NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:859
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25 KEDATANGAN VIREN

Zia berdiri di depan cermin. Overall hitam membalut tubuh mungilnya, dipadukan dengan blus abu-abu yang membuat penampilannya terlihat sederhana tapi anggun. Rambutnya sudah ditata meski tidak terlalu rapi—disanggul sebagian, sementara sisanya dibiarkan tergerai di sisi wajahnya.

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Viren masuk dengan langkah tenang, masih mengenakan kemeja dan vest yang membingkai tubuh kekarnya. Ia menuju sofa dan mengambil jas yang sebelumnya telah disiapkan Zia.

Kacamatanya sudah bertengger seperti biasa. Ia sempat menoleh ke arah Zia, yang masih sibuk memeriksa penampilannya di cermin. Saat tatapan mereka bertemu, Zia buru-buru membalikkan badan, sedikit salah tingkah.

Ia mendekat, lalu berhenti tepat di depan Viren yang kini berdiri mematung, masih memegang jas di lengannya.

“Ayo,” ucapnya pelan, mengajaknya turun.

Viren tak langsung menjawab. Matanya menyapu Zia dari kepala hingga ujung kaki, lalu terhenti pada wajahnya yang mulai panik karena diperhatikan terlalu lama. Zia spontan membenarkan rambutnya beberapa kali.

Apa penampilanku aneh? Batinnya, cemas.

“Hm,” gumam Viren akhirnya, singkat tapi tak bisa ditebak maknanya.

Di luar Calligo, Jake dan Manuel sudah berdiri di samping mobil masing-masing. Sinar matahari pagi memantul dari rambut pirang Manuel yang berkilau terang.

Begitu melihat Viren menuruni tangga, Jake segera membukakan pintu mobil—begitu pula dengan Manuel di sisi lain. Keduanya tampak sigap, meski dalam hati masih bertanya-tanya tentang urusan kali ini.

“Zia, masuk!” ucap Viren singkat.

Zia menghentikan langkahnya. “Masuk ke mana?” tanyanya, heran.

Tanpa menjawab, Viren langsung meraih pergelangan tangan Zia dan membawanya masuk ke mobil hitam mewah buatan Italia. Gerakannya tegas, tapi tidak kasar.

Jake dan Manuel saling menatap dari kejauhan. Ada sesuatu yang tak biasa hari ini. Manuel mengangkat bahu, menandakan ia pun tak tahu.

Sebelum masuk ke kursi kemudi, Jake sempat berbisik pada Manuel, “Temui aku nanti siang.”

Manuel menjawab dengan mengacungkan telunjuk ke alisnya, tanda setuju.

Di dalam mobil, Zia duduk diam. Kedua tangannya bertumpu di atas pahanya, berusaha terlihat tenang. Tapi jantungnya berdetak cepat, seperti belum terbiasa duduk sedekat ini dengan pria itu—meskipun ini bukan kali pertama.

Tanpa peringatan, Viren mendekat. Sangat dekat. Zia terkejut, tubuhnya refleks menegang, dan napasnya tercekat sejenak.

“Gunakan ini sebelum jalan,” ujarnya pelan, seraya menarik sabuk pengaman dan mengaitkannya ke tempatnya.

“M-maaf, aku lupa,” ucap Zia buru-buru, pipinya memerah.

Mobil melaju perlahan, meninggalkan halaman Calligo menuju pusat kota—tempat gedung-gedung mewah dan kafe-kafe kecil berjejer seperti perhiasan di siang hari yang cerah.

Setelah perjalanan yang cukup mendebarkan, Zia kini tenggelam dalam kesibukan di kafe Ollano. Jemarinya lincah menyusun kue-kue kecil di atas etalase kaca. Ami dan Lily bekerja cekatan di belakangnya—menyambut pelanggan, mengecek oven, dan mencatat pesanan.

Aroma mentega yang meleleh menyatu dengan harum kopi yang baru diseduh. Setelah hampir seminggu tutup, tempat itu kembali hidup. Tawa pelanggan, denting sendok pada cangkir, dan langkah-langkah ringan di atas lantai —semuanya membentuk ritme baru yang menenangkan.

Sementara itu, di lantai tertinggi gedung Kairotek, suasana justru penuh ketegangan. Puluhan layar menyala, menampilkan grafik, rekaman kamera, dan baris kode yang terus diperbarui. Semua orang tengah sibuk menyiapkan peluncuran resmi SPEKTRA—sistem keamanan generasi terbaru yang digadang-gadang sebagai karya terobosan.

Sensor demi sensor diuji. Setiap identitas disimulasikan. Wajah-wajah tanpa ekspresi berdiri di balik komputer, memburu celah sekecil apapun yang bisa menjatuhkan sistem itu. Di balik kaca gelap ruang observasi, Viren berdiri diam. Kacamata di wajahnya memantulkan biru dingin dari layar. Ia tak bicara, tapi seluruh ruangan bekerja seolah mendengar perintahnya.

Di tempat lain, jauh dari kemewahan dan sistem canggih, keramaian bandara justru memunculkan kontras yang berbeda. Seorang wanita melangkah tenang, menggerek koper hitamnya di antara hiruk-pikuk penumpang.

Topi kupluk menutupi sebagian rambutnya. Kacamata hitam melindungi matanya dari sorot lampu. Dan masker hitam menutupi hampir seluruh wajahnya—hanya suara nafasnya yang terdengar jelas di bawah kain tipis itu.

Ia berhenti sejenak, memutar kepalanya pelan seakan mencari sesuatu. Atau mungkin, seseorang.

"Zia... aku kembali." gumamnya pelan, hampir tak terdengar, namun suaranya sarat makna.

Langkahnya berlanjut, menyusuri lorong keberangkatan dengan satu tujuan yang belum diketahui siapa pun—kecuali dirinya sendiri.

Langit bandara menggelap seiring senja merayap. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, memantulkan kilau ke tubuh logam mobil-mobil yang mengantri di area penjemputan.

Alin berdiri diam di tengah keramaian, langkah-langkah sekelilingnya bergegas, tapi ia tetap pada tempatnya. Tangannya menggenggam gagang koper, dan untuk sesaat, ia menatap langit kota yang dulu ditinggalkannya. Meski baru beberapa bulan, udara kota ini masih sama—menyesakkan dan penuh kenangan.

Ia menarik napas panjang lalu berjalan. Setiap langkah terasa berat. Ia belum punya tujuan pasti. Tapi satu nama terus berputar di benaknya.

Zia.

Ia sempat memikirkan untuk mengirim pesan. Tapi tak satu kata pun bisa ia ketikkan. Terlalu banyak yang harus dijelaskan, terlalu banyak luka yang belum sembuh.

Sementara itu, di kafe kecil Ollano, tawa Ami terdengar dari arah dapur. Zia sedang membersihkan meja bar, sesekali mengecek ponselnya. Sejak mereka tiba di pusat kota, pria itu pergi tanpa penjelasan. Seperti biasa.

“Kak Zia!” panggil Lily sambil mengangkat nampan penuh kue-kue manis dari oven. “Kau lihat loyang kecil yang biasanya aku pakai untuk tart stroberi?”

Zia menoleh, “Di rak atas, dekat toples mentega. Kau yang taruh tadi pagi.”

“Ah! Benar juga.” Lily tersenyum dan berlalu.

Zia kembali fokus menyeka meja, tapi entah kenapa pikirannya seperti dihantui. Ada perasaan aneh. Seperti seseorang sedang memikirkan dirinya—atau lebih buruk, sedang mengarah ke arahnya.

...----------------...

Di luar kafe, dibawah sinar bulan, Alin duduk dalam mobil di seberang jalan. Ia menatap jendela Ollano dari kaca mobil yang sengaja ia buka. Dari tempatnya, ia melihat siluet Zia, yang tampak sibuk dengan hal-hal kecil seperti dulu.

Tidak ada yang berubah dari adiknya itu. Tapi juga tidak ada yang sama.

Alin menunduk, lalu meminta pengemudi itu berjalan menjauh tanpa mengatakan apa-apa. Belum sekarang. Ia belum siap.

Tapi kota ini tahu: ketika masa lalu kembali, ia tidak akan sekadar lewat.

Lonceng kecil di atas pintu berdenting. Tiga wanita yang sedang sibuk langsung menoleh bersamaan.

Seorang pria dengan kacamata berdiri di ambang pintu. Viren. Rambutnya masih rapi, wajahnya tetap dingin dan sulit ditebak seperti biasa. Di belakangnya, seorang pria lain yang tak kalah familiar ikut melangkah masuk—Jake.

“Selamat datang, Tuan.” Sapa Ami ramah, meski nada suaranya sedikit berubah tanpa ia sadari.

Zia mematung. Ia tidak menyangka Viren akan datang ke tempat ini. Detak jantung yang biasanya stabil kini kacau, berlari seperti kuda lepas kendali. "Kenapa mereka disini?"

Ia mencoba menenangkan diri, berbisik dalam hati: Bersikaplah biasa saja... Tapi nyatanya tubuhnya justru kaku, membuat atmosfer di dalam ruangan terasa aneh. Semua merasakannya, kecuali Lily.

Wanita berponi itu hanya melirik cepat ke arah Zia, lalu pada Jake. Tatapan mereka bertemu sejenak. Tanpa suara, tanpa bahasa, hanya kedipan pelan dari Lily yang cukup memberi isyarat. Jake membalas dengan anggukan kecil yang tak kentara.

“Americano dan brown cake. Masing-masing satu,” ucap Viren tenang, suaranya berat dan terdengar sangat biasa.

“…Dan cappuccino satu,” lanjut Jake dari belakangnya.

“Diminum di sini atau dibawa pulang?” tanya Ami, mencoba menjaga nada suaranya tetap datar.

“Di sini,” jawab Viren. Ia lalu melangkah menuju tempat duduk di ujung ruangan, kursi paling jauh dari pintu. Namun cukup jelas dari tempat Zia.

Ami segera beranjak menyiapkan pesanan. Tangannya cekatan membuat kopi satu per satu dan menyusun kue di piring kecil. Sementara Lily membersihkan beberapa meja dan rak, pura-pura sibuk padahal matanya beberapa kali mencuri pandang ke arah meja itu.

Zia berdiri di balik meja bar, masih belum bergerak. Ia menggigit bibir bawahnya diam-diam, berusaha terlihat tenang, padahal pikirannya penuh dengan tanda tanya yang tak kunjung reda.

Di meja paling ujung, Viren mengeluarkan ponselnya. Ia mengetik cepat, lalu meletakkannya di atas meja tanpa banyak ekspresi.

Tak lama kemudian, ponsel Zia bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Hanya dua kata:

“Kau panik.”

Zia menoleh. Matanya mencari sumber pesan itu, dan langsung bertemu dengan tatapan milik pria itu. Sorot matanya begitu tenang—terlalu tenang.

Mereka saling memandang beberapa detik. Diam. Senyap. Hingga akhirnya, salah satu alis Viren terangkat perlahan, seolah mengejek dengan cara yang sangat halus.

Zia buru-buru membalikkan badan, pipinya terasa panas.

Satu jam berlalu.

Pelanggan terakhir telah pergi setelah membawa dua Americano, menyisakan kedai yang kembali sunyi. Ami dan Lily masih berdiri kaku di balik meja, menanti dua pria yang masih duduk diam tanpa sepatah kata pun.

"Kak Zia…" panggil Ami pelan.

“Kalian pulang dulu saja. Sisanya biar aku yang bereskan,” jawab Zia, tahu betul Ami ingin pulang namun terhalang oleh kehadiran Viren dan Jake yang belum bergerak dari tempat duduknya.

"Aku akan bantu dulu sebelum pulang," timpal Lily.

“Tidak perlu, pulanglah.” Suara Zia tegas, tak memberi ruang untuk dibantah.

Jake bisa mendengar percakapan kecil di balik meja, dan begitu pula Viren. Tapi tak satu pun dari mereka menanggapi. Seolah kediaman mereka jadi lebih keras dari suara siapa pun.

Tak lama, lonceng pintu berbunyi pelan. Ami dan Lily melambaikan tangan sebelum benar-benar keluar.

Jake pun bangkit. “Aku tunggu di luar,” katanya, lalu pergi.

Ia berjalan melewati Zia, hanya memberi anggukan kecil sebagai sapaan singkat.

Di luar, Lily sudah duduk di atas motor sport hitamnya. Helm tertutup rapat, sementara tangannya sibuk memainkan ponsel. Tapi telinganya peka, mendengar langkah kaki yang mendekat—Jake.

“Kau seperti anak dua puluhan padahal hampir setengah abad,” sindir Jake sambil bersandar di dinding lain. Ia mengeluarkan sebungkus rokok dari saku, menyalakannya perlahan.

“Itu hinaan yang terbungkus pujian,” jawab Lily tanpa menoleh. “Lagipula aku tak setua itu. Hanya dua tahun lebih tua dari pemilik kafe.”

Jake tersenyum kecil. “Begitu, ya. Terus awasi keadaan. Kita tak tahu hewan buas mana yang siap menerkam.”

“Tentu.”

Lily memasukkan ponselnya ke saku jaket, menyalakan mesin motornya, dan melaju pergi, meninggalkan Jake yang masih bersandar dalam diam.

Sementara itu, di dalam kafe yang kini lengang, Viren masih duduk diam—menatap Zia yang sibuk membersihkan tanpa bantuan. Ia tidak berkata apa pun, hanya memperhatikannya dari jauh, seperti seseorang yang menyimpan banyak hal namun tak bisa mengucapkannya.

Kakinya tersilang santai. Tangannya meraih cangkir kopi, menyesap sisa terakhir yang sudah dingin.

Perlahan, ia berdiri. Langkahnya tenang saat menyusuri sisi meja, lalu masuk ke balik etalase tempat Zia sedang membereskan barang.

“Ada apa?” tanya Zia, tanpa menoleh.

“Aku harus pastikan kau bekerja dengan baik,” jawab Viren santai, sambil menyapu pelan permukaan meja dengan jemarinya. Tak ada debu. Ia mengangguk pelan, puas.

Zia membuka apron dan meletakkannya sembarangan. “Ck. Bilang saja kau ingin menggangguku.” gumamnya pelan.

Viren hanya bersandar pada rak kayu, diam. Pandangannya tidak ke mana-mana, hanya ke arahnya—membiarkan waktu berjalan tanpa perlu terburu.

Tiba-tiba, plok!

Seekor cicak jatuh dari langit-langit dan mendarat tak jauh dari kaki Zia.

Zia menjerit kecil, tubuhnya melonjak refleks ke samping. Namun sial, jalur larinya terhalang oleh tubuh Viren yang berdiri tepat di belakang. Tubuh mereka bertabrakan, membuat Zia terhenti di dada Viren, tangannya mencengkeram jas pria itu erat-erat.

“Buang dia! Cepat! please!” katanya panik, napasnya tak teratur. Matanya menatap ke lantai, namun kepalanya berpaling ke dada Viren, mencoba menghindari makhluk kecil menjijikkan itu.

“Kau takut cicak?” tanya Viren tenang, seperti menanyakan cuaca.

Zia tak menjawab. Ia memejamkan mata, dan entah bagaimana, air matanya turun begitu saja. Tubuhnya gemetar, bukan karena cicak semata, tapi mungkin karena malam ini sudah terlalu banyak yang tak bisa ia kendalikan.

Viren menoleh sebentar ke lantai, lalu menunduk dan mengambil cicak itu dengan tisu. Tanpa suara, ia buang ke tempat sampah di sudut ruangan.

“Sudah,” katanya.

Zia perlahan membuka matanya, memastikan makhluk itu benar-benar pergi. Ia melepas cengkeramannya dari jas Viren—pelan, seperti sadar baru saja menumpahkan seluruh paniknya ke pria yang nyaris tak pernah goyah. Ia mengusap matanya dengan cepat, mencoba menyembunyikan bekas air mata.

Hidungnya merah. Pipinya sedikit basah. Dan Viren... tetap berdiri di sana, tak mengucapkan satu ejekan pun. Hanya menatapnya seperti biasa—tenang, nyaris dingin, namun ada sesuatu yang menahan tawanya.

Lalu ponselnya berdering.

Samuel.

Viren mengangkatnya, suaranya kembali datar.

“Apa?”

“Aku tunggu kau di markas.”

“Aku akan ke sana sekarang.”

Zia menoleh. Tak ada perubahan di wajah pria itu. Masih setenang sebelumnya—kontras dengan dirinya yang baru saja menangis karena seekor cicak.

“Kau pulang bersama Jake,” ucap Viren.

“Dan kau?”

“Jangan pikirkan aku.”

.

.

.

.

Jangan lupa like dan komen yaa, sangkyuu🤗🤗

1
Enz99
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!