Persahabatan Audi, Rani dan Bimo terjalin begitu kuat bahkan hingga Rani menikah dengan Bimo, sampai akhirnya ketika Rani hamil besar ia mengalami kecelakaan yang membuat nyawanya tak tertolong tapi bayinya bisa diselamatkan.
Beberapa bulan berlalu, anak itu tumbuh tanpa sosok ibu, Mertua Bimo—Ibu Rani akhirnya meminta Audi untuk menikah dengan Bimo untuk menjadi ibu pengganti.
Tapi bagaimana jadinya jika setelah pernikahan itu, Bimo tidak sekalipun ingin menyentuh, bersikap lembut dan berbicara panjang dengannya seperti saat mereka bersahabat dulu, bahkan Audi diperlakukan sebagai pembantu di kamar terpisah, sampai akhirnya Audi merasa tidak tahan lagi, apakah yang akan dia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Sembilan
Audi lalu mencari nomor temannya Dewa. Saat dia mencari, gawainya berbunyi. Audi melihat ke layar, tertera nama Bimo. Gadis itu menarik napas lagi. Jika dihitung, dari tadi, entah sudah berapa kali dia menghirup napas untuk mencoba menenangkan pikirannya.
"Apa yang harus aku lakukan. Apakah aku diamkan saja atau aku angkat dan bicara?" tanya Audi pada dirinya sendiri.
Beberapa saat Audi hanya membiarkan gawainya berdering. Dia tak menyangka di saat menghidupkan kembali, Bimo langsung menghubungi.
"Apakah setiap hari Bimo masih terus menghubungi aku?" tanya Audi dalam hatinya.
Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya dia memutuskan untuk menerima panggilan itu. Gawainya masih terus berdering. Audi berpikir, jika dia selalu menghindar, kapan masalahnya akan selesai. Lebih baik dia mengakhiri semuanya dengan cara baik-baik dan menemui Bimo.
Audi menarik napas dalam. Dia mencoba menetralkan degup jantung yang berdetak lebih cepat.
"Hallo ...," ucap Audi pelan saat tersambung.
"Audi ... Kamu di mana? Katakan sekarang juga, biar aku jemput kamu. Kamu baik-baik saja'kan?" tanya Bimo dengan beruntun. Suaranya terdengar gugup dan panik.
"Aku baik-baik saja. Nanti aku yang akan datang menemui kamu, Bim. Kita memang harus bicara," ucap Audi.
"Aku jemput kamu sekarang. Coba sharelok," ucap Bimo lagi.
"Tak perlu, Bim Aku jauh. Aku sudah tak berada di kota yang sama denganmu," jawab Audi.
Tampak keheningan di antara keduanya beberapa saat. Sepertinya Bimo cukup terkejut mendengar jawaban Audi.
"Katakan saja kamu berada di mana, ke luar negeri sekali pun akan aku jemput!" seru Bimo di seberang sana.
Audi tersenyum walau itu tak akan dilihat Bimo. Dia merasa lucu karena tiba-tiba pria itu perhatian. Biasanya, ke rumah Tante Susi saja dia malas mengantar atau menjemput. Tapi, setelah dia menjauh, kenapa jadi perhatian begini. Apakah semua ini hanyalah trik agar dia mau kembali? Tanya Audi dalam hatinya. Sayang, dia sudah memutuskan untuk pergi dan mengakhiri semuanya.
Bagi Audi tak alasan lagi dirinya kembali. Dia sudah tak sanggup dan lelah selalu dibandingkan dengan Rani. Jika saja Bimo bersikap adil padanya, walau dia belum menunaikan kewajibannya sebagai suami, pasti dia akan mencoba bertahan. Namun, Bimo bukan hanya membandingkan dirinya saja, tapi selalu menyalahkan apa yang dia lakukan.
"Maaf, Bimo. Biar aku saja nanti ke sana. Aku perlu tanda tanganmu," ujar Audi lagi.
Bimo yang mendengar di seberang sana menjadi terkejut. Dalam pikirannya sudah tak baik-baik saja jika Audi meminta tanda tangan.
"Untuk apa tanda tanganku?" tanya Bimo dengan suara pelan.
"Aku butuh akte cerai, Bim. Biar kamu dan aku bisa melangkah ke depannya. Kita bisa mencari kebahagiaan masing-masing. Kau bisa mencari wanita yang pantas untukmu, begitu juga denganku," jawab Audi.
"Tapi aku tak mau cerai, Audi!" seru Bimo dengan penuh penekanan. Dia harus meyakinkan Audi jika dia akan berubah.
"Aku mengaku salah selama ini. Aku janji akan merubahnya. Kamu bisa katakan apa saja keinginanmu. Akan aku turuti, tapi jangan minta pisah. Aku mohon Audi. Kita bisa memulainya lagi dari awal," ujar Bimo.
Bimo berharap Audi akan berubah pikiran. Dia harus bisa meyakinkan istrinya itu.
"Tak ada yang bisa diubah lagi. Perpisahan adalah jalan terbaik bagi kita. Jika kita terus bersama, kita hanya akan saling menyakiti. Kita kembali lagi sebagai sahabat, itu jauh lebih baik. Kita memang hanya ditakdirkan sebagai teman bermain saja, bukan teman hidup," jawab Audi.
"Bagaimana dengan Ghita? Kau tak sayang lagi dengannya?" Bimo sengaja menanyakan itu karena dia dapat melihat bagaimana Audi begitu menyayangi putrinya.
Audi terdiam. Air mata jatuh membasahi pipinya. Dia memang menyayangi putri Bimo tersebut, tapi dia juga harus menyayangi dirinya sendiri. Semua ini demi kewarasan bersama.
"Kasih sayangku untuk Ghita tak perlu kau pertanyakan. Aku sangat menyayanginya. Tapi itu bukan alasan untuk kita kembali. Aku yakin, saat ini Ghita juga telah melupakan aku. Bocah itu mudah melupakan," balas Audi.
"Audi, katakan saja kamu di mana. Kita harus bicara sekarang. Kamu dan aku akan tetap bersama. Aku minta maaf, Audi. Katakan di mana kamu?" Bimo bertanya dengan desakan.
"Audi, ada banyak yang ingin aku katakan. Aku sudah tau semuanya. Rani berbohong denganku selama ini. Aku ingin meminta maaf," ucap Bimo selanjutnya.
"Bimo, tak ada lagi yang perlu kita bicarakan selain perpisahan kita."
"Tapi aku tak mau berpisah ...."
"Bimo, perpisahan ini adalah langkah awal untuk kita menemukan kebahagiaan yang lebih besar. Mungkin perpisahan ini sulit, tapi ini jalan terbaik untuk kita berdua. Perpisahan ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan kita masing-masing. Kita tidak akan bersama lagi, tapi aku berharap yang terbaik untukmu."
"Tidak Audi ...."
Belum sempat Bimo melanjutkan omongannya, Audi sudah memutuskan sambungan teleponnya. Dia lalu mematikan ponselnya den mengeluarkan kartu itu.
Audi menarik napas dalam. Air mata menetes membasahi pipinya. Walau sulit, dia akan tetap mengambil langkah ini. Mungkin mereka berdua memang ditakdirkan hanya sebagai sahabat bukan pasangan. Tangisan Audi pecah saat dia mengingat Ghita.
Sementara di rumahnya, Bimo mencoba berulang kali menghubungi Audi kembali. Namun, nomornya sudah tak aktif lagi. Bimo lalu melempar gawainya ke atas ranjang. Dia menarik rambut frustasi.
"Audi, aku benar-benar menyesal atas apa yang sudah terjadi. Aku tahu aku telah menyakitimu, dan aku sangat menyesal. Tapi aku tidak ingin kita berpisah. Aku ingin kita bisa membangun masa depan bersama. Tolong maafkan aku, dan beri aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa berubah," ucap Bimo dalam hatinya.
Bimo duduk termenung di sofa, matanya kosong memandang ke depan. Rasa penyesalan memenuhi hatinya, mengingat bagaimana dia dulu mengabaikan Audi, istrinya yang setia dan penuh kasih. Dia menyesali keputusan-keputusan yang telah dia buat, yang membuat Audi merasa tidak dihargai dan tidak dibutuhkan.
Bimo memikirkan kembali saat-saat dia lebih memprioritaskan pekerjaan dan selalu membandingkan Audi dengan mantan istrinya Rani. Apa lagi setelah dia tahu kalau ternyata ibunya Ghita itu tak sebaik pikirannya. Dia ingat bagaimana dia sering kali tidak memperhatikan kebutuhan dan perasaan Audi, membuat istrinya itu merasa kesepian dan tidak dicintai.
Rasa penyesalan itu semakin dalam ketika Bimo memikirkan percakapan terakhirnya dengan Audi, yang meminta untuk berpisah. Bimo merasa bahwa dia telah kehilangan kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka, dan sekarang dia harus menghadapi konsekuensi dari keputusan-keputusan yang telah dia buat.
"Audi, aku harus tau dia di mana. Akan aku lacak kamu, dan tunggu aku datang menjemput," ucap Bimo bermonolog pada dirinya sendiri.
lebih baik ma orang lain,ketimbang balikan ma kamu...buat apa pisah toh balikan lagi...pisah ya pisah,cari kebahagiaan masing masing
jangan mau balikan...
kemana harga dirimu,udah di hina hina,udah dicaci maki,dibuat seperti pembokat masiiih juga mau balikan...
haddeuh kamu terlalu berharga untuk laki2 seperti Bimo...