NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15 BOCAH MESUM

Setelah makan malam dan mencuci piring, Ava mengusap kedua tangannya yang kini mulai keriput dan memerah karena air sabun. Kulitnya terasa kering, tapi tubuhnya justru lengket oleh keringat yang bercampur dengan aroma dapur sejak tadi—bau bawang, minyak panas, dan uap masakan yang seakan menempel di pori-porinya. Ia menutup keran perlahan dan merasakan hening menyelimuti rumah itu, hening yang berbeda dari rumah yang ia tinggali selama ini. Rumah ini asing, keras, dan terlalu sunyi untuk ukuran dua orang yang baru saja menikah.

Lampu dapur ia matikan. Ruangan itu tenggelam dalam temaram, hanya menyisakan cahaya samar dari lampu lorong. Ava berjalan menuju kamar dengan langkah berat, seolah setiap jengkal ototnya menuntut untuk berhenti dan rebah di mana saja. Hari ini terasa panjang dan padat: pernikahan mendadak, baju pengantin yang terasa membebaninya sepanjang hari, berkemas, lalu belanja, kemudian memasak makan malam.

Ia mengangkat tangannya, mendorong pintu kamar. Pintu itu bergerak pelan dengan suara seret kecil. Begitu pintu terbuka penuh, ruangan sepi menyambutnya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan laki-laki itu. Tidak ada sepatu, tidak ada jaket tersampir, tidak ada suara napas orang lain.

Napas Ava sedikit mengendur. Jadi… ini kamar yang akan ia tempati malam ini.

Ia menutup pintu di belakangnya, mendengar bunyi klik yang lembut namun terasa seperti membatasi dirinya dari dunia luar. Rambutnya yang seharian disanggul kini setengah terurai, lembap dan sedikit kusut, menempel di tengkuk. Ia menggerakkan lehernya yang pegal, memijat bahu kiri yang terasa seperti dicengkeram sejak pagi.

Dengan langkah lambat, ia berjalan menuju kamar mandi dan membuka pintunya. Hanya suara tetes air dari keran yang menyambutnya, mengisi ruangan seperti ritme monoton yang anehnya menenangkan. Ia menatap cermin sejenak—mata merah, garis halus kelelahan di bawah mata, wajahnya tampak jauh berbeda dari mempelai pagi tadi.

Karena terlalu lelah, Ava hanya mandi sebentar. Air dingin mengguyur tubuhnya, menyapu debu, keringat, dan beban hari itu meski tidak sepenuhnya menghapus rasa lelah dalam dirinya. Sepuluh menit kemudian ia sudah keluar, kimono putih tipis membalut tubuhnya. Kain itu terasa halus dan sedikit dingin di kulit, membuatnya merasa sedikit lebih ringan.

Ava mendekati lemari kecil di pojok ruangan. Ia menarik pintunya yang berderit pelan. Di dalamnya tidak banyak pakaian—sebagian kosong, sebagian hanya berisi pakaian pria. Ia menemukan satu set piyama Mickey Mouse yang ia masukkan siang tadi. Pakaian sederhana itu memberi sedikit rasa aman, sedikit jejak masa lalu yang masih ia miliki di rumah asing ini.

Ia menarik piyama itu keluar, lalu menekuk lutut hendak berganti pakaian. Saat tangan kirinya mulai mengangkat kain kimono, dan tangan kanannya menggantung memegang atasan piyama—

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Arash muncul di ambang pintu. Diam. Sama sekali tidak bergerak. Tatapannya langsung jatuh pada Ava yang dalam posisi setengah berpakaian. Selama beberapa detik, waktu seolah berhenti. Hanya ada Ava yang membeku dan Arash yang mematung.

Ava tersentak paling dulu. “Aaaaaaaa!” teriaknya panik, spontan menutup tubuhnya dengan tangan dan menarik kimono ke dadanya. “Dasar bocah mesum! Kenapa tidak tutup mata?!”

Arash mengangkat alis dengan kesal. “Apa katamu?” Nada suaranya datar namun sarat ketidaksabaran. Ia bahkan melangkah sedikit lebih dekat, mata membulat seakan tidak percaya dituduh seperti itu.

“Aaaaaaa!” Ava makin panik, tubuhnya merapat ke dinding, jongkok sambil memeluk dirinya sendiri. “Arash, mundur!”

Arash menghentikan langkahnya. Bahunya menegang, helaan napasnya terdengar berat seolah ia baru saja menahan sesuatu yang ingin meledak. Ia memalingkan wajah cepat-cepat, mendecak pendek penuh frustrasi—lebih kepada dirinya sendiri daripada pada Ava.

“Cepat… pakai bajumu,” ujarnya, nada suaranya terdengar keras namun ujungnya bergetar, seperti seseorang yang sedang berusaha keras menjaga kendali. Mata Arash bergerak gelisah, seakan ia takut tatapannya akan kembali jatuh pada pemandangan yang tadi membuatnya menelan ludah—dan membuat seluruh ketegasannya porak poranda.

“Jangan mengintip!” Ava masih berjongkok, bergerak cepat mengenakan atasannya. Tangan-tangannya bergetar entah karena marah, malu, atau campuran keduanya.

Beberapa detik berlalu dalam ketegangan sunyi. Hanya terdengar bunyi gesekan kain dan napas keduanya yang berat.

Setelah memastikan tubuhnya kembali tertutup, Ava berdiri perlahan, masih menunduk. “Sudah,” bisiknya, hampir tak terdengar.

Arash membalikkan tubuh. Tatapannya tajam, tidak menyembunyikan kekesalan sedikit pun. “Kenapa kau di kamarku?”

Ava mengusap wajah lelahnya. “Bukankah ini kamarku?”

“Kamarmu?” Arash mendengus, menggerakkan tangan menunjuk sekeliling. “Ini rumahku. Apa pun yang ada di rumah ini milikku. Kau cuma numpang!”

Ava menghela napas panjang. Ia sudah terlalu lelah untuk menghadapi ego lelaki itu. “Lalu aku tidur di mana?”

“Di luar.” jawab Arash tanpa ragu, bahkan tanpa menatapnya.

Ava menoleh cepat, tidak percaya. “Kau serius?”

Arash hanya menggerakkan kepalanya sedikit—gerakan kecil tapi sangat tegas. “Rumah ini hanya ada satu kamar. Dan itu kamarku.”

Ava menatapnya beberapa detik yang terasa lama. Ia ingin marah, ingin beradu argumen, namun rasa lelah terlalu menguasai dirinya. “Baiklah…”

Ia berniat berjalan melewati sisi kasur, tetapi kemudian berubah pikiran dan memilih jalan pintas. Tanpa rasa bersalah, ia naik ke kasur, melangkah di atasnya seolah itu lantai biasa.

“KAU—” Arash membeku, rahangnya mengeras melihat kakinya menginjak kasurnya tanpa rasa bersalah.

Ava turun dari kasur dengan santai, lalu tiba-tiba berbalik, menarik selimut tebal dari atas kasur. Dan berlari keluar kamar sambil memeluk selimut itu.

“Hei!” Arash hendak mengejarnya, tapi ia hanya mengembuskan napas kasar, mencoba menahan emosi yang bergejolak. kata-kata Lian terngiang di kepalanya. Buat dia menyerah tanpa menyiksa fisiknya.

Arash mengembuskan napas panjang, membuka lemari, mengambil selimut baru, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kasur dengan gerakan penuh frustrasi.

Sementara itu di luar kamar, Ava berdiri di koridor sambil memeluk selimut erat-erat. Dinding rumah terasa dingin, dan cahaya redup lampu lorong membuat bayangannya tampak panjang di lantai.

“Dasar tidak tahu sopan santun…” gumamnya kesal, suaranya hampir tak terdengar.

Ia berjalan menuju ruang tamu yang dingin, sedikit berdebu, dan terlalu besar untuk dirinya seorang. Lampu ia nyalakan hingga setiap inci ruangan itu kini terlihat jelas.

Ia meletakkan selimut, membetulkan lipatannya, lalu perlahan merebahkan tubuh. Sofa itu keras, berbanding terbalik dengan kasur yang ia injak tadi. Namun Ava terlalu lelah untuk peduli. Ia menarik selimut hingga menutupi wajahnya, menghela napas panjang yang terdengar seperti keluhan sekaligus kelegaan.

Hari yang panjang itu akhirnya berakhir… tapi suasana panas antara keduanya baru saja dimulai.

...----------------...

Cahaya matahari pagi merayap malu-malu dari sela awan, menembus kaca jendela dan jatuh ke ruang tamu dalam garis-garis tipis yang hangat. Ruangan itu masih sunyi, hanya suara lembut kipas angin yang berputar lambat. Di sofa kecil berwarna abu tua, Ava masih terlelap, selimut yang ia curi semalam menutupi setengah tubuhnya. Rambutnya berantakan, beberapa helai menempel di pipinya.

Suara lembut mulai memecah keheningan.

“Ava… Ava, sayang…” Suara itu seperti datang dari jauh, samar dan bergema di kepala Ava yang masih setengah bermimpi. Ada sentuhan halus di bahunya, mengguncang pelan. “Ava bangun, nak. Kenapa kau tidur di sini?”

Ava mengerjap, kelopak matanya berat. Cahaya ruangan terasa terlalu terang, menusuk penglihatannya hingga ia harus memicingkan mata. Setelah beberapa kali mengucek wajahnya, sosok yang berdiri di hadapannya akhirnya terlihat jelas.

“Mama…” gumamnya tercekat, langsung menarik tubuhnya untuk duduk tegak. Ia menatap Margaret yang sudah berpakaian rapi, bahkan makeup paginya tampak sempurna. “Kenapa Mama di sini?”

Margaret menghela napas pendek. “Mama yang harusnya bertanya,” ujarnya sambil melirik sekitar. “Kenapa kau tidur di sini? Di mana Arash?”

Ava belum sempat membuka mulut ketika Margaret sudah melangkah cepat menuju kamar Arash. Gaun formal yang ia kenakan bergerak mengikuti langkahnya, dan suara sepatu haknya menggema di lorong rumah yang masih lengang.

Ava bangkit dengan linglung, tubuhnya masih berat. Ia mengikuti ibunya dengan langkah gontai.

“Arash! Bangun!” seru Margaret begitu tiba di depan kamar. Ia langsung mendorong pintu tanpa ragu.

Ruangan itu masih gelap, hanya tirai tebal yang menjaga cahaya agar tak masuk. Arash terbaring di kasur, tertutup selimut hingga bahunya, wajahnya tenang seperti tidak ada kekacauan yang terjadi semalam.

Margaret menyibak tirai gelap itu dengan keras. Cahaya matahari langsung menerjang masuk, jatuh tepat ke wajah Arash.

“Arash!” panggilnya lagi sambil menarik bantal dari bawah kepala putranya.

Arash mengangkat kepala dengan gerakan malas, suara seraknya terdengar jelas. “Kenapa Mama teriak-teriak sepagi ini?”

Margaret berkacak pinggang, menatapnya tajam. “Kenapa kau tega membiarkan istrimu tidur di sofa sementara kau di sini?”

Arash mengerjap, masih mencoba sadar penuh. “Arash tidak tahu dia tidur di luar,” katanya datar.

Ava menahan napas. Tidak tahu? Jelas-jelas kau yang menyuruhku! batinnya kesal. Ia masih berdiri di ambang pintu, mencoba menyamakan napas.

Margaret mengalihkan tatapannya padanya. “Benar begitu, Ava?”

“Hm?” Ava tersentak, lalu menatap Arash yang mengirimkan tatapan tajam—ancaman halus yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua. “Ah… iya. Ava ketiduran di sofa, Ma,” jawabnya pelan.

Margaret mengangguk. “Baiklah kalau begitu.” Ia melangkah keluar. “Bi Ana sudah masak. Mama tunggu kalian sarapan.” Dan ia menghilang di lorong.

Ava menghela napas panjang. Ia melangkah menuju kamar mandi dengan sisa tenaga yang ada—namun sebelum masuk, dari belakang Arash tiba-tiba berlari kecil, mendahuluinya dan menutup pintu di hadapan keras membuat Ava hampir menabraknya.

“Arash!” serunya, kesal sekaligus lelah.

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!