NovelToon NovelToon
Object Of Desires

Object Of Desires

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Pengantin Pengganti / Romansa / Kaya Raya
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Elin Rhenore

Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HATE ME THE WAY YOU LIKE TO DO

Dua minggu berlalu sejak Vanya menerima tawaran menjadi pengacara Vallencia untuk kembali merebutkan hak asuh anak. Vanya melakukan semua yang dirinya bisa dan biasa lakukan ketika dirinya bekerja.

Pertama, ia menggali sedalam-dalamnya informasi terkait dengan Vallencia. Apa saja kegiatannya, siapa saja yang dia temui, sudah seperti layaknya seorang detektif swasta. Tidak sia-sia dia bekerja siang dan malam menguntit Vallencia. Dari kerja kerasnya ia tahu jika perempuan kaya raya itu suka menghabiskan waktunya untuk kesenangan pribadinya. Dua hari sekali, perempuan itu pergi ke sebuah club. Vanya pun harus masuk ke club tersebut, mengorek informasi dengan memberi salah satu pegawainya uang yang cukup banyak agar mau buka mulut.

Awalnya, manajer club tersebut enggan untuk memberitahu dengan alasan privacy. Namun, Vanya tidak hanya datang dengan segepok uang, ia datang dengan amunisinya—bukti pekerjaan ilegal yang dilakukan di dalam club tersebut. Manajer club tentu tidak ingin dirinya terkena masalah dan akhirnya buka mulut dengan sendirinya. Dari situ diketahui, Vallencia suka berpesta dengan sahabat-sahabatnya, tidak hanya berpesta mereka juga mengundang para angelo untuk memuaskan mereka.

Bukan hanya kebiasaan bersenang-senang ini, Vallencia juga pergi ke psikiater. Untuk masalah ini Vanya tak bisa bertindak lebih jauh, jika ingin tahu fakta rekam medisnya ia harus mendapatkan persetujuan dari Vanya.

Untuk yang kedua, Vanya tidak hanya menyelidiki tentang Vallencia. Dia juga menyelidiki Albert. Hal-hal umum juga didapatkannya, seperti kegiatan yang dilakukan oleh pria itu. Namun, ada hal yang agak mengusik Vanya, yaitu keberadaan sosok kekasih Albert dan alasan pria itu pergi ke psikiater. Vanya tidak habis pikir, dua pasangan ini sepertinya saling menderita tapi mereka harus saling membenci.

Demi mendapatkan informasi lebih lanjut tentang Albert membuat Vanya harus kembali ke rumah yang diberikan oleh Rendra sebagai mas kawin pernikahan, rumah yang sedang direnovasi. Vanya berpikir, dia tidak mungkin menerobos ke kantor firma Rendra untuk mendapatkan informasi, maka satu-satunya jalan adalah menggeledah ruang kerja suaminya. Selama ini ia tahu jika Rendra seringkali membawa pekerjaan kembali ke rumah, pasti ia bisa mendapatkan sesuatu.

Kini Vanya sudah berada di ruang kerja Rendra. Di dalam ruang kerja tersebut, ia melihat ada rak-rak berisi dokumen tersusun dengan rapi. Vanya mulai mencari dari rak-rak itu, tapi hasilnya nihil. Ia mulai beralih ke meja kerja Rendra, di sana terdapat sebuah PC dan beberapa tumpukan dokumen yang tampaknya penting. Vanya segera mencari di sana, ia menyalakan PC tersebut, sembari menunggu PC menyala ia mencari-cari pada tumpukan dokumen.

"Sepertinya saya sudah menikahi seorang pencuri."

Sebuah suara menghentikan aksi Vanya. Tak menyangka jika dirinya akan tertangkap basah oleh pemilik suara yang sangat dikenalnya itu. Ia menarik tangan kembali ke sisi tubuhnya dan menegakkan tubuhnya, melihat gerangan yang memergoki dirinya.

Tepat sejauh lima meter di depannya, seorang pria bertubuh gagah, pakaiannya masih lengkap, sedang berdiri miring bersandar pada kusen pintu sembari melipat tangan di depan dadanya. Wajahnya tampak datar, tak ada emosi yang tergurat di sana.

"Mas Rendra ... ngapain kamu ke sini?" Suara Vanya hampir tak bisa keluar dengan sempurna, hanya berupa decihan lembut. Entah Rendra mendengarnya atau tidak tapi pria itu belum bereaksi, hanya memandangi istrinya dengan seksama.

"Apakah saya membutuhkan ijin untuk menemui perempuan yang sudah saya nikahi, Anantari?" pertanyaan itu keluar dengan nada rendah, tanpa amarah, seolah-olah Rendra mengabaikan apa yang dituduhkannya kepada Vanya di awal.

"Ti-tidak," gagap Vanya.

"Bagus," sahut Rendra dengan cepat. Posisinya kini berubah, ia bergerak seperti hendak melangkah. "Sudah dua minggu, saya biarkan kamu untuk melakukan apapun yang kamu mau, Anantari." Rendra berkeluh.

Benar, waktu berlalu begitu cepat, sejak pertengkaran mereka yang terakhir ternyata dua minggu sudah mereka lalui. Mereka tinggal dalam satu apartemen yang sama, tapi mereka hanya bertemu saat pagi saja, itu pun bisa dihitung dengan jari. Vanya lebih sering berangkat pagi-pagi buta, dan Rendra memilih untuk pulang larut malam hingga intensitas pertemuan mereka bisa dihitung dengan jari. Pun bila mereka bertemu, hanya ada sapaan dingin yang keluar dari bibir Vanya.

Rendra membiarkannya, ia tahu bahwa rasa kecewa Vanya sangat besar. sebagai perempuan berprinsip kuat, pasti merasa jika harga dirinya sudah diinjak-injak. Rendra tidak ingin kembali memaksa Vanya untuk meladeninya seperti saat pertama kali mereka bertemu kembali setelah sekian lama. Sudah cukup memaksanya terlibat pernikahan dengannya, memaksanya untuk memaklumi permainan yang buat tampaknya berlebihan. Dan sejak awal, Rendra tak pernah ingin melibatkan Vanya dalam pergolakan permainan ini. Keinginannya jelas, Vanya menjadi pendampingnya, seseorang yang akan ia jaga seumur hidupnya.

"Kita harus berdamai," gaung Rendra memenuhi ruangan, pria itu melangkah mendekat pada meja kerjanya. Sekilas ekor matanya menilai apa yang terjadi di dalam ruang kerjanya. Pria itu tahu Vanya baru saja menggeledah ruang kerjanya.

"Tidak ada peperangan yang dimulai, maka tidak ada perdamaian." Vanya telah berhasil mengumpulkan kembali semangatnya.

Rendra melangkah melewati meja, memosisikan dirinya di samping Vanya. Sementara perempuan itu enggan untuk menoleh dan menghadap pada suaminya.

"Jangan keras kepala, Anantari!"

Seketika itu Vanya menoleh dengan tegas, mata cokelatnya tertaut pada kelamnya netra sang suami. Keduanya beradu pandang, beradu emosi yang tak bisa dijelaskan.

"Harusnya kamu katakan itu pada dirimu sendiri, Mas!" Tanpa sadar Vanya meninggikan suaranya di akhir kalimat. "Apakah sesulit itu untuk mengakui kesalahan?" bola mata Vanya mulai berair, sekuat tenaga ia menahannya agar tak ada yang menetes.

"Saya tidak pernah melakukan kesalahan."

"Kamu memaksaku menikah denganmu, kamu membuatku dimutasi, kamu menyabotase kasusku! Kamu...kamu hanya menganggapku sebagai permainan." Gema suara Vanya berhasil memukul relung hati Rendra.

Lantas tangan sang suami terulur, menarik perempuan yang tidak lebih tinggi dari bahunya itu ke dalam pelukannya. Membiarkan Vanya menumpahkan lautan di pelupuk matanya ke dekapan sang suami.

"Kamu bukan permainan, Vanya."

"Aku benci kamu, Mas." Terisak Vanya dalam kehangatan tubuh Rendra.

"Silakan benci saya sebanyak yang kamu mau, Anantari." Rendra berusaha untuk memberikan kenyamanan, mengusap punggung lembut Vanya. "Jika membenci saya bisa meringankan rasa sakitmu, maka lakukanlah."

Beberapa saat, merasa isaknya tak lagi bersisa Vanya mengendurkan pelukan Rendra. Memberi jarak yang sangat dibenci oleh Rendra. Perempuan itu mendongak untuk menatap pria yang sudah menjadi suaminya hampir tiga bulan lebih. Bertanya-tanya dalam kepala kecilnya, apakah pria ini bisa dipercaya untuk seterusnya?

Tangan Vanya terkepal, ia tidak ingin larut dalam kelemahan cara berpikirnya setiap kali berada di dekat Rendra. Mundurlah langkahnya, memberi jarak yang lebih jauh. Tangan Rendra hendak meraihnya lagi tapi terhenti begitu saja.

"Aku akan membencimu mulai sekarang." Begitulah Vanya akhirnya memutuskan. Ia tidak akan mempercayai Rendra lagi untuk saat ini sampai pria itu bisa membuktikan jika ucapan yang terlontar dari mulutnya beberapa saat lalu bukanlah bualan belaka.

"Ya, kamu sudah melakukan hal yang benar." Berat hati rasanya bibir Rendra mengucapkan setiap patah kata itu. Tercabik hatinya harus merelakan Vanya yang pada akhirnya telah memberi batasan dalam hubungan mereka.

Hubungan yang bahkan tidak dimulai dengan benar.

**

Dering ponsel yang secara berulang dengan lantang akhirnya membuat Vanya terbangun, segera ia meraih ponsel di atas nakas. Nama kakak iparnya tertera di atas layar ponsel. Tidak biasanya, sang kakak ipar menghubunginya, jika itu terjadi maka ada sesuatu yang penting. Vanya tidak membuang waktu, ia langsung mengangkat panggilan telpon tersebut.

"Hallo, Mas Saga...." Vanya belum sempat menanyakan urusannya, suara diseberang sudah menyelanya.

"Vanya. Kakak kamu akan melahirkan, saat ini sedang berada di ruang operasi. Bisa kah kamu kemari?"

Sebenarnya Vanya tidak terkejut dengan pemberitahuan itu, namun suara bergetar di seberang saluran itu membuatnya penasaran. Apa gerangan yang terjadi hingga seorang Saga yang hampir tidak pernah berteriak atau pun terlihat gelisah terdengar sangat gusar. Vanya masih berusaha berpikir positif, mengira jika Saga mungkin gugup, bukankah seorang suami selalu gugup jika istri tercintanya sedang berjuang untuk melahirkan buah hati mereka. Apalagi ini yang pertama bagi mereka.

"Mas, kamu tenang ya, aku dan Mas Rendra akan ke sana." Vanya berusaha menenangkan kakak iparnya.

"Miray harus operasi, Vanya. Miray kolaps dia tidak sadarkan diri tadi subuh." Kalut sudah Saga dibuat oleh keadaan. Mendengar itu, Vanya pun ikut terkejut tanpa sadar ia langsung bangkit dari tempat tidurnya.

"Mas tenang ya, aku ke sana. Di mana rumah sakitnya?" Apalagi yang bisa dia katakan? Saat ini ia hanya bisa meminta Saga untuk tenang. "Kakakku pasti baik-baik saja, dia perempuan yang kuat." Dan meyakinkannya dengan kepercayaan terakhirnya.

Vanya meraih jaket ala kadarnya yang tergantung di gantungan pakaiannya. Saat ia keluar dari kamarnya sambil terus berusaha menenangkan Saga, terlihat Rendra sedang menyiapkan sarapan di dapur apartemen.

Mendengar langkah Vanya keluar dari kamarnya, Rendra menoleh untuk memeriksa. Mendapati Vanya tampak gelisah dan tampak terburu-buru membuatnya mematikan kompor. Rasa penasaran mendorong Rendra melangkah mendekati Vanya.

"Ada apa?" tanya Rendra ketika Vanya selesai dengan ponselnya.

"Kakakku ... dia kolaps ... Mas, kakakku sepertinya harus operasi, aku ... aku ..." Vanya pun tampak linglung untuk sesaat. Rupanya keteguhan hati yang ia coba untuk tularkan kepada Saga sebenarnya adalah topeng luar dirinya.

"Mas, gimana kalau sesuatu terjadi sama kakakku? Dia ... aku Cuma punya dia." Air mata bertumpuk di sudut matanya, sudah mendesak untuk terjun bebas. Bibir Vanya bergetar, ia ingin bicara tapi semua kata-katanya tersekat di tenggorokannya. Hingga saat dirinya menatap Rendra dan ingin menuangkan kekalutannya, semua hanya angin kosong tanpa omong.

"Hei, hei, hei, semuanya akan baik-baik saja." Rendra menangkup wajah Vanya yang sudah tampak pucat. Sebutir air mata akhirnya terjun dengan bebasnya.

"Aku takut ... aku takut dia juga pergi."

"Tidak ada yang akan pergi, Anantari. Percaya saya, ya?" Rendra mendongakkan wajah Vanya hingga akhirnya tatapan mereka kini saling bertemu.

Manik gelap milik Vanya bergetar gelisah, di situ Rendra teringat saat-saat acara pemakaman Abhimanyu dan istrinya. Ia juga melihat manik yang sama saat itu, sama persis. Rendra tidak akan pernah lupa saat-saat itu, dan kini ia harus kembali menyaksikannya.

"Anantari ... kamu dengar, kakak kamu akan baik-baik saja. Sekarang kita pergi ke sana. Oke?"

Vanya mengangguk, menurut dengan segala kegetiran hatinya. Saat ini tidak ada yang lebih penting selain pergi ke rumah sakit dengan selamat.

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit terasa begitu lambat, meski pagi hari itu jalanan tidak begitu macet tapi karena kegelisahan yang menyerang seluruh saraf di tubuhnya membuat Vanya merasa perjalanan mereka sangat lama. Tak berhenti ia meremas-remas jemarinya untuk meredakan ketegangan.

"Semuanya akan baik-baik saja, Anantari." Rendra terus mengulang ucapannya bak sebuah mantra setiap lima menit sekali. Namun tampaknya itu tidak begitu manjur untuk Vanya, perempuan itu kadung gelisah.

Sampai di rumah sakit, Vanya tak membuang waktunya, ia melangkah dengan buru-buru. Beberapa kali tersandung oleh kakinya sendiri hingga hampir terjatuh, beruntungnya Rendra selalu ada di sampingnya. Jadi setiap kali dirinya hampir terjatuh seseorang pasti sudah menahan tubuhnya agar tak sampai ambruk ke lantai.

Mereka sampai di ruang tunggu operasi. Di sana terlihat Saga masih menggunakan seragamnya. Melihat kedatangan adik iparnya, pria itu langsung berdiri. Terlihat jelas sekali di wajah tampannya, emosi yang tak terlukiskan tapi lebih dominan ada rasa takut di sana, bekas air mata membuatnya semakin terlihat buruk.

"Gimana, Mas?"

"Masih di operasi. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana." Suara Saga terdengar serak, tak berdaya, seolah-olah nyawa yang tertinggal dalam tubuhnya hanya tinggal separuh saja.

"Kita tunggu saja, dokter pasti melakukan yang terbaik."

"Aku benar-benar tidak berguna," ujar Saga sembari kembali duduk di kursi. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, lalu tubuhnya bergetar—Menangis.

Vanya bingung, ia menatap Saga, lalu menatap Rendra, sesaat kemudian ia menepuk punggung sang kakak ipar.

"Seharusnya aku ada di sampingnya, seharusnya aku menjaganya, aku suami yang tidak berguna." Begitu racaunya dalam isakan yang tak terhenti itu.

Rendra di sampingnya pun turut menepuk-nepuk punggung Saga—sahabatnya. Mungkin dia tidak bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Saga saat ini. Namun, ia bisa membayangkan jika dirinya harus berada dalam keadaan dimana bisa kehilangan Vanya sewaktu-waktu mungkin kondisinya kurang lebih sama.

Dua jam waktu berlalu. Saga terus mondar-mandir dengan tatapan tak lepas dari pintu ruang operasi. Di sisi lain, Vanya dan Rendra saling menguatkan di kursi ruang tunggu, pandangan mata Vanya pun tidak teralihkan. Dalam hatinya selalu berharap ada mukjizat yang diturunkan oleh Tuhan dan membuat operasi segera selesai dengan hasil yang diharapkan semua orang.

Sesaat kemudian lampu penanda di atas pintu ruang operasi dimatikan. Saga bersiaga di samping pintu dan Vanya pun langsung berdiri. Mereka berharap penuh kecemasan hingga tak berselang lama pintu itu dibuka. Seorang dokter masih menggunakan pakaian APD keluar.

Sungguh, jantung Vanya berdetak dengan sangat kencang. Beberapa kali ia melihat ke belakang dokter tersebut untuk menantikan kakaknya keluar tapi tak ada yang keluar lagi setelah sang dokter.

"Dokter, bagaimana kondisi istri saya?" Pertanyaan itu muncul pertama dari bibir Saga. Pertanyaan yang cukup membuat Vanya terhenyak, menyadari bahwa kakak iparnya begitu mencintai kakak kandungnya, cinta yang sangat besar.

"Operasi berjalan lancar meski sulit ...." Begitu dokter menyampaikan berita, semua orang menghela nafas dengan sangat lega. Bahkan Saga terlihat hampir luruh ke lantai karena lututnya yang lemas.

"Kapan saya bisa melihat istri saya dokter?"

"Bapak tenang dulu. Saat ini pasien harus dipindahkan ke ruang intensif untuk dipantau keadaannya. Karena saat datang kemari kondisinya cukup buruk, meski begitu kami sudah berhasil menstabilkan tekanan darah dan kejangnya. Sehingga pasien masih harus dipantau secara intensif."

Saga berusaha mengerti dan menerima perkataan dokter. Lantas ia seolah teringat akan sesuatu, tepat sebelum si dokter pergi, Saga kembali menanyakan sesuatu. "Bagaimana dengan keadaan bayi kami, Dokter?"

"Bayinya selamat, cantik seperti ibunya."

"Syukurlah, terima kasih dokter."

"Sama-sama, Pak. Saya ucapkan selamat atas kelahiran bayinya."

Saga hanya membalas dengan senyum simpul.

Setelah Miray dipindahkan ke ruang ICU, hanya Saga yang diperbolehkan untuk menemaninya. Itupun dibatasi oleh waktu. Di luar, melalui celah kaca di tengah pintu ICU, Vanya bisa melihat Saga sedang menatap Miray. Tatapan itu bukan sekadar pandangan kosong, ada ketakutan yang dalam, seolah-olah ia takut kehilangan sesuatu yang tak tergantikan. Namun di balik ketakutan itu, terselip kelegaan karena Miray masih bertahan, masih bernafas di hadapannya. Dan di atas semuanya, tatapan itu dipenuhi dengan cinta yang besar, cinta yang membuatnya enggan berkedip, seakan setiap detik menatap Miray adalah cara terbaik untuk meyakinkan dirinya bahwa ia masih ada.

"Anantari." Suara Rendra mengalihkan fokus Vanya, perempuan itu segera menoleh dan mendapati sang suami berdiri di sampingnya sembari menyodorkan sebuah minuman kaleng dan sebungkus sandwich kepadanya.

"Makan dulu, kamu berangkat dengan perut kosong."

"Aku masih mau lihat kakak," balas Vanya sambil menoleh kembali ke arah dalam ICU. Rendra memasukkan makanan itu kembali ke dalam tas plastik.

"Bagaimana ya rasanya?" tanya Vanya tiba-tiba, suaranya begitu lirih tapi Rendra bisa mendengarnya.

"Apa?"

Vanya masih melihat ke arah dalam tanpa menjawab pertanyaan Rendra.

"Rasa apa, Anantari?" Rendra mengulang pertanyaannya.

"Rasanya ditatap dengan penuh cinta oleh pria yang kita cintai," lirih Vanya lagi. Helaan nafas keluar dari bibirnya. Lantas ia menjauh dari pintu dan menatap Rendra. "Aku ingin tahu rasanya."

Ucapan Vanya seperti anak panah yang melesat cepat menembus jantung Rendra. Dan ketika Rendra hendak menjawab, Vanya melangkah pergi begitu saja meninggalkannya tanpa bisa membela diri. 

...--Bersambung--...

...OBJECT OF DESIRES | 2025...

1
👣Sandaria🦋
wah pasti kasusnya seheboh kasus Jessica Kumalawongso. live lho🤔😅
Elin Rhenore: terima kasih
total 1 replies
👣Sandaria🦋
baca satu bab, Kakak. asik nih cerita pengacara saling bakutikam di ruang sidang, kemudian saling bakugoyang di ranjang👍😆
Elin Rhenore: terima kasih kakak /Hey/
total 1 replies
d_midah
selain cantik, yang aku bayangin pipinya yang gemoy☺️☺️🤭
Tulisan_nic
sidangnya siaran langsung apa gimana Thor?
Elin Rhenore: sidangnya siaran langsung, karena sifatnya terbuka untuk umum.
total 1 replies
Tulisan_nic
Baca bab 1 udah keren banget,aku paling suka cerita lawyer² begini.Lanjut ah
Elin Rhenore: terima kasih yaaa, semoga sukaa
total 1 replies
Ayleen Davina
😍
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025
Hallo Kak. Semangat berkarya ya 🫶
Sweet Moon |ig:@sweet.moon2025: seru ceritanya 🫶
total 2 replies
Mike_Shrye ❀∂я⒋ⷨ͢⚤
"istri saya" kulanjutin dah😂
Mei Saroha
ayooo kakak othorr lanjutkaann... yukkk bisa yuukkk
Elin Rhenore: sabar yaaaa hehehehe
total 1 replies
Mei Saroha
rendra bertekad untuk lindungi Vanya..
Mei Saroha
alurnya keren thorr
semangat nulisnyaa yaaaa
Mei Saroha
hareudangg euyyy
Mei Saroha
morning wood itu apa kak 😃😀😁
Mei Saroha
apakah keluarga rendra membunuh orangtua Vanya?
Siti Nina
Lanjut thor jgn di gantung cerita nya
Siti Nina
Nah lho perang akan segera di mulai
Siti Nina
Oke ceritanya 👍👍👍
Siti Nina
Meleleh gak tuh mendengar ucapan Renrda manis banget
Mei Saroha
wahh.. ini masuk KDRT bukan sih
Mike_Shrye ❀∂я⒋ⷨ͢⚤
good
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!