Setelah mengorbankan dirinya demi melindungi benua Tianlong, Wusheng, Sang Dewa Beladiri, seharusnya telah tiada. Namun, takdir berkata lain—ia terlahir kembali di masa depan, dalam tubuh seorang bocah lemah yang dianggap tak berbakat dalam seni bela diri.
Di era ini, Wusheng dikenang sebagai pahlawan, tetapi ajarannya telah diselewengkan oleh murid-muridnya sendiri, menciptakan dunia yang jauh dari apa yang ia perjuangkan. Dengan tubuh barunya dan kekuatannya yang tersegel, ia harus menemukan jalannya kembali ke puncak, memperbaiki warisan yang telah ternoda, dan menghadapi murid-murid yang kini menjadi penguasa dunia.
Bisakah Dewa Beladiri yang jatuh sekali lagi menaklukkan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30 Perpisahan Di Pagi Hari: Sikap Jing Hun Yang Aneh
Lin Shuelan tampak bingung. “Apa maksudmu?”
Wu Shen menggaruk tengkuknya, sedikit ragu untuk berbicara. “Saat pertama kali dia melihat interaksi kita, aku merasa tidak tidak menyukainya. Aku jadi berpikir... Apa jangan-jangan dia menyukaimu, dan mengira aku ini semacam... penghalang?”
Shuelan terkejut, lalu tertawa kecil. “Jing Hun? Menyukaiku?”
“Bisa saja, kan?” balas Wu Shen, pura-pura cuek tapi dalam hati merasa sedikit cemas.
Lin Shuelan tertawa pelan, hampir seperti anak kecil yang mendengar lelucon rahasia.
“Apa yang lucu?” tanya Wu Shen sambil mengerutkan alis. “Apa aku salah bicara?”
Shuelan menggeleng pelan, lalu menatapnya dengan tatapan geli. “Kalau orang-orang di sekteku mendengar pendapatmu tadi… itu akan jadi berita besar dalam satu bulan penuh.”
“Eh? Maksudmu soal Jing Hun?” Wu Shen bertambah bingung. “Memangnya kenapa?”
Lin Shuelan mendekat sedikit, mencondongkan tubuhnya ke arah Wu Shen. Dengan senyum nakal, ia berbisik pelan di dekat telinga pemuda itu, “Jing Hun… tidak menyukai wanita.”
Wu Shen membeku.
“Ha?”
Namun sebelum sempat ia mengurai maksud dari pernyataan itu, tiba-tiba—
Tok tok tok!
Terdengar suara ketukan di pintu. Keduanya langsung terkejut seperti anak-anak yang tertangkap basah.
“Nona Lin? Anda di dalam?” suara itu terdengar jelas. Dan ya—itu suara Jing Hun!
"Gawat..."
“Cepat! Sembunyi!” bisik Lin Shuelan sedikit panik sambil menunjuk ke arah kolong tempat tidur.
“Apa? Di bawah sana?! Tapi—”
Tok tok!
“Aku akan masuk kalau tidak ada jawaban,” seru Jing Hun lagi.
“Wu Shen!!” Shuelan berseru pelan dengan suara yang cukup mengancam.
“Ya ya ya!” Wu Shen dengan gerakan canggung langsung berguling dan menyelip masuk ke bawah ranjang, nyaris menabrak kaki meja kecil di sana.
Beberapa helaian rambut panjangnya tersangkut di selimut, tapi ia berhasil menariknya masuk tepat saat—
Ceklek!
Pintu terbuka.
Jing Hun masuk dengan langkah ringan namun penuh aura waspada. Tatapannya menyapu ruangan, lalu tertuju pada Lin Shuelan yang duduk santai di atas ranjang sambil membaca buku.
“Maaf mengganggu anda malam begini,” katanya datar. “Saya hanya ingin memastikan bahwa anda siap berangkat besok pagi.”
“Tentu, aku sudah siap,” jawab Lin Shuelan tenang, meski satu tangannya mencubit selimut agar tak tergeser dan memperlihatkan makhluk gelagapan di bawah tempat tidur.
Namun, Jing Hun tidak langsung pergi. Matanya menyipit, kemudian mendekat.
“Hmm… aneh.”
“Aneh apa?” tanya Shuelan, mulai gugup.
“Aku mencium sesuatu.”
Shuelan menelan ludah. “Bau... Bau apa?”
“Bau yang… familiar,” ujar Jing Hun, mendekat ke ranjang.
Wu Shen di bawah sana sudah menahan napas. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, tubuhnya kaku seperti batu.
Jing Hun mendekat, lalu mengendus pelan. “Ini... bau Wu Shen.”
'APA?! AKU BAU?!' teriak Wu Shen dalam hatinya.
Shuelan buru-buru tertawa yang dibuat-buat sambil menepuk lututnya. “Kau mungkin hanya terlalu lelah, Jing Hun. Hidungmu salah mencium kalau kau sedang lelah.”
Tapi Jing Hun tak mundur. Ia malah menarik napas dalam-dalam… dan wajahnya perlahan memerah.
“Bau itu memang... menarik. Lembut… agak maskulin… dan sedikit manis.”
Wu Shen nyaris bersin mendengar itu. Ia menahan napas begitu keras, sampai urat di lehernya terasa mau meledak.
“Aku selalu merasa… Wu Shen itu pria yang manis dan menarik,” lanjut Jing Hun dengan pipi yang bersemu merah, membuat Wu Shen langsung merinding dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Sementara itu, Lin Shuelan hampir tak bisa menahan tawanya. Ia menutup mulut rapat-rapat dan memalingkan wajahnya agar tak meledak tertawa di depan Jing Hun.
Pada akhirnya, Jing Hun berbalik dan berjalan menuju pintu. “Anda sebaiknya menutup jendela, angin malam ini sepertinya lebih dingin dari biasanya.”
“Baik, terima kasih atas perhatianmu, Jing Hun,” jawab Shuelan sambil masih menahan tawa.
Setelah pintu tertutup dan suara langkah menjauh, Wu Shen langsung menggelinding keluar dari bawah ranjang seperti ikan basah yang terjebak jaring.
“KAU HARUS JELASKAN APA TADI ITU!” bisiknya panik, rambut acak-acakan dan nafasnya memburu.
Lin Shuelan akhirnya bisa tertawa lepas sekarang. “Kau harus lihat wajahmu! Hahaha! Kau nyaris meledak!”
“Ini tidak lucu! Dia bilang aku manis dan menarik!? Apa maksudnya itu?”
“Karena kau memang begitu, manis dan menarik...” jawab Lin Shuelan sambil menatap mata Wu Shen dalam-dalam.
Suasana mendadak cair, Wu Shen berdehem pelan dan menenangkan dirinya. "Aku tidak akan menyangkalnya, tapi bau? Apakah aku memang bau?"
"Penciuman Jing Hun sangat tajam, bau yang dia maksud bukan seperti yang kau pikirkan. Dia bisa mencium niat seseorang, kepribadian mereka, bahkan hati mereka. Jika dia bilang kau menarik dan manis, itu mungkin benar," ucap Lin Shuelan menjelaskan.
"Aku tidak tahu apakah harus kagum atau jijik dengan hal itu..." gumam Wu Shen sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Lin Shuelan tertawa kecil. Gadis itu akhirnya bisa melepaskan segala keresahannya yang mengganggunya semenjak mendapatkan tugas kerjasama yang sangat berat itu.
...
Keesokan Pagi di Gerbang Sekte Phoenix
Langit pagi masih berselimut kabut tipis ketika rombongan Lin Shuelan bersiap untuk berangkat. Di halaman depan gerbang utama Sekte Phoenix, beberapa murid telah berkumpul, sementara para tetua mengawasi dari kejauhan.
Wu Shen, bersama ibunya Wu Ruoxi dan ayahnya Wu Guan, berdiri di sisi kiri jalan berbatu yang mengarah keluar dari kompleks sekte.
Wu Shen menguap lebar, rambutnya masih agak berantakan. "Kenapa harus pagi sekali... aku bahkan belum sempat sarapan."
"Kalau kamu sarapan dulu, mereka sudah pergi, dasar pemalas," celetuk Wu Ruoxi, menyikut pelan putranya.
Lin Shuelan menghampiri mereka dengan senyum lembut. Ia mengenakan jubah perjalanan yang ringan, dan di sampingnya berdiri Jing Hun, tampak segar dengan wajah serius seperti biasanya.
"Terima kasih atas keramahan kalian semenjak kami disini," ucap Shuelan sambil menunduk sopan.
Wu Guan membalas dengan anggukan tenang. “Tidak masalah, asal kau tahu, kau sudah aku anggap sebagai bagian dari keluargaku sendiri."
“Sampaikan salam kami pada Tetua Lin juga,” tambah Wu Ruoxi ramah.
Lin Shuelan tersenyum. “Pasti.”
Jing Hun maju selangkah ke depan, dan menatap Wu Shen dengan ekspresi yang… sedikit berbinar.
“Wu Shen…” katanya pelan.
Wu Shen langsung mundur setengah langkah, waspada seperti melihat serigala yang menyamar jadi domba.
“A-apa?”
Jing Hun mengulurkan tangan dengan niat berjabat. “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung.”
Wu Shen menatap tangan itu seperti melihat jebakan. “Umm... tidak perlu. Kita sudah melakukannya dua kali, bukan?”
Jing Hun mengangkat alis. “Kau... menolak jabatan tanganku?”
“Bukan personal, aku hanya... menjaga bauku karena aku belum sempat mandi,” Wu Shen buru-buru menambahkan sambil melangkah mundur lagi.
Jing Hun tersenyum pelan, tak tersinggung sedikit pun. “Sayang sekali.”