Apa jadinya jika impian mu hancur di tangan orang yang paling kamu benci, tapi juga tak bisa kamu hindari?
"Satu tesis gagal, Karena seorang dosen menyebalkan, Semua hidup ku jadi berantakan"
Tapi siapa sangka semuanya bisa jadi awal kisah cinta?
Renatta Zephyra punya rencana hidup yang rapi: lulus kuliah, kerja di perusahaan impian, beli rumah, dan angkat kaki dari rumah tantenya yang lebih mirip ibu tiri. Tapi semua rencana itu ambyar karena satu nama: Zavian Alaric, dosen killer dengan wajah ganteng tapi hati dingin kayak lemari es.
Tesisnya ditolak. Ijazahnya tertunda. Pekerjaannya melayang. Dan yang paling parah... dia harus sering ketemu sama si perfeksionis satu itu.
Tapi hidup memang suka ngelawak. Di balik sikap jutek dan aturan kaku Zavian, ternyata ada hal-hal yang bikin Renatta bertanya-tanya: Mengapa harus dia? Dan kenapa jantungnya mulai berdetak aneh tiap kali mereka bertengkar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 30
Seperti biasa, Zavian masuk kelas tepat waktu. Langkahnya tenang dan rapi, membawa aura serius yang langsung membuat seluruh mahasiswa duduk tegak. Renatta duduk diam di kursinya, tetapi wajahnya tidak seperti biasanya. Ia menatap Zavian dengan sinis, seolah ingin membakar pria itu hidup-hidup. Tapi Zavian tetap tenang, seperti tak menyadari tatapan tajam yang ditujukan padanya.
Zavian mulai menjelaskan materi dengan gaya bicara khasnya padat, jelas, dan tanpa basa-basi. Tidak sedikit mahasiswa mencatat dengan serius, walau beberapa masih sempat mencuri-curi pandang ke arah Renatta yang hari ini kelihatan sedikit "meletup".
Kelas pun berakhir. Satu per satu mahasiswa keluar, meninggalkan ruangan. Zavian masih berada di dalam, duduk dengan santai sambil membereskan buku-bukunya dan memasukkan ke dalam tas dengan sangat rapi seperti biasa.
Tiba-tiba...
“BRAKKK!”
Renatta menggebrak mejanya. Suaranya cukup keras hingga sedikit menggema. Zavian mendongak pelan, tidak terkejut, tapi jelas penasaran.
“Ada apa, Renatta?” tanyanya datar, tapi tetap sopan.
Renatta menegakkan tubuh, berusaha terlihat berani, meski tangannya sedikit gemetar.
“Aku mau minta pertanggungjawaban.”
Alis Zavian terangkat sedikit.
“Pertanggungjawaban? Buat apa?”
“Bapak lupa, ya? Lupa apa yang udah bapak lakukan ke saya?”
Zavian menghela napas pendek, lalu menutup tasnya.
“Saya nggak paham maksudmu, Renatta.”
Renatta mendekat, mencondongkan tubuhnya ke arah Zavian dengan ekspresi kesal. Zavian hanya diam, matanya bergerak ke wajah gadis itu, lalu tertarik ke bagian dahi yang tampak kemerahan.
“Kamu... habis kebentur, ya? Dahi kamu merah.” ujarnya, polos.
Renatta terperangah. “Serius nanya begitu?”
Ia tertawa pendek, penuh nada sarkasme. “Pak Zavian, ini semua gara-gara BAPAK!”
"Gara-gara saya?"
Zavian tampak berpikir, lalu seperti mengingat sesuatu.
“Oh... sentilan itu? Bisa jadi luka gitu?” gumamnya sambil terkekeh pelan dan menggaruk belakang kepalanya. “Ups.”
Renatta melipat tangan di dada, makin kesal.
“Bapak harus tanggung jawab! Hari ini aku mau ketemu pacarku!"
Zavian berdiri, mengambil gelas minum dari meja, lalu memandang Renatta dengan santai.
“Ketemu ya ketemu aja, memangnya dahi merahmu itu bisa bikin macet jalanan? Orang-orang di jalan juga nggak bakal keluar dari mobil dan merhatiin dahi kamu”
“Ini tuh soal penampilan, pak!” seru Renatta, kesal karena tidak dianggap serius.
Zavian menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil, nyaris tak terlihat.
“Make-up kan bisa nutupin. Kamu cantik, Renatta. Nggak akan ada yang perhatiin dahi kamu sampai detail.”
Renatta terdiam. Bibirnya sempat terbuka, tapi tidak tahu harus membalas apa. Zavian meraih tasnya dan berjalan keluar.
Sebelum benar-benar keluar kelas, dia menoleh sebentar.
“Tapi kalau kamu mau saya beliin concealer atau salep, bilang aja.”
Zavian berdiri dari kursinya dan bersiap pergi, tapi belum sempat melangkah keluar, Renatta tiba-tiba meraih lengan jasnya.
“Beneran? Mau beliin aku concealer?” tanyanya dengan nada setengah menantang.
Zavian menoleh dengan ekspresi santainya.
“Iya.”
“Aku mau satu set skincare sama make up.”
“Oke.”
Renatta mengerjap.
“Hah? Semudah itu?”
Zavian menyipitkan mata, nada suaranya santai tapi jelas menggoda.
“Ya udah... kalau kamu nggak mau...”
Renatta langsung terdiam, urung melepaskan genggamannya. Pipinya merona kesal.
Zavian menatapnya serius, mendekat sedikit hingga wajah mereka nyaris berhadapan.
“Jadi kamu maunya apa?” bisik Zavian pelan.
“Mau sentil saya juga?”
Renatta membeku. Jantungnya berdetak cepat. Wajah Zavian yang biasanya ia lihat dari jarak jauh, kini begitu dekat. Napasnya sempat tercekat.
Zavian lalu melepas kacamatanya, menyibak sedikit poni yang menjuntai di dahinya, memperlihatkan kulit mulus tanpa cela.
Renatta semakin terkejut, buru-buru menjauh dan memukul pelan bahu Zavian dengan wajah memerah.
“Nggak usah yang aneh-aneh deh, Pak Zavian. Tenagaku itu kecil, lagian aku tuh orangnya nggak pendendam...”
Ia mengerucutkan bibir.
“Aku mau ditraktir skincare sama make up aja.”
Zavian tersenyum kecil, santai memasang kembali kacamatanya, lalu berjalan menuju pintu.
“Yaudah...” jawabnya singkat dan tenang.
Renatta menatap punggung Zavian yang menjauh, masih berdiri di tempat.
“Dia seriusan? Gak bilang maaf sama gue?” gumamnya pelan, merasa antara kesal dan... entah kenapa, jantungnya masih deg-degan.
***
Renatta mengikuti Zavian keluar dari kelas, langkah pria itu tegap dan teratur. Seolah tak peduli pada lirikan kagum dari beberapa mahasiswi yang lewat, yang langsung berbisik-bisik melihat dosen mereka berjalan dengan Renatta di belakangnya.
Renatta sendiri pura-pura tidak peduli, tapi tetap saja ia merasa jadi pusat perhatian.
Zavian berjalan tanpa menoleh ke belakang, tapi dia tahu Renatta mengikutinya. Ketika sampai di depan ruang dosen, pria itu mendadak berhenti.
“Awww!”
Renatta terkejut dan menabrak punggung Zavian.
“Ihh pak Zavian kenapa berhenti tiba-tiba sih!” serunya kesal, sambil memegangi hidungnya yang sedikit sakit.
Zavian menoleh setengah, suaranya datar.
“Kalau jalan itu lihat-lihat.”
“Ya siapa suruh berhenti mendadak kayak rem dadakan!” gumam Renatta sambil mengusap hidungnya pelan.
Zavian menunjuk ke arah luar.
“Kamu tunggu di parkiran aja. Nanti saya susul.”
Tanpa menunggu jawaban, Zavian masuk ke ruang dosen dan menutup pintunya dengan tenang.
Renatta mendengus keras.
“Bilang dari tadi kek! Ini udah ngikutin sampai sini juga...”
Ia berbalik dan berjalan ke parkiran dengan langkah kesal, tapi dalam hati mulai bertanya-tanya.
“Ini seriusan mau dibeliin skincare? Atau cuma prank dosen jahil sih? mukanya kayak gak tulus”
***
Renatta masih berdiri kesal di parkiran, melipat tangan di dada, sambil memutar-mutar gantungan kunci kecil di jarinya. Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Jendelanya turun perlahan, menampilkan wajah Zavian di balik kemudi.
"Masuk. Jangan lama, saya benci nunggu," ucapnya singkat, dengan ekspresi datarnya yang khas.
Renatta mendengus pelan, "Huh... galak banget. Padahal dia yang nyuruh nunggu."
Tapi tetap saja ia membuka pintu penumpang dan masuk ke dalam mobil.
Suasana di dalam mobil awalnya hening. Hanya suara musik instrumental lembut yang mengisi ruang kabin.
"Kita ke mall kan?" tanya Renatta pelan.
"Iya. Belanja skincare dan make up, sesuai permintaan kamu."
"Wah baik banget..." Renatta melirik ke arahnya dengan curiga.
"Kan saya udah bilang tadi, ini sebagai permintaan maaf saya ke kamu" kata Zavian ringan, sambil fokus ke jalan.
Renatta menoleh cepat. "Hah? Apa? Permintaan minta maaf? Ulangi dong, aku rekam."
Zavian hanya menoleh sekilas dan tersenyum kecil. "Terlambat, udah lewat."
Renatta mencibir, "Pelit banget sama kata maaf."
Sesampainya di mall, Zavian langsung membuka pintu untuk dirinya sendiri sedangkan Renatta dibelakang menahan pintu dan ikut masuk kedalam.
Zavian menatap jam tangannya. “Kita gak akan lama. Langsung ke toko skincare aja.”
"Pak Zavian yakin nggak bakal pingsan lihat totalannya nanti?"
"Selama nggak beli toko sekalian, saya masih bisa bernapas."
Renatta berjalan lincah di lorong toko skincare dan make-up, matanya berbinar-binar seperti anak kecil masuk toko mainan. Ia mengambil satu produk, lalu produk lain, mencium, mencoba tester, sambil berkali-kali berseru pelan, "Ih ini lucu banget!"
“Ini, ini, ini juga lucu banget. Eh, ini limited edition! Ya ampun, ini yang kemarin diskon tuh udah habis ya?” heboh Renatta.
“Kamu kayak anak kecil yang dilepas di toko mainan.”
“Skincare dan makeup itu penting banget buat perempuan, tahu nggak!”
“Makanya kamu marah cuma karena dahi merah sedikit?”
“Itu bukan ‘sedikit’, pak Zavian! Itu bisa ngerusak mood satu hari penuh!”
Zavian berjalan di belakangnya, mendorong keranjang belanja seperti bodyguard yang terpaksa liburan.
"Kamu tuh bilangnya cuman mau beli satu set aja ya, bukan satu rak," katanya datar.
Renatta meliriknya sambil menahan tawa. "Ini baru warming up, Pak Zavian. Sabar."
Zavian menatap rak skincare dengan ekspresi bingung. Ia mengambil satu botol kecil dan membacanya pelan.
"Essence... hydrating toner... bedanya apa ini semua ya? Bentuknya sama, baunya sama."
Renatta mendekat dan menjelaskan panjang lebar sambil memegang pipinya, sok gaya beauty influencer.
"Jadi gini, Pak Zavian. Essence itu lebih cair, dan dia tuh kayak booster sebelum serum—"
"Berarti kamu minum ini dulu sebelum makan serum?"
Renatta menatapnya, terdiam dua detik, lalu tertawa terbahak.
"Bukan diminum, Pak! Astaga, jangan bikin saya ngakak di sini dong!"
Zavian tetap datar. "Ya mana saya tahu, semua ini kayak minuman vitamin."
Renatta mengambil satu concealer dan menunjukkannya pada Zavian.
"Nah ini yang harus pak Zavi beliin, ini penting banget buat nutupin bekas dosa pak Zavi di dahi aku."
Zavian hanya mengangguk. "Tolong pilih warna yang bener, saya nggak mau disalahin kalau kamu nanti kayak badut."
Renatta nyengir. "Tenang, aku expert."
Zavian berdiri dengan tangan di saku, melihat Renatta yang sibuk mencoba lip tint di punggung tangannya.
"Kamu ngapain? Kalau suka ya ambil aja"
"Pak Zavi nggak bakalan ngerti deh... Aku tuh lagi milih warna lip tint yang cocok buat bibir aku"
"Hah? Warna nya kayak sama semua"
"Udah lah cowok tuh gak bakal ngerti"
Setelah cukup lama memilih, akhirnya Renatta membawa sekeranjang kecil berisi concealer, satu set skincare, cushion, dan dua lip tint. Ia menatap Zavian dengan ekspresi sedikit malu.
“Ini... beneran dibayarin?”
Zavian menatap keranjang belanja itu, lalu mengangguk.
“Atau Kamu mau bayar sendiri?" tanya Zavian yang langsung mendapat gelengan cepat dari Renatta.
"Nggak nggak... Silahkan”
Zavian mengeluarkan dompet dan menuju kasir. Sementara Renatta hanya bisa berdiri di sampingnya, tersenyum puas dengan pipi yang merah bukan karena sentilan, tapi karena jantungnya berdetak terlalu kencang.
***
Di dalam mobil – perjalanan pulang.
Renatta duduk di kursi penumpang sambil membuka tas belanja. Wajahnya berbinar penuh semangat. Setiap produk ia angkat satu per satu, matanya berbinar senang.
“Ini lucu banget... duh, ini udah aku incar dari lama...”
“Skincare ini tuh viral banget, serius deh, aku gak nyangka bakal punya juga.”
“Ih, yang ini wanginya enak banget… ini concealernya lucu banget deh warnanya… ah, akhirnya punya serum mahal juga!” gumamnya penuh semangat, senyum terus menghiasi wajahnya
Zavian tetap mengemudi tanpa ekspresi. Sesekali ia melirik Renatta yang begitu bahagia, namun tidak berkata apa-apa
Beberapa menit kemudian – mobil berhenti di depan rumah Renatta
Renatta masih sibuk dengan belanjaannya. Begitu sadar sudah sampai, ia menoleh dan tersenyum manis ke arah Zavian.
“Makasih banget ya, Pak Zavian... hari ini bener-bener menyenangkan.”
Zavian menatapnya tanpa ekspresi.
“Sama-sama.”
Renatta mengerucutkan bibir, sedikit kesal. “Datar banget ih...” gumamnya pelan, hendak melepaskan sabuk pengaman.
Namun tiba-tiba tangan Zavian terulur, menghentikan gerakannya. Ia mendekat, perlahan melepaskan sabuk pengaman Renatta. Jarak mereka kini begitu dekat. Renatta terdiam, jantungnya berdetak cepat.
Zavian menatap wajah Renatta dalam diam. Suaranya pelan, tapi hangat.
"Saya minta maaf ya... Sudah buat dahi kamu terluka, saya nggak bermaksud nyakitin kamu, saya cuman bercanda. Tapi gak tau kalau aksi saya menimbulkan akibat seperti itu. Saya minta maaf Renatta..."
Renatta bengong. Untuk pertama kalinya, suara Zavian terasa lebih tulus… lebih dekat. Ia menatap mata Zavian, dan tiba-tiba merasa dunia seolah mengecil tinggal mereka berdua di dalam mobil itu.
Ia cepat-cepat mengalihkan pandangan, mencoba menata detak jantungnya.
“Iya… gak apa-apa kok. Udah diobatin juga…”
Ia tersenyum kecil.
“Lagian, udah ditraktir juga. Jadi lunas.”
Zavian mengangguk pelan.
“Yaudah. Selamat bersenang-senang sama pacar kamu.”
Renatta terdiam sejenak, lalu menatap Zavian dengan tatapan samar.
“Iya… makasih, Pak Zavian.” ucapnya pelan.
Ia pun membuka pintu dan keluar, namun sebelum menutup pintu, ia sempat menatap Zavian sekali lagi.
Wajah pria itu masih tenang, tapi entah kenapa... di balik ketenangannya, ada sesuatu yang terasa hangat.
Dan Renatta... entah kenapa hatinya terasa lebih ramai dari biasanya.