Ayudia Larasati, gadis cantik yang sudah berkali - kali gagal mendapatkan pekerjaan itu, memilih pindah ke desa tempat kelahiran ibunya setelah mendapatkan kabar kalau di sana sedang ada banyak lowongan pekerjaan dengan posisi yang lumayan.
Selain itu, alasan lain kepindahannya adalah karena ingin menghindari mantan kekasihnya yang toxic dan playing victim.
Di sana, ia bertemu dengan seorang pria yang delapan tahun lebih tua darinya bernama Dimas Aryaseno. Pria tampan yang terkenal sebagai pangeran desa. Parasnya memang tampan, namun ia adalah orang yang cukup dingin dan pendiam pada lawan jenis, hingga di kira ia adalah pria 'belok'.
Rumah nenek Laras yang bersebelahan dengan rumah Dimas, membuat mereka cukup sering berinteraksi hingga hubungan mereka pun semakin dekat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernanda Syafira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Hari Pertama Bekerja
"Mas kenapa gitu banget lihatin aku?" Tanya Laras.
"Cantik." Jawab Dimas.
"Aku, apa tasnya?" Tanya Laras sembari menunjukkan tas yang ia pakai. Tas yang di belikan Dimas tempo hari waktu mereka berkunjung ke Mall.
"Kamu lah, Ay." Jawab Dimas.
"Mas, suara telfon di hape Mas deh itu." Ujar Laras yang celingukan mencari ponsel Dimas.
"Di tas, Ay. Di kursi belakang." Jawab Dimas.
Laras segera mengambil tas dan mencari ponsel milik Dimas. Setelah menemukannya, Laras segera memberikan ponsel itu pada Dimas yang sedang menyetir mobil.
Dimas mengangkat panggilan dari salah satu temannya yang hendak memesan banner. Ia butuh untuk hari itu juga. Tentu saja Dimas akan mengusahakannya, walaupun kemungkinan akan siap di malam hari.
Setelah menyudahi panggilan telfon, Dimas kembali menyerahkan ponselnya pada Laras.
"Loh, kapan Mas fotoin aku? Ini di taman bunga itu kan? Gak mungkin editan deh ini, walaupun Mas jago ngedit." Tanya Laras saat melihat wallpaper ponsel Dimas.
"Iya, itu kamu waktu kita ke taman bunga." Jawab Dimas.
"Ternyata Mas ngerti ya, cara gunain kamera belakang." Gelak Laras.
"Aku lihat galeri Mas, boleh? Mau kirim foto yang ini dong." Pinta Laras.
"Gak boleh." Dimas menggoda kekasihnya.
"Hayooo, ada apanya? Ada vidio porno ya? Atau ada foto fullgar?. Aku cuma mau minta foto ini aja kok." Selidik Laras.
"Astaghfirullah, suudzon aja sih, Ay." Gerutu Dimas.
"Ya Mas gak izinin aku. Berarti ada rahasia kan?" Kata Laras.
"Buka sayang, boleh." Jawab Dimas pada akhirnya.
"Yakin? Beneran boleh? Gak takut rahasianya kebongkar?." Tanya Laras lagi.
"Rahasia apa sih, Ay?." Dimas balik nanya.
"Yaudah aku buka galeri Mas kalo gitu."
Laras yang cengengesan itu kemudian membuka galeri ponsel Dimas. Ia terkejut saat melihat isi galeri yang tak banyak itu.
"Mas ini penguntit ya?" Cicit Laras.
"Bisa - bisanya kamu bilangin pacar sendiri penguntit?" Omel Dimas.
"Ini liat, masak galeri isinya foto aku semua. Mana fotoinnya diem - diem lagi. Ini semuanya pose candid. Cuma beberapa aja foto selfie kita berdua. Foto Mas aja cuma ada dua di sini." Cerocos Laras.
"Emang gak boleh nyimpen foto pacar sendiri?" Tanya Dimas.
"Bilang kek, kalau mau foto. Jadi kan bisa keliatan cantik." Protes Laras.
"Itu cantik." Sahut Dimas.
"Mana ada? Liat dong ini mukaku, astaghfirullah Mas Dimas...." Omel Laras.
"Cantik. Liat tuh, bunganya aja sungkem sama kamu karna kalah cantik." Ujar Dimas.
"Bukan sungkem ini, Om. Ini emang dasarnya bunganya pada nunduk." Jawab Laras sambil mencubit lengan Dimas yang sedang tertawa.
Dimas menghentikan mobilnya ketika sampai di halaman kantor Laras yang tampak masih sepi.
Suasana yang tadinya riuh, tiba - tiba menjadi sepi. Laras terlihat gugup, di hari pertamanya mulai bekerja.
"Gak usah gugup, Ay." Ujar Dimas sambil menggenggam tangan Laras.
"Mau ngiyain, tapi aku beneran gugup loh, Mas." Jawab Laras.
"Ya emang wajar sih sebenernya kalo gugup di hari pertama." kata Dimas yang membuat Laras tertawa.
"Yaudah aku pamit kerja dulu, Mas." Laras meraih tangan Dimas dan menyalaminya. Tak lupa mencium tangan pria yang delapan tahun lebih tua darinya.
"Berasa nganterin istri kerja." Gelak Dimas yang balas mengecup punggung tangan Laras.
"Emang harus gitu salimnya sama orang yang lebih tua." Kekeh Laras yang membuat Dimas tersenyum.
"Mau di anterin sampe depan pintu?" Goda Dimas.
"Emang aku anak es de yang harus di anterin sampe depan pintu? Sekalian aja Mas tungguin aku terus ngintipin dari jendela." Cicit Laras.
"Kalo udah bisa merepet, berarti udah gak gugup." Kata Dimas yang tersenyum.
Laras yang tadinya hendak turun, kembali terdiam di tempatnya.
"Mas..."
"Hm.." Jawab Dimas yang masih saja latah.
"Maasss.."
"Dalem, sayang."
Laras tiba - tiba memeluk Dimas yang duduk menghadap ke arahnya.
"Aku gugup banget. Gini sebentar aja Mas." Pinta Laras yang mencari kenyamanan.
"Kalo ada Uti, pasti aku peluk Uti. Berhubung adanya cuma Mas, jadi aku peluk bentar ya? Gak mungkin aku mau peluk mobil Mas." Cicit Laras yang masih memeluk Dimas
Dimas yang sempat membeku beberapa saat ketika Laras tiba - tiba memeluknya, kemudian membalas pelukan kekasihnya sambil mengusap pelan punggung Laras.
"Gak apa - apa, semua bakal baik - baik aja. Semangat ya sayangku." Lirih Dimas yang kemudian mengusap - usap kepala belakang Laras.
"Makasih ya, Mas." Ujar Laras yang kemudian melepaskan pelukannya.
"Aku berangkat, Mas gak usah turun, aku bisa buka pintu sendiri. Mas hati - hati, ya, semangat juga kerjanya. Assalamualaikum." Pamit Laras.
"Waalaikumsalam. Gak mau cipika cipiki sekalian, Ay? Biar makin semangat." Goda Dimas.
"Gini aja udah semangat kok wllleeee." Jawab Laras sambil menjulurkan lidahnya.
"Bye, Mas." Laras melambaikan tangannya sebelum melangkah meninggalkan mobil Dimas.
Dimas tersenyum memandangi punggung kekasihnya yang kian menjauh dan kemudian menghilang hilang di balik pintu kaca.
...****************...
"Woy Dim! Ngapain?" Salah seorang kenalan Dimas menyapanya.
Dimas sendiri sedang duduk di mobil yang pintunya sengaja ia buka sambil memainkan Tabnya, menunggu Laras yang katanya sebentar lagi pulang.
"Nunggu orang." Jawab Dimas.
"Iyalah, gak mungkin beruang. Tapi, Dimas nungguin orang? Kalo bukan orang penting, mana mungkin." Kekeh Pria yang bernama Gani. Dimas sendiri hanya tersenyum menanggapinya.
"Kerja di sini, kak? Kok gak pernah lihat." Tanya Dimas.
"Iya. Belum lama di pindahin, baru bulan kemarin." Jawab Gani.
"Gimana percetakan? Tiap lewat keliatannya rame terus." Tanya Gani kemudian.
"Alhamdulillah lancar." Jawab Dimas.
"Mas...." Lirih Laras memanggil kekasihnya yang nampak sedang mengobrol dengan atasannya.
"Dalem, dek." Jawab Dimas.
"E, Mas kenal Pak Gani?." Tanya Laras yang di jawab anggukan oleh Dimas.
"Lho, Laras?" Gani menunjuk Laras dan Dimas bergantian.
"Bojomu, ta?" Tanya Gani pada Dimas.
"Belum." Sahut Dimas.
"Seleramu ternyata om - om tajir to, Ras." Goda Gani yang membuat Laras tertawa.
"Masih kelihatan muda kok, Pak. Gak kayak om - om." Jawab Laras membela, membuat Dimas tersenyum.
"Hahaha iya sih, kayaknya dia ini berhenti menua." Kekeh Gani.
"Yowes, aku disikan Dim. Wes di enteni nyonya, geger ngejak nggolek takjil. (Yaudah, aku duluan Dim. Udah di tungguin nyonya, ribut ngajak cari takjil)." Pamit Gani yang di jawab anggukan juga senyuman oleh Dimas.
"Ayo, Ras." Ujar Gani kemudian.
"Njih, monggo, pak. (Iya, silahkan, pak.)" Jawab Laras.
Dimas dan Laras kemudian turut masuk ke dalam mobil.
"Mas kok kenal sama Pak Gani?" Tanya Laras.
"Iya, dulu waktu SMA sering nongkrong bareng." Jawab Dimas.
"Laki emang gitu, ya. Kenalannya banyak, dimana - mana. Perasaan tiap tempat yang kita datengin, pasti ada aja orang yang kenal sama Mas. Apa jangan - jangan, Mas Dimas dulu terkenal banget ya, di sekolah?"
"Enggak kok."
"Gak mungkin deh, secara Mas ganteng, pinter, walaupun kaku dan pendiem. Tapi pasti lah populer, gak mungkin kalo gak populer." Cicit Laras yang hanya di tanggapi dengan gelengen dan tarikan nafas oleh Dimas.
"Kita sekalian nyore, cari takjil ya Ay." Ajak Dimas.
"Boleh. Kata Nila, di lapangan dekat Balai Desa banyak yang jual takjil kalo Ramadhan gini, Mas."
"Iya, kita kesana." Jawab Dimas.
Tak butuh waktu lama, mereka berdua kini sudah berada di depan lapangan yang tampak penuh dengan penjaja makanan khas Ramadhan.
"Duh, laper mata! Es nya menggoda banget." Lirih Laras yang melihat deretan makanan yang begitu menggiurkan.
"Boleh beli apa aja, asal bukan es." Kata Dimas.
"Baru aja bilang kalo esnya menggoda banget." Sahut Laras yang melirik sinis ke arah Dimas.
"Nanti radang lagi tenggorokanmu, Ay."
"Mass, sekali aja.." Pinta Laras.
"Enggak.."
"Ayolah, Mas.." Bujuk Laras
"Mboten, sayang. (Enggak, sayang)" Ujar Dimas lembut sambil menangkup wajah Laras.
"Yaudah deh." Sahut Laras yang cuma bisa pasrah dengan penolakan lembut yang keluar dari mulut Dimas.
"Emang dasar Mas Dimas buaya. Bisa - bisanya selalu bikin aku nurut cuma dengan ngomong lembut gitu." Batin Laras yang merutuki diri karena tersihir dengan ucapan si buaya.
update trus y kk..
sk bngt ma critany