Di tengah hiruk pikuk kota modern Silverhaven, Jay Valerius menjalani hidupnya sebagai seorang menantu yang dipandang sebelah mata. Bagi keluarga Tremaine, ia adalah suami tak berguna bagi putri mereka Elara. Seorang pria tanpa pekerjaan dan ambisi yang nasibnya hanya menumpang hidup.
Namun, di balik penampilannya yang biasa, Jay menyimpan rahasia warisan keluarganya yang telah berusia ribuan tahun: Cincin Valerius. Artefak misterius ini bukanlah benda sihir, melainkan sebuah arsip kuno yang memberinya akses instan ke seluruh pengetahuan dan keahlian para leluhurnya mulai dari tabib jenius, ahli strategi perang, hingga pakar keuangan ulung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Peta Tua dan Tinta Merah
Pernyataan Jay yang tenang, "Kami sudah menunggu Anda," menggantung di udara, lebih membingungkan bagi para pejabat itu daripada teriakan protes.
Pria yang memimpin, seorang pejabat senior bernama Budi, mengerutkan keningnya. "Menunggu kami? Apa maksud Anda?"
Bastian dan Elara sama bingungnya. Mereka menatap Jay, mencoba mencari petunjuk di wajahnya yang tenang.
Jay tersenyum sopan, sama sekali tidak terintimidasi oleh seragam dan surat perintah di tangan mereka. "Tentu saja. Kami tahu laporan seperti ini cepat atau lambat pasti akan muncul, mengingat sensitivitas proyek ini. Justru aneh jika tidak ada yang melaporkannya," katanya. "Mari, Pak Budi, silakan masuk ke kantor sementara kami. Saya sudah siapkan semua dokumen yang mungkin Anda perlukan. Udaranya cukup panas di luar."
Dengan sebuah gestur mengundang, Jay memimpin para pejabat yang tampak ragu itu masuk ke dalam kontainer yang telah diubah menjadi kantor proyek. Sikapnya begitu santai dan kooperatif, seolah mereka adalah tamu yang diundang, bukan investigator yang datang untuk menutup operasi mereka.
Di dalam, di atas sebuah meja besar, Jay tidak menyajikan tumpukan proposal modern. Sebaliknya, ia dengan hati-hati membentangkan sebuah gulungan kertas yang sudah tua dan menguning. Itu adalah sebuah peta. Bukan peta cetak, melainkan peta tulis tangan yang sangat detail, lengkap dengan stempel dan tanda tangan dalam bahasa Belanda.
"Ini apa?" tanya Pak Budi, matanya menyipit curiga.
"Ini adalah peta resmi wilayah Gunung Hantu dari Karesidenan Hindia Belanda, tertanggal tahun 1912," jawab Jay. Ia kemudian meletakkan sebuah dokumen lain yang sama tuanya di samping peta itu. Dokumen itu terikat pita dan memiliki segel lilin yang sudah retak.
"Jalur yang kami gunakan, Pak," lanjut Jay dengan suara yang jelas dan mantap, "bukanlah jalur penebangan kayu ilegal. Seperti yang bisa Anda lihat di peta ini, jalur tersebut secara resmi tercatat sebagai 'Jalan Pos Perkebunan Teh', dibangun oleh pemerintah kolonial untuk menghubungkan pos-pos di gunung."
Ia menunjuk ke dokumen di sampingnya. "Dan ini adalah salinan Gouvernements Besluit—Dekrit Pemerintah—dari tahun 1913 yang menetapkan jalan ini sebagai 'infrastruktur vital' dengan hak jalan abadi yang tidak bisa diganggu gugat, bahkan oleh perubahan status lahan di sekitarnya."
Pak Budi dan timnya membungkuk di atas meja, meneliti dokumen-dokumen kuno itu. Bastian dan Elara menahan napas.
Jay memberikan pukulan terakhirnya. "Status 'hutan lindung' di area ini baru ditetapkan oleh pemerintah kita pada tahun 1980-an. Menurut hukum agraria dan konstitusi kita, penetapan status baru tidak bisa secara retroaktif menghapus hak jalan bersejarah yang sudah ada sebelumnya. Kami tidak membuat jalan baru, Pak. Kami hanya melakukan pemeliharaan dan restorasi pada aset infrastruktur bersejarah yang sudah ada. Justru kami membantu pemerintah merawatnya."
Keheningan total menyelimuti kantor itu. Argumen Jay begitu rapat, begitu kuat, dan didukung oleh bukti fisik yang tak terbantahkan. Ia tidak hanya melawan tuduhan itu; ia membuktikannya dengan sejarah dan hukum.
Ia kemudian mendorong sebuah map biru baru ke arah Pak Budi. "Dan ini, Pak, adalah salinan semua dokumen ini yang sudah kami daftarkan secara resmi ke Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Kehutanan di Aethelgard minggu lalu. Kami hanya menunggu kunjungan verifikasi lapangan dari dinas terkait. Jadi, sebenarnya, kedatangan Anda hari ini sangat membantu kami mempercepat proses."
Sekakmat.
Suryo Wijoyo mengira ia telah memasang perangkap birokrasi yang mematikan. Ia tidak tahu bahwa Jay telah membangun sebuah benteng hukum yang kokoh bahkan sebelum perang dimulai.
Pak Budi menegakkan tubuhnya. Wajahnya yang tadi kaku kini dipenuhi kekaguman. Sebagai seorang birokrat senior, ia tahu kapan ia telah kalah telak. Ia menatap Jay dengan pandangan yang sama sekali berbeda.
"Ini... ini sungguh di luar dugaan," katanya, menggelengkan kepala. Ia mengambil Surat Perintah Penghentian Kerja dari mejanya. Tanpa ragu, ia mengeluarkan stempel besar dari tasnya, mencelupkannya ke dalam tinta merah, dan menghantamkannya ke atas surat itu.
DIBATALKAN
Tulisan merah itu tercetak jelas di atas surat perintah. "Tidak ada pelanggaran yang kami temukan," kata Pak Budi, suaranya kini terdengar jauh lebih ramah. "Maaf telah mengganggu waktu Anda. Silakan lanjutkan pekerjaan."
Ia dan timnya menjabat tangan Bastian dan Jay sebelum pergi, meninggalkan keluarga Tremaine yang masih membeku karena syok.
Begitu mobil para pejabat itu menghilang dari pandangan, sorak-sorai meledak di seluruh base camp. Para pekerja yang sejak tadi menonton dengan cemas, kini bersorak dan mengangkat topi mereka ke udara.
Bastian berjalan mendekati Jay, tangannya sedikit gemetar. "Kau... kau sudah tahu mereka akan datang. Kau sudah menyiapkan semua ini... sejak kapan?"
Jay hanya tersenyum tipis sambil menggulung kembali peta tuanya. "Suryo Wijoyo adalah orang yang bisa ditebak. Dia selalu menggunakan kekuatan dan koneksi sebelum menggunakan otak."
Ia lalu menatap ke arah jalan masuk base camp, tatapannya menjadi lebih serius. "Dia sudah mencoba cara 'halus' dan gagal."
"Serangannya yang berikutnya," lanjut Jay, "mungkin tidak akan sehalus ini."
Kemenangan itu terasa manis, namun kata-kata terakhir Jay meninggalkan gema yang sedikit mengerikan. Mereka telah memenangkan pertempuran birokrasi. Tapi perang melawan Raksasa Pasifik yang terluka dan marah baru saja memasuki babak yang jauh lebih berbahaya.