah ucapan Wisnu hanya angin lalu.
“Kalau nanti kamu kenapa-kenapa, mau minta tolong sama siapa? Nanti saya juga yang repot!”
Pria itu akhirnya menghentikan langkahnya, membuat Sewindu ikut berhenti dan mendongak padanya. “Kok berhenti? Ayo!”
“Kamu dengarkan saya nggak sih, Ndu?”
Sewindu masih setia dengan sedotan di mulutnya. Dia mengangguk. “Dengar kok. Kata Romo, kalau orang tua lagi ngomong nggak boleh dipotong. Makanya aku diam.”
“Siapa yang bilang saya orang tua?” sahut Wisnu, masih dengan wajah dinginnya.
Sewindu lantas menunjuk dirinya sendiri. “Aku.”
Dengan begitu, Wisnu sudah memutuskan. Dia tidak akan betah hidup lama dengan Sewindu. Sekalipun ada kesempatan hidup kedua kalinya, dia tidak akan bisa.