NovelToon NovelToon
Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Light Novel
Popularitas:942
Nilai: 5
Nama Author: nazeiknow

Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.

Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.

Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.

Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.

Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 4: Humanizer and dewa es

Dingin.

Bisu.

Tubuh Oiko tak ubahnya pecahan daging yang sudah kehilangan bentuk manusia. Darah berserakan di lantai gua seperti tinta merah di atas kanvas salju. Beberapa potong tubuhnya tak lagi menyatu, hilang, hancur, tak bisa dikenali. Tapi anehnya… ia masih hidup.

Tubuhnya tidak bergerak, tapi kesadarannya terperangkap. Di dalam dirinya yang remuk, pikirannya menjerit, hatinya mengguncang. Lalu...

“[Konfirmasi: Aktivasi Skill [Humanizer: Ultimate].”

Suaranya tidak datang dari luar. Bukan gema, bukan roh, bukan suara Tuhan. Itu muncul langsung dalam kepalanya, seperti pesan yang dikirim dari takdir.

[Humanizer: Ultimate] — kemampuan yang tak masuk akal. Satu kalimat sederhana muncul bersamaan dengan suara itu:

“Mampu mengubah siapa pun—bahkan sosok selevel Dewa—menjadi manusia biasa tanpa kekuatan. Semua skill miliknya akan dilucuti dan direbut oleh pengguna.”

.

.

.

Mata Oiko sedikit terbuka.

Meski napasnya tipis, dan tubuhnya hanya separuh utuh, jiwanya terbakar oleh satu hal: harapan.

Namun dia tak sempat merespons. Sosok dingin di singgasana es itu, masih duduk tanpa bicara. Tatapannya tajam dan tak berperasaan, seolah tak melihat Oiko sebagai makhluk hidup. Ia hanya mengangkat tangannya sekali lagi.

Dalam sekejap, tubuh Oiko mulai bersinar. Tapi bukan dari kekuatan dirinya.

Lelaki itu, tanpa kata, memulihkan Oiko.

Es yang menancap satu per satu mulai menghilang perlahan, meleleh ke udara lalu menguap jadi kabut es tipis. Daging yang hancur, tulang yang patah, organ dalam yang tercabik… semuanya mulai menyatu kembali. Regenerasi penuh, namun bukan karena belas kasih.

Ini seperti memperbaiki boneka rusak untuk kemudian dihancurkan lagi.

Tubuh Oiko yang semula tercerai-berai, kini pulih perlahan. Daging menyatu, tulang menyambung, darah mengalir lagi. Dalam beberapa menit, tubuh yang tak lagi disebut manusia itu kembali utuh. Tapi rasa sakitnya tidak hilang—hanya tertunda, seperti bom waktu yang menunggu ledakan berikutnya.

Lelaki itu masih duduk dingin.

Wajahnya tidak berubah. Tenang, kosong, seolah tak pernah melihat penderitaan itu sebagai sesuatu yang berarti. Ia hanya diam, mengamati, seperti sedang menonton lukisan yang belum selesai ia hancurkan.

Namun ia tidak tahu.

Ia tidak tahu bahwa dalam proses penghancuran itu… ia telah menciptakan sesuatu.

Oiko perlahan membuka matanya.

Bersih. Matanya bersih. Tidak penuh kebencian, tidak pula penuh dendam. Tapi ada sesuatu di balik tatapannya—kebangkitan jiwa yang nyaris padam.

“Dia tidak tahu…” bisik Oiko dalam hati.

Ia kini menyadari bahwa sesuatu telah berubah. Sesuatu dalam dirinya. Skill Humanizer: Ultimate telah terkonfirmasi. Itu bukan skill biasa. Itu adalah bentuk kutukan dan kekuatan tertinggi dalam satu entitas. Ia bisa meruntuhkan apapun… bahkan singgasana yang terbuat dari abadi.

Namun Oiko tidak langsung menggunakannya.

Dia tahu… ini bukan waktunya. Tubuhnya mungkin telah pulih, tapi jiwanya belum siap. Skill itu akan mengubah segalanya. Ia butuh memahami… siapa lelaki di hadapannya. Kenapa ia mempermainkan penderitaan? Apa tujuannya?

Lelaki itu berdiri.

Es di sekitar mulai membentuk lingkaran sihir. Angin menderu, suhu turun drastis, dan aura kehancuran mulai mengguncang gua. Tapi Oiko, yang tadi hanyalah korban, sekarang duduk tenang. Tak lagi merangkak. Tak lagi menangis.

Hanya menatap, lurus ke mata sosok itu.

Perlahan, tanpa disadari lelaki itu, tanda samar muncul di dada Oiko—seperti simbol rumit, berputar dan menyala dalam cahaya ungu samar. Simbol itu tak terlihat oleh mata biasa. Itu milik [Humanizer]. Dan ia menunggu... saat yang tepat.

Oiko menarik napas panjang. Tidak dalam kekuatan. Tapi dalam kesadaran.

"kenapa kau tidak membalas... Manusia."

"Kalau aku ingin membalasmu..." ucapnya lirih, "...aku tidak akan melakukannya dalam kemarahan."

Lelaki itu mengangkat alisnya. Untuk pertama kalinya, matanya menunjukkan reaksi: sedikit ketertarikan.

"Kenapa?" suaranya dingin dan dalam.

Oiko tersenyum tipis, walau darah masih mengalir dari bibirnya. “Karena jika aku membalasmu sebagai manusia... maka kau pun harus tahu... rasanya menjadi manusia.”

Diam. Hening.

...

sosok yang berdiri membeku di hadapan Oiko, masih memancarkan aura luar biasa. Tubuhnya tinggi, ramping, dan seolah terbentuk dari kristal-kristal es kuno. Setiap gerakannya bagaikan dingin abadi yang tak bisa dijinakkan oleh waktu.

Ia menatap Oiko dengan mata biru kebiruan yang dalam, seakan menembus sampai ke dasar jiwa.

"Aku adalah Onezards," ucapnya dengan nada seperti badai salju yang turun perlahan tapi menghantam jiwa.

"Dewa Es. Ingat itu, manusia."

Oiko mengangkat kepala dengan pelan. Tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih, tapi keberanian kecil mulai tumbuh di dalam dadanya.

"...Nama saya Oi—"

"Tidak perlu mengenalkan diri," potong Onezards dingin.

"Aku sudah tahu. Bahkan... aku tahu semuanya."

Seketika, dunia di sekitar Oiko berubah.

Kegelapan.

Lalu cahaya samar.

Ia kini berdiri di tengah jalanan kota. Tapi bukan kota salju—melainkan kota dari masa lalu. Matanya terbuka lebar, melihat sosok kecil berumur tujuh tahun... dirinya sendiri.

...

Langit suram menaungi bangunan rumah sakit. Seorang gadis kecil dengan rambut kusut berdiri diam, memandangi dua ranjang kosong. Ayah dan ibunya... telah pergi.

Meninggal dunia. Tanpa pesan. Tanpa pelukan terakhir.

Oiko kecil tidak menangis keras, hanya memeluk tubuhnya sendiri dan menatap kosong. Seakan hatinya sudah tidak sanggup berteriak.

...

Kemudian, ia duduk di dalam taksi tua, diantar pulang sendirian.

Sesampainya di rumah, pintu pagar tertutup. Ada tulisan besar yang tertempel: "DISEGEL".

Petugas dari lembaga utang berdiri di depan rumah, menatapnya seperti beban tak bernilai.

"Pergi sana! Tempat ini bukan rumahmu lagi!"

Seorang pria kasar mendorong Oiko kecil. Bahkan menendangnya ke trotoar. Tas kecilnya jatuh, isinya berserakan.

...

Oiko berjalan sendirian di tengah keramaian kota. Trotoar menjadi jalannya, dan langit mulai gerimis.

Sambil menangis, ia berbisik pada dirinya sendiri:

"Kenapa... selama ini mereka gak pernah peduli padaku?"

"Waktu aku dibully, mereka diam aja. Gak pernah belain. Apa aku... cuma beban? Anak yang gak diinginkan?"

Air mata menyatu dengan air hujan.

...

Lalu, kehidupan keras dimulai. Oiko berdiri di depan mall, menawarkan jasa pengangkut barang belanjaan. Ia hanya setinggi troli, tapi mencoba membantu orang-orang yang lebih besar darinya. Beberapa menolak. Beberapa menghina.

Sebagian kecil memberinya recehan. Itulah uang makan hari itu.

...

Saat malam datang, Oiko meringkuk di antara dua bangunan—gang sempit yang hanya cukup untuk berbaring miring. Hanya kardus sebagai alas, dan langit malam sebagai atap.

Pakaiannya tak pernah diganti. Lusuh, lembap, dan sobek. Tapi ia tetap bangun setiap pagi. Tetap bekerja. Tetap hidup.

...

Suatu hari, ia mengumpulkan cukup uang. Jumlah yang disimpan bertahun-tahun.

Hanya cukup untuk satu hal: masuk sekolah.

Tapi dunia tidak berubah.

Di sekolah, ia tetap sendirian. Tidak ada teman. Tidak ada yang mengajak bicara.

Dan bullying tetap datang — kata-kata kejam, dorongan, bahkan perlakuan fisik yang membuatnya pulang dengan luka dan memar.

Namun Oiko... tetap diam.

Bertahan.

Menelan semuanya.

...

Cahaya pudar.

Oiko kembali di dalam gua. Terjatuh berlutut. Dadanya naik-turun. Butiran es yang menempel di kulitnya mencair karena air mata.

Onezards masih berdiri. Tatapannya tidak berubah.

"Seluruh hidupmu… telah ku lihat," katanya pelan, namun dalam.

"Tak ada yang bisa kusembunyikan darimu. Kau adalah manusia yang seharusnya telah hancur sejak lama."

Oiko terdiam.

Tapi dalam diamnya itu, ada sesuatu yang bangkit.

Kekuatan yang bukan berasal dari kekuatan fisik, atau sihir, atau senjata. Tapi dari luka yang tak pernah ditutup. Duka yang tak pernah sembuh.

Dan satu hal lagi yang Onezards tidak tahu...

Oiko kini menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya dari semua penderitaannya.

Sebuah kekuatan yang bahkan bisa menginjak seorang dewa... menjadi manusia biasa...

1
Protocetus
jika berkenan mampir ya ke novelku Frontier
HarusameName
bukan hasil AI 'kan, ini?
HarusameName: Narasinya bagus, loh! Nice work.
nazeiknow: kalau ga libur up chapter nya per hari "Minggu"
total 4 replies
nazeiknow
JANGAN LUPA LIKE TEMAN BIAR SAYA LEBIH SEMANGAT MENULIS CERITA INI KALAU BISA LOVE LOVE DI PENCET 😉
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!