Dilarang plagiat, tambal sulam, atau sejenisnya. Jangan mengambil hak orang lain demi keuntungan sendiri. Ingat Azab.
~~~~
Jangan menyalahkan apa yang terjadi pada dirimu, karena di balik apa yang menimpa dirimu, akan ada keindahan yang menantimu.
Olivia Shea begitu bahagia saat dirinya di terima berkerja di Maxton Company. Impian mengubah hidupnya mengantarkannya pada kehidupan baru.
Regan Alvaro Maxton-CEO Maxton Company, meminta Shea mengantarkan berkas yang Shea lupakan, ke Adion Company.
Berniat mengantarkan berkas ke Adion Company menjadikan dirinya, menjadi korban salah sasaran. Bryan Adion-CEO Adion Company, yang mengira Shea adalah wanita yang di kirim asistennya, membuatnya memperkosa Shea.
Regan yang mengetahui bahwa Bryan-adik iparnya memperkosa sekertarisnya, hingga hamil, membuat Regan meminta Bryan untuk menikahi Shea.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka?
~~~
Follow IG Myafa16
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon myafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senjata makan Tuan
Jam menujukan pukul sepuluh malam. Bryan yang sudah bersiap memulai malam panjangnya, keluar dari kamarnya. Meraih kunci mobilnya, Bryan berniat untuk ke bar, setelah tadi Felix menghubunginya.
Melangkah keluar dari kamar, Bryan melihat lampu dapur menyala. Bryan mengalihkan langkahnya menuju dapur, melihat apa yang di lakukan Shea malam-malam di dapur.
"Apa yang kamu lakukan?"
Shea yang sedang fokus di depan lemari pendingin tersentak kaget saat suara bass milik Bryan terdengar memecah keheningan malam. "Aku, mencari makanan."
Kening Bryan berkerut dalam saat mendengar Shea mencari makanan. Saat makan malam tadi, Bryan melihat Shea makan sangat banyak. Pikirnya, bagaimana bisa Shea mencari makanan lagi.
Mendapatkan buah apel, Shea menutup lemari pendingin. Melangkah ke wastafel, mata Shea memindai Bryan yang sudah tampak rapi. Dari tampilannya, Shea sudah menduga, jika Bryan akan pergi. Tapi mengingat perjanjian kontrak yang mengatakan, jika dirinya tidak boleh mencampuri urusan Bryan, Shea urung bertanya kemana Bryan pergi.
"Apa kamu selalu makan lagi setelah makan malam?"
"Iya." Shea berbalik dan mengigit apelnya. "Aku selalu lapar," tambahnya.
Bryan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban Shea.
Menarik kursi di meja makan, Shea mendudukkan tubuhnya seraya memainkan ponselnya. Tangan kanan Shea sibuk memegang apel, sedangkan tangan kirinya memainkan ponsel miliknya. Senyum tertarik di bibir Shea, saat melihat layar ponselnya. Melihat postingan milik Chika di laman media sosial, rasanya Shea mendapatkan hiburan malam-malam.
Bryan yang melihat Shea sedang tersenyum melihat ponselnya, menajamkan pandangannya. Pikirnya melayang menebak apa yang di lihat Shea. "Apa yang kamu lihat?" Rasanya Bryan sudah tidak bisa menahan untuk tidak bertanya.
Mendengar pertanyaan Bryan, Shea beralih menatap ke arah Bryan, setelah dari tadi dirinya sibuk menatap layar ponsel. "Dilarang mencampuri urusan masing-masing," ucap Shea dengan tegas. Shea pun mengabaikan Bryan, dan kembali melihat layar ponselnya.
Mendapat jawaban dari Shea, membuat Bryan membeku. Rasanya dia merutuki dirinya sendiri. Bryan tidak menyangka, jika senjata ampuh yang dia ajukan untuk kepetingan kesenangannya, berbalik padanya.
Senjata makan Tuan, batin Bryan.
Berlama-lama menahan kesalnya, akhirnya Bryan memilih berlalu. Tapi saat melangkah, Bryan sedikit berbalik menatap ke arah Shea. Bryan melihat dengan jelas, jika Shea tidak beralih sedikitpun padanya saat dirinya berlalu meninggalkan Shea.
"Kenapa dia tidak bertanya aku pergi kemana?" gumam Bryan. Bryan menghela napasnya. Ingin rasanya Bryan mendengar pertanyaan Shea yang sama dengan pertanyaannya tadi. Karena Bryan ingin sekali membalas hal yang sama dengan yang Shea lakukan.
Tapi tampaknya semua sia-sia. Karena Shea tidak beralih pada Bryan sama sekali. Melanjutkan langkahnya, Bryan menuju pintu apartemen.
Shea yang dari tadi sibuk dengan ponselnya, tersentak kaget saat mendengar Bryan menutup pintu. "Dia sudah pergi?" Karena sibuk melihat ponselnya, Shea tidak tahu kapan Bryan pergi.
Mengalihkan pandanganya ke layar ponselnya, Shea mengabaikan kepergian Bryan.
***
"Kenapa wajahmu di tekuk seperti itu?" tanya Felix yang melihat Bryan yang baru datang di bar, dengan wajah terlihat kesal.
"Tidak," jawab Bryan kesal seraya mendudukkan tubuhnya.
Felix sudah menebak, jika Shea lah alasan Bryan seperti itu. Tapi Felix tidak mau membahas Shea saat ini. "Carilah wanita disini, agar hasratmu itu tersalurkan," ucap Felix mengoda Bryan.
Bryan mengambil minuman dan menenggaknya minumannya. Mungkin kalau biasanya Bryan akan langsung melakukan apa yang di ucapkan Felix. Kali ini entah kenapa dirinya malas sekali.
"Aku hanya ingin minum kesini," ucap Bryan ketus. Bayangan Shea yang sedang tertawa melihat ponselnya, masih terlintas jelas di pikir Bryan. Hingga Bryan berpikir mungkin minum, bisa meredakan rasa kesalnya.
"Aku rasa milikmu akan mengkristal, jika lama-lama tidak di pakai." Felix tergelak, saat mendengar Bryan yang berubah. Felix tahu pasti, hal yang biasa di lakukan Bryan di bar adalah mencari wanita. Tapi sekarang, dia tidak sama sekali berminat.
Bryan memutar bola matanya malas, mendengar ucapan Felix. "Diamlah!"
Felix hanya bisa menertawakan temannya itu, mengabaikan gertakan Bryan. "Oke."
Bryan dan Felix melanjutkan minumnya. Sesekali para wanita silir berganti menghampiri, tapi tidak ada dari keduanya merespon. Felix memang sedang menunggu kekasihnya, jadi dia memilih mengabaikan para wanita. Sedangkan Bryan, menolak karena rasa malasnya.
Selang beberapa saat, Angel-kekasih Felix datang. "Hai sayang," sapa Angel pada Felix. Angel langsung menautkan pipinya pada pipi Felix. "Hai, Bryan," sapa Angel beralih pada Bryan.
"Hai," ucap Bryan malas.
"Aku akan melanjutkan malam ini, di aparteman, apa kamu masih ingin disini?" Felix berdiri dan melingkarkan tangannya di pinggang Angel.
Bryan yang mendengar ucapan Felix, merasa sangat kesal. "Apa kamu menyuruhku kemari, hanya untuk meninggalkan aku sendiri?" tanya Bryan ketus.
"Ayo lah Bryan, jangan marah seperti anak kecil. Bukankah biasanya kita kemarin hanya bertemu sebentar, dan berpisah dengan pasangan masing-masing?"
Bryan mendengus kesal. Sebenarnya Bryan tidak menyalahkan Felix yang pergi, karena memang itu yang sering mereka lakukan. Setelah bersama wanita, dia akan berpisah dan mencari kesenangannya sendiri-sendiri. Tapi karena hari ini Bryan tidak berminat, dia menjadi kesal saat di tinggal oleh Felix sendiri. "Aku juga akan pulang." Bryan berdiri, dan berlalu juga.
***
Shea yang baru bangun tidur, keluar dari kamarnya menuju ke dapur. Tenggorokannya yang kering, ingin segera dia redakan dengan segelas air putih. Tapi saat melangkah ke dapur, mata Shea melihat Bryan yang tidur di sofa. "Hoby sekali dia tidur di sofa," cibir Shea seraya melangkahkan kaki menuju dapur.
Meraih gelas, Shea mengisi gelas dengan air. Perlahan Shea meminum air dalam gelasnya. Tapi baru saja, Shea meminumnya. Shea merasakan perutnya bergejolak.
Hoek....hoek...
Mengarahkan tubuhnya ke arah wastafel. Shea langsung memuntahkan isi perutnya.
Bryan yang memang baru saja mengerjap, samar-samar mendengar suara. Menajamkan pendengarannya, Bryan mendengar suara muntah. Karena apartemen di huni oleh dirinya dan Shea saja. Sudah bisa Bryan pastikan, jika itu adalah Shea.
Membuka matanya sempurna, Bryan beranjak dari sofa. Langkahnya yang di tuju Bryan adalah dapur. Dia ingin melihat apa yang terjadi pada Shea.
Hal pertama yang di lihat Bryan sesampainya di dapur adalah tubuh Shea yang sedang membungkuk di wastafel. Masih terdengar jelas oleh Bryan, jika Shea terus muntah. "Perasaan aku yang minum banyak semalam, tapi kenapa dia yang muntah."
Melihat Shea yang terus muntah, Bryan melangkah menghampiri Shea. Tanpa sadar tangan Bryan memijat tengkuk Shea, berharap bisa meredakan apa yang di rasakan oleh Shea.
Shea yang merasakan tengkuknya di pijat, tahu siapa yang memijatnya. Siapa lagi, jika bukan Bryan. Apartemen yang di huni hanya dirinya dan Bryan, pastinya sudah menjelaskan jika yang berada di belakangnya adalah Bryan.
Membiarkan apa yang di lakukan oleh Bryan, Shea memfokuskan dirinya pada perutnya yang begitu masih terasa mual.
"Apa sudah lebih baik?" tanya Bryan yang sudah melihat Shea berhenti.
Shea hanya mengangguk, dan menegakkan tubuhnya.
"Aku akan buatkan teh herbal, untuk meredakan rasa mualmu," ucap Bryan. "Jadi duduklah dulu!" lanjutnya memerintahkan Shea.
Bryan langsung berlalu membuatkan teh, sedangkan Shea mendudukkan tubuhnya di kursi meja makan. Sesekali Shea memijat pelipisnya, berharap kepalanya yang terasa berdenyut sedikit berkurang.
"Minumlah, teh herbal ampun mengurangi rasa mual." Bryan meletakkan secangkir teh dan menarik kursi untuk duduk di samping Shea.
Shea yang mendapat secangkir teh dari Bryan, langsung meminumnya. Sejenak Shea merasakan hangat di perutnya, dan pelahan rasa tidak nyaman di perutnya mulai berkurang.
"Apa sering terjadi?" tanya Bryan memastikan.
"Iya."
"Tapi aku tidak melihat dirimu muntah kemarin-kemarin." Sejak Shea tinggal bersamanya. Bryan memang baru pertama kali melihat Shea muntah.
Sebenarnya Shea malas sekali menjawab pertanyaan Bryan. "Jelas kamu tidak lihat aku muntah, karena aku muntah di kamar mandi kamar."
Bryan mengangguk mengerti. "Apa tidak bisa kamu minta Erik memberikanmu obat yang bisa mencegah mual." Berkaca dari dirinya yang sering muntah karena banyak minum, Bryan membayangkan muntah setiap hari pasti akan berat.
Shea hanya mengelengkan kepalanya. "Itu alami, tidak ada obatnya."
"Jadi kamu akan mengalaminya selama kehamilan?" Bryan menatap Shea lekat.
"Tidak, hanya awal kehamilan saja."
Bryan mengangguk mengerti penjelasan Shea. "Habiskan tehmu, dan pergilah istirahat," ucap Bryan pada Shea. Melihat Shea yang terus memijat pelipisnya, Bryan yakin Shea butuh istirahat.
"Aku akan memasak dulu, baru istirahat."
Bryan mendengus kesal mendengar Shea yang masih memikirkan memasak di saat tubuhnya mungkin tidak bisa dia ajak berkerja sama. "Aku akan memasak makanan untukmu, pergilah beristirahat."
Shea langsung menoleh pada Bryan. Matanya langsung membulat sempurna mendengar Bryan akan memasak untuk dirinya. "Kamu mau apa?" tanya Shea memastikan kembali.
"Sudah, jangan banyak bertanya," ucap Bryan ketus. Bryan berdiri dan meninggalkan Shea, yang masih duduk di kursi meja makan.
Shea masih menatap tidak percaya pada Bryan.
"Apa kamu masih mau berdiam diri disitu saja?" Pertanyaan Bryan penuh sindiran terdengar memecah pikiran Shea.
Shea yang merasakan kepalanya berdenyut, tidak mau menambahnya dengan berdebat dengan Bryan. Kepalanya yang terasa pusing, ingin segera dia redakan dengan memejamkan matanya sejenak.
Menuju ke kamarnya, Shea mengistirahatkan tubuhnya.
.
.
.
.
Kira-kira masak apa Daddy Bry🤔🤔
Jangan lupa like🥰