Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Martin
Satu jam berlalu dengan lambat saat Soedarsono berbincang dengan Tuan Willem van der Waals, kontrolir wilayah yang datang dengan wajah serius dan tumpukan berkas.
Pertemuan yang seharusnya berlangsung di kantor kabupaten, kini terpaksa dilakukan di pendopo rumahnya karena mendesaknya masalah yang harus dibahas.
"Jadi begitulah, Raden," ucap van der Waals, mengetuk-ngetukkan jarinya pada berkas laporan. "Pemogokan di pabrik gula Rejoagung semakin memanas. Buruh-buruh pribumi menuntut kenaikan upah dan pengurangan jam kerja. Mereka mengancam akan menghentikan produksi sama sekali jika tuntutan tidak dipenuhi."
Soedarsono mengangguk dengan wajah serius, meski pikirannya masih terbagi. Sebagian melayang pada percakapannya dengan Sumi yang terputus.
"Siapa yang memimpin pemogokan ini?" tanyanya, mencoba fokus pada masalah yang lebih besar dari urusan rumah tangganya.
"Itu yang membuat Gubernemen khawatir," van der Waals menyesap tehnya sebelum melanjutkan. "Organisasi Sarekat Islam tampaknya terlibat, tapi ada kabar bahwa beberapa anggota Partai Komunis juga ikut menghasut di belakang layar. Mengingat Tuan Bupati sedang sakit, Asisten-Residen ingin Raden turun tangan, berbicara dengan para pemimpin desa. Mereka lebih mungkin mendengarkan seorang patih daripada pejabat Belanda."
Soedarsono kembali mengangguk, menyadari beratnya tanggung jawab yang dipikulnya. Sebagai patih, ia berdiri di tengah-tengah—di antara kepentingan pemerintah kolonial dan kesejahteraan rakyat pribumi.
"Saya akan pergi ke Rejoagung besok pagi," janjinya. "Tapi tidak dapat saya jamin hasilnya. Jika memang upah mereka terlalu rendah, pihak pabrik harus bersedia bernegosiasi."
Van der Waals menghela napas panjang. "Saya tahu Raden selalu adil. Tapi ingat, stabilitas adalah prioritas utama Gubernemen. Pemogokan ini tidak boleh menyebar ke pabrik-pabrik lain."
Setelah berbincang lebih lanjut tentang detail permasalahan, akhirnya kontrolir itu pamit undur diri.
Langit sudah benar-benar gelap saat Soedarsono mengantarnya hingga ke gerbang Dalem Prawirataman.
"Terima kasih untuk waktunya, Raden. Maaf mengganggu di waktu seperti ini," ucap van der Waals sopan sebelum menaiki keretanya.
Soedarsono mengangguk dengan tersenyum tipis. Namun setelah kereta itu menghilang di kegelapan malam, senyumnya memudar, teringat pada masalah yang sedang ia hadapi—kecurigaannya terhadap hubungan Sumi dengan pemuda Belanda itu.
Dengan langkah berat, ia kembali ke dalam rumah. Para abdi telah menyalakan lampu-lampu minyak di sepanjang koridor, menciptakan cahaya temaram yang lembut.
Dari arah kamar utama, ia melihat Sumi sedang menyiapkan pakaian tidurnya—sebuah surjan sutra dan kain batik halus.
"Air mandi sudah siap, Kangmas," ucap Sumi saat melihat suaminya berdiri di ambang pintu. "Mbok Sinem juga sudah menyiapkan rempah-rempah untuk air rendaman."
Soedarsono mengangguk, masuk ke kamar yang selama lima belas tahun ia bagi dengan Sumi.
Ruangan itu selalu menjadi tempat ternyaman baginya—dengan aroma dupa cendana yang lembut dan tatanan yang selalu rapi berkat ketelatenan istrinya.
"Bagaimana pembicaraan dengan Tuan Kontrolir?" tanya Sumi sambil membantunya melepaskan beskap hitam resmi sang suami.
"Ada masalah di pabrik gula Rejoagung," jawab Soedarsono singkat. "Besok Kangmas harus pergi ke sana."
Sumi mengangguk, tangannya dengan cekatan melipat beskap yang telah dilepas dan menaruhnya di keranjang pakaian kotor. "Saya akan menyiapkan bekal untuk perjalanan besok."
Soedarsono mengamati istrinya dengan seksama saat Sumi berjalan ke arah lemari. Ada sesuatu yang berbeda dari caranya bergerak—lebih berhati-hati, sedikit kaku.
Dan yang lebih menarik perhatiannya, Sumi mengenakan kebaya dengan leher tinggi, tidak seperti biasanya di malam hari yang cenderung panas seperti ini.
"Diajeng tidak kepanasan dengan kebaya itu?" tanyanya sambil berjalan mendekat ke pintu yang mengarah ke kamar mandi yang terletak di luar kamar.
"Tidak, Kangmas," jawab Sumi cepat, tangannya refleks menyentuh kerah kebayanya. "Udara malam cukup sejuk."
Soedarsono masuk ke kamar mandi, diikuti Sumi yang membawa handuk dan wangi-wangian.
Setelah ia duduk di bangku kayu rendah, Sumi membantu menuangkan air dari tempayan besar ke bak mandi yang terbuat dari tembaga. Aroma wangi menguar dari air yang telah diberi rempah-rempah dan bunga melati.
"Biar saya bantu," ucap Sumi, mulai mengguyurkan air ke punggung suaminya dengan siwur (gayung) kayu.
Soedarsono menutup mata, menikmati sentuhan tangan istrinya yang lembut di punggungnya. Namun kenyamanan itu terusik oleh kecurigaan yang masih menggelayut dalam pikirannya.
Saat Sumi membungkuk untuk membantu menggosok kakinya, Soedarsono melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
Di tepian kerah kebaya yang tinggi, tampak samar bekas keunguan di leher Sumi. Bekas yang mencurigakan karena warnanya yang lebih gelap dibanding warna kerikan Sumi yang lebih terang.
Di tambah lagi bekas itu ada pula di leher dalam, tepat di bawah dagu, area yang tidak umum untuk melakukan kerikan, yang ia yakin bukan sekadar hasil kerikan.
Dengan gerakan tiba-tiba, ia menangkap pergelangan tangan Sumi, membuat perempuan itu tersentak kaget.
"Apa ini?" tanya Soedarsono, jari telunjuknya menyentuh bagian bawah dagu yang tampak semakin menggelap itu.
Sumi segera menarik diri, mundur beberapa langkah. "Hanya bekas kerikan, Kangmas," jawabnya dengan suara bergetar. "Sejak tadi malam saya tidak enak badan, Kangmas tidak ingat saya meminta izin pulang lebih dulu dari pesta di rumah Tuan Residen?"
Soedarsono menatap istrinya lekat-lekat, mencari kebohongan dalam mata yang selalu jujur itu.
Selain bekas di leher, ia juga memperhatikan sanggul Sumi yang biasanya tinggi dan rapi kini lebih rendah dan agak mengendur, seperti sengaja untuk menutup tengkuknya
"Aneh sekali," komentar Soedarsono, masih menatap curiga. "Tidak biasanya Diajeng kerikan di leher. Biasanya di punggung."
“Kepala saya pusing, Kangmas. Pusing memikirkan kata-kata Ibu, jadi saya kerik di leher dan lumayan menghilangkan pening.”
Setelah mandi selesai dan berpakaian, Soedarsono mencoba mendekati istrinya yang sedang merapikan kelambu tempat tidur.
Dengan lembut, ia melingkarkan tangannya di pinggang Sumi, mencoba mengecup leher jenjang dan halus yang selalu menjadi favoritnya.
Namun Sumi segera menghindar, melangkah menjauh dengan gerakan halus namun tegas.
"Ada apa, Diajeng?" tanya Soedarsono, kekecewaan terdengar jelas dalam suaranya.
"Maafkan saya, Kangmas," jawab Sumi tanpa menatap suaminya. "Saya pikir, mengingat kepastian bahwa kita akan berpisah, lebih baik mulai membiasakan diri untuk tidak dekat. Ini akan membuat perpisahan nanti tidak terlalu ... menyakitkan."
Soedarsono terdiam, merasakan ada yang tidak beres. Sumi tidak pernah menolak sentuhannya, tidak selama lima belas tahun pernikahan mereka.
Bahkan di saat-saat terburuk mereka, Sumi selalu menjadi istri yang patuh dalam segala hal.
"Makan malam sudah siap, Kangmas," ucap Sumi, mengalihkan pembicaraan. "Sebaiknya kita segera makan sebelum hidangannya dingin."
Makan malam berlangsung dalam keheningan yang tidak nyaman. Soedarsono lebih banyak mengamati istrinya yang tampak sibuk dengan pikirannya sendiri.
Sumi makan dengan lahap, lebih banyak dari biasanya. "Diajeng makan banyak malam ini," komentar Soedarsono, mencoba memecah keheningan.
"Saya lapar, Kangmas," jawab Sumi singkat. "Banyak yang saya pikirkan hari ini. Tentang perceraian kita, tentang masa depan ...."
"Dan tentang Tuan van der Spoel?" tanya Soedarsono tiba-tiba, matanya tak lepas dari wajah istrinya.
Sumi hampir tersedak, buru-buru minum air putih untuk menenangkan diri. "Kenapa Kangmas kembali ke topik itu?"
"Karena Diajeng berubah sejak bertemu dengannya," jawab Soedarsono tajam. "Dan Kangmas ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Sumi meletakkan sendoknya, menghela napas panjang. "Sudah saya katakan, tidak ada apa-apa antara saya dan Tuan Martin. Saya hanya mempertimbangkan tawaran bisnisnya, itu saja."
Keheningan kembali menyelimuti ruang makan, hanya terdengar suara samar jangkrik dari luar dan sesekali dentingan sendok yang beradu dengan piring porselen.
Setelah makan malam usai, Soedarsono mencoba mengendurkan ketegangan di antara mereka dengan ucapan yang mengejutkan Sumi.
"Malam ini Kangmas ingin ditemani Diajeng," ucapnya dengan suara lembut namun tegas. "Kita perlu bicara lebih banyak."
Sumi menggeleng pelan. "Maaf, Kangmas. Ini malam giliran Lastri, Kangmas harus adil. Lagipula, saya sedang tidak enak badan dan ingin beristirahat sendiri." Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Dan seperti yang saya katakan tadi, lebih baik kita mulai membiasakan diri terpisah. Bukankah itu juga keinginan Ibu?"
"Persetan dengan keinginan Ibu!" Soedarsono menggebrak meja, membuat Sumi tersentak kaget. Ia jarang sekali melihat suaminya kehilangan kendali seperti ini.
"Kita belum bercerai, Diajeng," lanjut Soedarsono, suaranya kembali terkendali namun penuh ketegasan. "Dan selama itu, Kangmas masih suami Diajeng. Mengapa tidak kita manfaatkan hari-hari yang tersisa? Siapa tahu Gusti Allaah memberi rizki ke rahim Diajeng di saat-saat genting ini."
Sumi tertawa pelan, tawa yang terdengar pahit. "Rahim saya kosong lima belas tahun, Kangmas. Beberapa malam tidak akan ada artinya." Ia bangkit berdiri, merapikan kebayanya dengan gerakan anggun. "Lagipula, saya sudah legowo dan lebih memilih pergi. Saya lelah dengan Ibu yang terus menjelek-jelekkan saya, seakan semua ini salah saya."
Soedarsono menatap istrinya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara kemarahan, kekecewaan, dan sesuatu yang lebih dalam lagi, mungkin rasa takut kehilangan.
"Benarkah hanya itu alasannya?" tanyanya dengan suara rendah. "Atau Diajeng menolak karena ... ada orang lain di pikiran Diajeng?"
"Jangan bicara sembarangan, Kangmas," ucapnya dengan suara tegas. "Saya masih istri yang setia."
"Kalau begitu," Soedarsono bangkit dari kursinya, berjalan mendekati Sumi, "buktikan. Temani Kangmas malam ini."
Tatapan mereka bertemu dalam ketegangan yang semakin meningkat. Sumi tahu bahwa penolakan lebih jauh hanya akan menimbulkan kecurigaan yang lebih besar.
Namun, bagaimana ia bisa menerima ajakan suaminya sementara tubuhnya masih menyimpan jejak pertemuannya dengan Martin?
wong anake cinta mati kog di gawe ribut
pelett pengasihan ke kanjeng Raden ayu
tolong bantu sumi Ndoro😁
apa hubungannya ,
Johana meninggal bahkan sebelum Martin lahir ,mungkin kah
ada perjanjian ghoib di keluarga Van spoel