Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?” tanya Nadia.
“Tidak akan mungkin itu terjadi,” sarkas Yudha.
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya sebatas ranjang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Kamu Punya Pacar?
Kamu Punya Pacar?
BUGH!
Kepalan tinju Yudha melayang tepat mengenai dinding di hadapannya. Dinginnya air dari shower yang mengguyur tubuhnya tak mampu memadamkan api amarah yang telah terlanjur tersulut itu. Pun tak sanggup membunuh gairahnya yang menggebu-gebu.
Lagi dan lagi penolakan yang ia terima ini membuat hati dan perasaannya hancur berkeping-keping. Sebagai pria dewasa yang normal, kebutuhan biologis merupakan kebutuhan yang juga penting untuknya. Tidak terpenuhinya kebutuhannya yang satu ini, membuat emosinya tidak stabil. Terkadang juga sampai membuat ia stress.
Yudha memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya yang dirundung pilu. Kekosongan yang ia rasakan ini terkadang membuat ia ingin menangis.
Pernah ia bertengkar hebat dengan Maura gara-gara Maura yang menolak melayaninya. Perdebatan panjang diantara mereka itu bahkan sampai berujung pada permintaan talak dari Maura.
Namun, karena cintanya, akhirnya yang bisa ia lakukan hanya mengalah, mengalah, dan terus mengalah.
Beberapa menit kemudian Yudha selesai membersihkan diri. Keluar dari kamar mandi ia mendapati Maura sudah berbaring, entah sudah terlelap atau hanya memejamkan mata saja.
Usai berpakaian, ia kemudian naik ke tempat tidur, mengecup kening Maura sebelum kemudian menarik selimut sampai batas pinggang, lalu berbaring memunggungi Maura.
Sedetik berselang ia merasakan pergerakan Maura. Lalu kemudian tangan Maura melingkari pinggangnya, sembari Maura merapatkan diri, memeluknya erat dari belakang.
“Sayang, aku rindu kamu,” bisik Maura.
Napas hangat Maura berhembus di tengkuknya. Yudha merasakan getaran-getaran itu kembali merambati urat saraf sampai ke seluruh nadinya. Gejolak-gejolak itu datang kembali, ingin sekali merasakan kehangatan cinta kasih seperti dulu lagi.
“Maura,” panggil Yudha lirih.
“Hm? Aku ngantuk sekali, sayang. Besok saja ya kalau ada yang mau dibicarakan. Aku capek,” sahut Maura. Hanya beberapa detik berselang, kemudian dengkuran halus Maura terdengar.
Yudha hanya bisa meniupkan napasnya pelan. Hasratnya yang kembali terpancing itu hanya bisa ia tahan dengan hati dongkol.
Malam mulai merangkak naik menuju singgasananya. Namun Yudha tak bisa memejamkan matanya. Bayangan Nadia tiba-tiba kembali muncul, bermain-main dalam benaknya dan mengaburkan pandangan matanya.
Tanpa sadar segaris senyuman tipis, setipis tisu itu terbentuk di wajahnya saat bayang-bayang Nadia yang sedang tersenyum muncul mengganggu pikirannya, mengusir rasa kantuknya sampai menghilang entah ke mana.
Tak jua bisa memejamkan mata walaupun malam sudah sangat larut, Yudha pun kemudian turun dari tempat tidur usai memastikan Maura benar-benar sudah terlelap. Ia kemudian pergi meninggalkan kamarnya. Dengan ditemani secangkir kopi panas, ia duduk di tepian kolam renang.
“Halo, Jer? Maaf mengganggu tidurmu,” ujar Yudha melalui sambungan telepon. Tiba-tiba saja terbersit satu keinginannya malam ini, ia ingin punya teman ngobrol yang bisa membuatnya sedikit merasa santai.
“Apa yang bisa saya bantu, Pak?” Suara Jerry terdengar serak di ujung telepon.
“Karyawan yang baru bekerja kemarin, tolong kamu cari tahu nomornya yang bisa aku hubungi.”
“Karyawan baru yang mana, Pak? Bukannya yang baru masuk kemarin itu ada tiga orang, ya?”
“Kamu tanya Bu Nana saja. Dia tahu siapa karyawan itu.”
“Siap laksanakan, Pak.”
“Aku tunggu secepatnya. Sekarang, bukan besok.” Yudha menutup panggilan telepon. Lantas menghembuskan napasnya resah. Mendadak hatinya berdebar-debar tanpa alasan yang jelas. Ia pun menjadi gugup memikirkan topik apa yang bisa ia lempar untuk bisa mengobrol dengan gadis itu. Ia berharap semoga saja gadis itu belum tidur.
Beberapa menit menunggu, panggilan Jerry masuk ke ponselnya.
“Namanya Nadia Indira. Usianya 26 tahun. Yatim piatu. Anak tunggal. Dan dia tidak punya ponsel. Ponselnya katanya sudah dijual untuk membayar tempat kost dan untuk biaya makan sehari-hari. Sudah ya, Pak. Itu informasinya sudah lengkap. Ada lagi yang bisa saya bantu? Kalau tidak ada, saya ijin mau tidur dulu.”
“Tidak ada. Ya sudah, tidurlah. Besok pagi jangan lupa kamu pesankan makanan di resto langganan. Pesan untuk dua orang. Menunya seperti biasa. Besok berikan itu pada Bu Nana.”
“Baik, Pak. Siap dilaksanakan. Saya tutup teleponnya sekarang. Selamat malam, Pak Yudha.”
Sambungan telepon terputus. Yudha termangu. Rasa iba pun menelusup masuk ke ruang dadanya seketika. Ia tak menyangka gadis manis berusia muda itu ternyata berjuang sendiri demi untuk bertahan hidup.
****
“Selamat pagi,” sapa Nadia dengan hati riang gembira. Senyum manisnya terkembang lebar hampir memenuhi wajahnya yang kecil. Disapanya siapapun yang berpapasan dengannya.
Bukannya Nadia sok ramah dan bersahabat. Hanya saja ia percaya, menjalani hidup dengan hati riang gembira serta berpikiran positif, akan melahirkan hal-hal yang baik dalam hidup. Seberat apapun beban yang dipikul, jika kita menjalaninya dengan hati yang gembira, maka beban itu akan terasa ringan.
Satu per satu disapa Nadia seraya melangkah dengan penuh percaya diri. Pagi ini Nadia terlihat cantik sekali memakai seragam hotel, rambutnya disanggul rapi, serta wajahnya dipulas makeup tipis yang membuat ia tampak bersahaja.
Nadia membawa langkahnya menuju lobby, hendak mengecek di bagian resepsionis kamar mana saja yang sudah kosong. Namun langkahnya terhenti saat ia berpapasan dengan si atasan dingin yang selalu terlihat serius itu.
“Selamat pagi, Pak.” Menundukkan wajahnya dengan sopan, Nadia menyapa. Tak sedikitpun ia melirik wajah atasannya itu.
“Pagi,” balas Yudha datar.
Nadia kemudian hendak beranjak usai menyapa Yudha. Tetapi urung lantaran tak sengaja ia melihat buku-buku jemari Yudha memerah. Tangan itu seperti baru digunakan untuk memukuli benda keras.
“Ya ampun. Itu tangan Bapak kenapa? Kenapa bisa sampai memar seperti itu? Ayo, ikut saya.”
Nadia yang terkejut sekaligus merasa khawatir itu pun langsung menarik Yudha, mengajaknya masuk ke rest area khusus karyawan tanpa sungkan lagi. Sekarang ini Nadia tidak memikirkan tentang status atasan dan bawahan diantara mereka. Yang Nadia pikirkan hanyalah memberikan pertolongan mengobati luka di tangan Yudha.
Dengan telaten dan dengan gerakan yang sangat hati-hati, tangan Nadia mengoleskan salep pada buku-buku jari tangan kanan Yudha. Setelah itu ia meniup-niupi luka itu agar tidak terasa perih.
“Bapak habis berantem sama dinding ya, Pak?” kelakar Nadia disela meniupi luka itu. Ia hanya menebak saja apa yang menjadi penyebab luka itu. Karena jika dilihat-lihat, tebakannya bisa saja benar.
“Kok tahu?”
Tak disangka ternyata tebakan Nadia itu memang benar. Padahal ia hanya bermaksud bercanda. Tapi siapa sangka atasannya itu malah menjawabnya dengan jujur.
“Memang dindingnya ada salah apa sama Bapak? Kok malah dipukuli?” Menyudahi kegiatannya meniup, kini ia mengangkat wajahnya, memandangi wajah pria itu.
“Tidak usah dijawab, Pak. Saya cuma bercanda.” Sebelum Yudha menjawab, Nadia sudah menyelanya lebih dulu. Sebab ia tidak bermaksud ingin tahu dengan masalah Yudha. Cukup baginya hanya membantu saja, tidak boleh lebih dari itu.
“Lukanya sudah selesai diobati. Maafkan saya karena sudah lancang dan tidak sopan pada Bapak. Sekarang saya mau kembali bekerja. Saya permisi dulu ya, Pak?” Nadia berdiri. Lalu sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda hormat.
Kaki Nadia sudah mengayun hendak melangkah. Namun terhenti karena pertanyaan aneh Yudha.
“Kamu punya pacar?”
-To Be Continued-
ngomong rindu tp giliran diladeni ngomong capek ngantuk, kan pengin /Hammer//Hammer//Hammer/
suami mulai ada tanda tanda dengan bawahnya....klop deh