NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 27 - Perpisahan Resmi

Setelah dari Galeri Lukis, aku tidak langsung pulang ke apartemen. Aku melipir ke berbagai tempat; kafe, toko buku dan sesekali ke restoran untuk mengisi perut.

Bukan tanpa maksud aku berkeliaran, sesekali aku memeriksa buku usang, membaca ulang catatan harian digital ataupun berusaha menghubungi Dipta lagi. Tetapi nihil, aku masih belum menemukan petunjuk baru.

Dalam buku usang tertulis tentang stasiun bawah tanah J, jika dilihat inisialnya itu bukanlah stasiun bawah tanah yang sempat kulalui tadi pagi. Sehingga aku mencari di internet, bermodalkan insting dan beberapa foto yang Soraya unggah di sosial media—tepat di tanggal yang sama, akhirnya aku menemukan satu nama stasiun.

Jemaras Gate.

“Apa aku harus pergi ke sana sekarang?” gumamku menimang-nimang.

Kuangkat arloji di tangan. Sudah jam 11 siang. Lumayan terik, aku berdiri di bahu jalan dengan lalu lalang yang tak begitu ramai. Mataku sedikit menyipit untuk melihat ujung jalan, sebelum akhirnya ... membelalak untuk memastikan sesuatu.

Di seberang jalan, di depan sebuah kedai kopi kecil dengan teras kayu, langkahku membeku. Nafasku tercekat. Jantungku memukul rusuk seperti ingin kabur.

Itu dia.

Seseorang yang amat kukenal ada di sana: Arjuna.

Kupikir aku cukup pandai menghindari masa lalu. Tapi takdir, seperti biasa, selalu punya cara yang keji. Bagaimana tidak keji, pemandangan di sana sukses menekan dadaku, memberi ruang sesak karena Arjuna tidak sendirian di sana.

Dia masih dengan gaya berjalan santainya, masih dengan senyum tipis yang dulu kuhafal luar kepala. Tapi kali ini, tangan kirinya menggenggam jemari perempuan lain. Perempuan dengan gaun pastel yang tampak serasi dengan dirinya. Mereka tertawa. Entah membahas apa. Tapi mesra. Sangat mesra.

“Mas Arjuna?” Bibirku bergumam tanpa suara.

Sepasang mataku layaknya CCTV yang terus mengikuti ke mana gerak-geriknya. Aku berdiri terpaku. Sekejap, semua suara menghilang. Yang terdengar hanya desing kosong di telingaku dan gema kata-kata yang dulu pernah Arjuna ucapkan.

“Aku ingin hidup bersamamu.”

“Kalau kamu hilang, aku akan mencarimu sampai ke ujung dunia.”

Aku tahu, aku yang menghilang. Tanpa penjelasan. Tanpa pamit. Tanpa alasan yang bisa dia mengerti. Dan mungkin ... itu adalah jawaban mengapa saat ini perempuan itu berada di sampingnya?

Perlahan aku mundur selangkah demi selangkah ketika tahu mereka sedang menyebrang, berjalan ke tempatku. Udara terasa sempit. Mataku panas, tapi aku menahannya.

Sialnya, ketika aku hendak melarikan diri dalam situasi ini, Arjuna justru melihatku—tepat saat langkahnya hanya tersisa beberapa meter lagi.

Waktu seperti membeku di antara kami. Napas tertahan, jantungku nyaris melompat dari dada saat pandangan kami saling bertaut. Aku melihat bagaimana tawa di wajahnya menghilang begitu saja. Tangannya masih menggenggam jemari perempuan yang berdiri di sisinya, tapi perhatiannya kini hanya tertuju padaku.

“Kamu?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.

Aku mengangguk pelan. Senyum getir muncul di wajahku, meski di dalam, aku berantakan.

“Hai, Mas. lama tidak berjumpa.” Setenang mungkin aku menyapa meski entah ekspresiku saat ini se-kaku apa.

Lebih tepatnya aku bingung harus memasang ekspresi dan berbuat apa dalam kondisi seperti ini.

Perempuan dengan rambut digerai yang berdiri di sampingnya menoleh, heran. Tapi Arjuna tidak menjelaskan apa-apa. Hanya menatapku. Matanya tidak marah, tidak juga sedih—lebih seperti … kecewa. Bingung.

“Siapa dia?” tanya perempuan itu dengan tatapan tak menyenangkan.

Aku masih mempertahankan senyum kikuk. “Aku hanya—”

“Kamu menghilang begitu saja,” katanya akhirnya, suaranya terdengar tajam, meski dengan nada pelan.

“Aku harus melakukannya,” ucapku, hampir tak terdengar.

“Aku mencarimu,” ia melangkah mendekat, melepaskan genggaman perempuan itu tanpa sadar. “Aku datang ke rumahmu, menghubungi teman-temanmu, tapi tak satu pun tahu ke mana kamu pergi.”

“... Dan terakhir kali aku menghubungimu, kamu tetap tak membalas. Seakan aku hanyalah angin lalu bagimu, Nerissa,” sambungnya sedikit menekan.

Kepalaku tertunduk. “Aku minta maaf, Mas. Ada hal yang mesti aku lakukan, aku belum siap untuk bicara. Aku...”

“Sudah terlambat, Nerissa. Aku sudah memberimu waktu. Aku tidak mungkin sesabar itu menunggu seseorang yang bahkan menghargai kehadiranku saja enggan,” sela Arjuna yang membuatku kembali mengangkat pandangan.

“Aku hanya menyayangkan, mengapa hubungan kita berakhir seperti ini. Kamu bahkan tidak memberi kepastian apapun setelah aku melamarmu hari itu dan tanpa disangka kita bertemu sekarang ketika aku sudah jatuh hati pada perempuan lain,” tambahnya yang kembali bergandengan tangan.

Hening. Udara terasa dingin meski matahari masih menggantung di langit. Perempuan di samping Arjuna kini memanggilnya pelan, menyadari ada sesuatu yang besar terjadi.

Arjuna menoleh sebentar ke arahnya, lalu kembali menatapku. Kali ini lebih tenang. Tapi sorot matanya berbeda. Ada jarak yang tak bisa kuhapus lagi.

“Dan melalui pertemuan ini, mari kita resmikan perpisahan terkait hubungan di antara kita. Silakan lakukan apapun yang ingin kamu lakukan, Nerissa. Aku tidak akan pernah mengganggu dan mungkin ini terakhir kali kamu melihatku di kota ini.”

Suaranya terdengar santai, tapi itu berhasil mengobrak-abrik isi hatiku yang jelas-jelas masih menyisakan ruang untuk Arjuna. Meski selama ini aku selalu menghindar, tetap tak bisa ditampik bahwa aku masih mencintainya.

Aku hanya bisa diam. Karena aku pun belum tahu, apa peran Darius dalam hidupku sebenarnya. Dan kenapa semuanya terasa makin rumit, makin salah, makin menyakitkan.

***

Langkahku lunglai saat menyusuri lorong apartemen. Cahaya lampu langit-langit meredup, dan suara detik jam di dinding terdengar lebih nyaring daripada biasanya. Tanganku gemetar saat menekan gagang pintu.

Begitu pintu terbuka, dingin dari suasana dan lantai yang kutapaki tak lebih dingin dari hati yang saat ini sedang kacau-kacaunya.

Aku menutup pintu pelan. Punggungku bersandar pada kayunya, dan aku terdiam di sana cukup lama. Mencoba bernapas. Mencoba menenangkan suara-suara di kepala yang terus memutar ulang apa yang terjadi barusan.

“Aku tidak pernah menyangka, ternyata sesakit ini rasanya,” gumamku bermonolog tanpa suara.

“... Aku juga menyayangkan, kenapa kamu bisa secepat ini mendapatkan pengganti? Kenapa kamu ... hufft!” Mataku mulai memanas, kutahan-tahan agar tak ada bening yang jatuh.

Tatapan Arjuna. Kalimat-kalimatnya. Cara dia menahan diri untuk tidak meledak, lalu memilih mundur dengan wajah penuh luka. Dan aku ... yang tak bisa berkata apapun untuk menghapus sakit itu.

Aku melangkah masuk. Ruangan apartemen tampak sepi. Hanya suara mesin pendingin ruangan yang berdengung halus. Darius mungkin masih tidur di kamar, atau memilih diam seperti biasanya. Entahlah. Aku terlalu lelah untuk peduli saat ini.

Kupandangi lorong menuju kamar, tapi kakiku berbelok ke kamar mandi. Mungkin hanya untuk membasuh wajah. Mungkin hanya untuk melarikan air mata yang belum sempat runtuh di luar sana.

Mataku menangkap bayangan tubuhnya di ruang tengah—diam, nyaris tak bergerak. Ada gelas di tangannya. Aku tak tahu sudah berapa lama dia duduk di sana, menatap layar televisi yang tak dinyalakan. Tapi aku tahu dia melihatku. Dan seperti biasa, dia memilih diam.

Dan aku juga begitu.

Setelah selesai membasuh wajah, aku kembali melintasinya. Tanpa suara. Tanpa tatapan. Aku masuk ke kamar, menutup pintu pelan-pelan, tapi tetap saja ada denting kecil yang memantul di dalam dada.

Aku duduk di sisi ranjang, memandangi ponselku yang kosong. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Tidak ada penjelasan atas perasaan yang tak bisa kutata sendiri.

Tadi, aku melihatnya—seseorang yang pernah menjanjikan masa depan. Kini bersama perempuan lain, seolah semua yang pernah kami punya hanyalah kesalahan kecil yang layak dilupakan.

Sakit? Memang. Tapi anehnya, bukan itu yang paling menyayat.

Yang paling menyakitkan justru … saat aku pulang dan tak bisa menangis dihadapan siapa pun.

Tidak dihadapan Darius.

Karena kami bukan siapa-siapa.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!