NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keliling-keliling

Malam itu sepulang dari kantor Dion tak langsung memasuki kamar untuk membersihkan dirinya. Ia memilih duduk di depan di teras depan. Memikirkan Melati.

Sudah satu minggu ia berusaha membujuk wanita itu agar mau keluar dari kamar untuk sekadar keliling-keliling. Melati selalu menolak ajakannya dengan alasan takut kalau-kalau terjadi sesuatu.

“Sudah pulang, Dion?” tanya Melati yang tiba-tiba muncul dari pintu kamar Dion.

Dion kaget mendengar suara perempuan itu dan menoleh ke arah datangnya suara. Dion mengedipkan matanya, dia tak salah melihat dan tak salah mendengar. Melati sedang berdiri di pintu dan sedang melangkah ke arahnya yang sedang duduk di lantai teras.

Tak seperti biasanya, kali ini Dion melihat Melati di alam nyata bukan di dalam mimpi seperti biasa. Dion tak sempat memikirkan keanehan itu karena Melati kemudian mengatakan sesuatu padanya.

“Kenapa masih duduk di luar? Masuk lah!”

“Masih suka duduk di sini, Kak. Memikirkan sesuatu.”

Melati berjalan dan duduk berdampingan dengan Dion. “Udaranya sejuk, rasanya segar,” ujarnya sambil merapikan rambutnya yang tertiup hembusan angin malam.

Dion tak mengomentari ujaran Melati. Ia masih saja menatap motor yang terparkir di depan kamarnya. “Aku akan mengembalikan motor ini.”

“Lha, baru juga beli. Tak sesuai dengan yang Dion inginkan?” tanya Melati heran.

Dion menyahut dengan gelengan kepala. “Aku suka motornya meskipun sedikit mewah buatku.”

“Lantas kenapa malah akan dikembalikan?”

“Tujuan aku membelinya kan supaya bisa ajakin Kak Melati jalan-jalan atau keliling-keliling. Nah, karena Kakak tidak mau, sebaiknya dikembalikan saja,” jelas Dion.

Melati ingin tertawa mendengar kata-kata Dion yang manipulatif dan kekanakan. Tapi sebagai pribadi lebih dewasa, ia menahan diri. Setidaknya ia memahami alasan positif di balik keputusan Dion memilih kata-kata itu.

“Bukannya tidak mau, tapi Kakak khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada kita.”

“Hal buruk seperti apa?”

“Bagaimana kalau kita terdampar di suatu alam dan tidak bisa kembali?”

“Kita akan perlahan-lahan saja seperti yang kita lakukan ketika berjalan menuju tempat ini. Hanya saja kali ini kita gunakan sepeda motor,” cetus Dion tapi Melati hanya diam.

Dion sambil menatap serius ke arah Melati yang duduk di sampingnya. “Aku siap dengan risikonya. Kalaupun terdampar, asalkan bersama Kak Melati, tak masalah buatku.”

Melati menoleh ke arah Dion yang sedang menatapnya hingga keduanya saling menatap untuk sesaat. “Mengapa mengambil risiko itu?” tanyanya.

“Karena aku ingin ada progres. Tahun lalu kakak membuat membuat kemajuan besar ketika memberanikan diri menerobos tembok pertama itu. Kupikir kita bisa mendapatkan kemajuan besar lainnya kalau bisa menerobos tembok lainnya,” jawab Dion membuat Melati kembali menundukkan kepala.

Merasa wanita itu masih ragu dengan ide jalan-jalan itu, Dion merasa perlu memperjelas maksudnya. “Selain itu, aku ingin melihat kakak gembira lagi seperti tahun lalu. Kakak yang tertawa ketika melewati tembok putih dan ketika melihat rasi bintang, ingat?”

Kata-kata Dion membuat Melati latah menatap ke arah langit. “Hei, langit tidak terlalu cerah malam ini. Hanya terlihat dua tiga bintang.”

“Dion, apa ini siang hari buatmu? Dion bisa melihat bulan di balik awan itu?” tanya Melati kemudian.

“Iya. Kita melihat langit yang sama. Hari ini aneh. Entah kenapa kali ini aku bisa melihat Kakak tanpa bermimpi,” jawab Dion.

“Apa yang berbeda hari ini? Apa kamu merasakan sesuatu yang lain?” tanya Melati.

“Tak ada yang aneh. Aku pulang dari kantor dan duduk di sini tiba-tiba Kakak keluar dari kamar. Bagaimana dengan Kakak, apa ada yang aneh?”

“Aku juga tak merasakan sesuatu yang berbeda. Aku sedang membaca buku ketika mendengar sepeda motormu. Lalu setelah beberapa saat, aku mendengar Dion memanggil makanya keluar kamar.”

Dion mengernyitkan kening untuk sesaat karena heran sebab ia merasa tak mengeluarkan suara apapun sejak tiba di situ. Tapi Dion tak ingin larut dalam keheranannya karena tujuan utamanya adalah membujuk Melati agar mau ikut dengannya berkeliling dengan sepeda motor.

“Pikirkanlah! Aku siap kalau Kakak ingin berkeliling.”

“Baiklah. Tapi janji perlahan saja, ya!” pinta Melati.

Mendengar kalimat itu, Dion pun bersemangat dan berdiri. “Sekarang?” tanya Dion. Melati pun mengangguk setuju.

Dion menghidupkan mesin sepeda motor dan bersiap untuk mengemudikannya, tapi kembali menaikkan alisnya karena mendapati perempuan itu masih ragu.

“Tidak apa pakai daster?” tanya Melati.

Dion tertawa. Ia sempat menduga Melati berubah pikiran. “Ah perempuan dimana-mana sama saja. Selalu saja ingin tampil cantik, padahal pun tengah malam begini,” batin Dion.

“Tidak apa-apa, Kak. Toh kita tidak akan terlalu jauh, bukan?” jawab Dion.

Melati kemudian menaiki sepeda motor itu. “Janji jangan terlalu jauh,” katanya sambil berusaha mendapatkan posisi nyaman duduk di jok penumpang sepeda motor itu.

“Iya,” sahut Dion pendek yang mulai menjalankan sepeda motornya.

Melewati pintu gerbang, Anton sang penjaga heran dan bertanya mengapa Dion keluar lagi. Dion berdalih ingin keluar mencari makanan karena merasa lapar.

Sepeda motor itu belum terlalu jauh melewati lapangan tempat Dion biasa melakukan joging ketika Melati tiba-tiba meminta Dion menghentikan sepeda motornya.

“Ada tembok putih,” ujar Melati khawatir usai turun dari sepeda motor.

Dion menepikan sepeda motornya dan teringat pada kejadian setahun lalu di mana Melati mengaku melihat tembok putih merintangi langkahnya.

“Kita lakukan seperti dulu, Kak. Pegang tanganku!” ajak Dion lalu memegangi lengan Melati dan mengajaknya melangkah melewati jalan di depannya.

Setelah beberapa langkah, ia merasakan Melati memperkuat pegangannya pada lengan Dion. Untuk sesaat pemuda itu bisa melihat Melati memicingkan matanya.

“Pasti kami sedang melewati tembok yang ia lihat,” pikir Dion tanpa berusaha menghentikan langkah.

Dion merasa senang ketika akhirnya Melati membuka matanya dan tampak berbinar. “Kami pasti sudah melewatinya,” pikir Dion sambil menghentikan langkahnya.

“Kita lewat, kita melewatinya!” seru Melati seraya menempelkan tubuhnya pada Dion karena gembira.

Dion kemudian mengajak perempuan mundur kembali ke posisi semua, di samping sepeda motornya yang terparkir di pinggir jalan.

“Kakak masih melihat tembok tadi?” tanya Dion.

“Tidak lagi. Tembok itu menghilang,” jawab Melati sambil menggeleng-gelengkan kepala. Senyumnya semringah.

Dion menyalakan mesin sepeda motornya dan mengajak Melati melanjutkan perjalanan mereka.

Setelah beberapa jauh, kejadian serupa kembali terjadi. Melati mengaku jalan di hadapan mereka kembali terhalang oleh tembok putih raksasa.

Kali itu Dion meminta Melati untuk tidak turun dari sepeda motor. “Kita coba melewatinya dengan motor. Kita akan perlahan.”

Dion merasakan kekhawatiran Melati ketika pegangan tangan yang melingkari pinggangnya kian erat. Merasa kasihan, Dion pun memegangi lengan Melati dengan tangan kirinya dengan tetap melajukan sepeda motornya perlahan.

Tidak ada yang terjadi. Setidaknya bagi Dion. Pemuda itu mengetahui bahwa mereka telah berhasil melewati tembok itu ketika merasakan pegangan Melati di pinggangnya melemah.

“Kita berhasil, Kak?” tanya Dion.

“Kita melewatinya lagi,” sahut Melati bersemangat.

Dion menoleh singkat ke arah Melati di belakangnya dan mendapati perempuan itu tersenyum bahagia, begitu manis.

Dion kembali melajukan sepeda motornya. Entah sudah berapa tembok yang berhasil mereka terobos malam itu. Melati pun terlepas dari rasa khawatir. Ia tahu, sepanjang ia melewatinya bersama Dion secara bersamaan dan bersentuhan, maka tembok itu tidak lagi menghalanginya.

Melati yang mulanya fokus pada tembok-tembok yang mereka lalui, mulai menikmati perjalanan itu. Pandangannya tak lagi tertuju ke arah jalan tapi ke kanan dan kiri jalan.

Dion yang sedang mengemudi pun harus melayani komentar-komentar Melati yang merasa senang dengan pemandangan yang sudah lama tidak ia lihat.

Merasa sudah berkendara cukup jauh, akhirnya Dion menghentikan sepeda motornya di sebuah taman kota yang menyatu dengan fasilitas olahraga dan stadion sepakbola. Untuk beberapa saat keduanya bersenda gurau sambil duduk di bangku taman yang berhadapan dengan air mancur.

“Sudah hampir pagi. Pulang yuk!” ajak Dion. Melati pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

Diterpa cahaya temaram lampu taman, senyum itu tampak sangat indah dan teramat manis untuk tidak mendapat perhatian Dion.

“Astaga, Kak Melati cantik sekali!” pikir Dion dalam hati lalu mengalihkan pandangannya karena tiba-tiba Melati juga menoleh ke arahnya.

“Sebenarnya aku ingin ajak Kakak cari makanan tapi kita terlambat, penjual makanan sudah pada tutup,” ujar Dion sambil melangkah menuju sepeda motor yang ia parkirkan di depan kantor polisi yang berada di area taman kota itu.

“Tidak apa-apa Dion. Kakak sudah senang sekali hari ini,” jawab Melati sambil sesekali melompati langkahnya. Senyum tak hilang dari wajahnya. Seperti seorang gadis kecil yang mendapat kabar gembira.

Dalam perjalanan pulang, Dion hanya banyak diam karena hanyut dalam perasaan senang. Ia merasa bahagia melihat Melati yang tertawa dan senyum begitu indahnya. “Setidaknya aku bisa lebih berguna buatnya,” pikir Dion.

“Hei, kenapa diam saja?” tanya Melati setelah beberapa kali komentarnya tidak mendapat tanggapan dari Dion.

“Tidak apa-apa kak. Aku hanya senang melihat kakak,” jawab Dion.

Dion tak lagi mendengar suara Melati berkomentar. Perempuan itu hanya mempererat pegangannya di pinggang Dion, mungkin masih khawatir akan tembok yang mungkin akan mereka lalui.

Setibanya kembali di kamar indekos, Dion membersihkan diri dan mengganti pakaian dan bersiap untuk tidur karena kantuk mulai menyerang.

Ia menggabungkan diri dengan Melati yang sedang menyaksikan sebuah drama seri yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta.

“Belum mengantuk Dion?” tanya Melati menyadari Dion sudah berada di sampingnya.

“Hampir,” jawab Dion singkat yang lalu beranjak dan mengambil bantal dan meletakkannya di samping Melati dan rebahan di sana.

“Kalau mengantuk, tidur di kasur saja.”

“Aku masih ingin nonton sedikit sama Kakak.”

Melati tahu Dion tak pernah benar-benar tertarik menyaksikan tayangan televisi melainkan hanya ingin ditemani ngobrol sampai tertidur.

“Sebentar lagi hari akan terang. Dion tak usah joging hari ini, sesekali bolos tak apa-apa toh?”

“Iya. Sabtu ini, aku day-off. Kita keluar rumah jalan-jalan lebih cepat dari tadi supaya sempat makan bakso, ya Kak.”

“Iya boleh.”

“Tadi bagaimana? Kakak suka keliling-kelilingnya?”

“Iya suka. Sudah lama tidak melihat dunia luar.”

“Kita harus sering-sering melakukannya.”

“Kakak yang senang, kok Dion yang semangat?”

“Soalnya kakak kalau senang wajahnya cantik sekali.”

“Gombal kau Dion. Sudah, tidur sana!”

Untuk beberapa saat tak terdengar lagi Dion. Melati pun melanjutkan konsentrasinya pada drama televisi.

“Sepertinya akan hujan,” ujar Melati ketika mendengar suara guntur di kejauhan. Karena tak juga mendengar komentar Dion, Melati memandangi pemuda yang rebahan di sisi kanannya.

“Dion! Dion! Sudah tidur? Sana pindah ke kasur!” serunya tapi Dion tak membalas. Melati yang merasa yakin Dion belum sepenuhnya tertidur coba berbuat usil dengan menggelitik telapak kaki pemuda itu dengan ujung kakinya.

“Hmm.. Jangan, geli. Biarlah aku tidur di sini, Kak,” protes Dion yang terkantuk-kantuk.

“Lantainya dingin. Pindah ke kasur sana!” Melati kembali menggelitik telapak kaki dion dengan kakinya sendiri.

Mereka diganggu, bukannya pindah ke kasur, Dion malah memindahkan bantalnya ke pangkuan Melati lalu merebahkan kepalanya di sana.

“Dion ini seperti bayi raksasa saja. Dion pindah sana jangan malas-malasan!” protes Melati tapi Dion sudah tertidur dan tak sadarkan diri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!