Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Tangan yang Tidak Biasa"
Lampu kamar menyala redup ketika Zavian akhirnya berdiri dari kursi.
Alya masih terbaring, napasnya sudah lebih teratur, meski wajahnya menyimpan sisa-sisa kelelahan. Dokter yang datang lebih awal telah memastikan tidak ada cedera serius—hanya memar, sedikit terkilir, dan rasa nyeri yang akan datang belakangan. Tapi bagi Zavian, kepastian medis tidak sepenuhnya menenangkan. Ia tahu, rasa sakit tidak selalu datang dalam bentuk yang bisa dipindai.
“Pelan,” katanya ketika Alya mencoba duduk.
Alya menoleh, sedikit kaget. “Saya bisa sendiri—”
“Boleh,” potong Zavian, nada suaranya lembut tapi tegas. “Tapi biar aku bantu.”
Ia mendekat, memastikan jaraknya tidak membuat Alya canggung. Tangan Zavian menyelip di bawah bahu Alya, menopang dengan hati-hati, seolah memegang sesuatu yang mudah pecah. Alya ragu sejenak, lalu membiarkan berat tubuhnya ditopang.
Langkah mereka menuju kamar tidur pelan dan terukur.
Ketika Alya tiba-tiba kehilangan keseimbangan kecil karena nyeri yang menjalar, Zavian tidak berpikir dua kali. Ia mengangkat Alya—bukan dengan gerakan cepat yang tergesa, melainkan dengan ketenangan yang mengejutkan. Seolah itu adalah keputusan paling masuk akal di dunia.
“Aku gendong,” katanya singkat. “Jangan melawan.”
Alya ingin protes, tapi rasa nyeri mengalahkan keberaniannya. Ia hanya mengangguk kecil, memalingkan wajahnya agar tidak menatap terlalu dekat. Ada kehangatan yang asing—bukan hangat yang memalukan, tapi hangat yang membuatnya merasa… aman.
Zavian membawa Alya ke ranjang, menurunkannya perlahan, memastikan punggungnya tersangga dengan baik. Ia menarik selimut hingga setinggi pinggang, lalu berdiri sejenak, menatap Alya seperti orang yang baru saja selesai berlari jauh dan akhirnya berhenti.
“Aku ambil kotak obat,” katanya. “Jangan bergerak dulu.”
Alya mengangguk.
Kotak obat ada di lemari kecil—tertata rapi, lengkap. Zavian membawanya kembali, meletakkannya di meja samping ranjang. Ia mencuci tangan, lalu kembali duduk di tepi ranjang, menjaga jarak yang sopan.
“Kita cek satu-satu,” ucapnya. “Kalau sakit, bilang.”
Alya menelan ludah. “Iya.”
Zavian mulai dari yang paling jelas—memar di lengan, lecet kecil di siku. Ia membersihkan dengan kapas dan cairan antiseptik, gerakannya hati-hati, hampir terlalu berhati-hati. Alya meringis kecil.
“Maaf,” kata Zavian cepat.
“Tidak apa-apa,” jawab Alya, meski suaranya sedikit bergetar.
Ia melanjutkan ke pergelangan kaki yang sempat terkilir. Dibalut ringan, diberi kompres dingin. Zavian bekerja dengan fokus yang biasanya hanya ia gunakan saat mengambil keputusan besar—fokus yang kini diarahkan pada hal-hal kecil: tekanan jari, sudut balutan, reaksi wajah Alya.
Ketika semua yang terlihat selesai, Zavian berhenti. Ada jeda yang aneh—bukan karena pekerjaan selesai, tapi karena instingnya mengatakan masih ada yang terlewat.
“Ada bagian lain yang sakit?” tanyanya.
Alya ragu. Ia menatap ujung selimut, lalu mengangguk kecil. “Punggung… sedikit.”
Zavian menghela napas pelan. “Aku perlu lihat sebentar. Kalau kamu tidak nyaman, kita berhenti.”
Alya mengangguk lagi, lebih ragu kali ini.
Zavian berdiri, mengambil selimut dan melonggarkannya sedikit, memastikan privasi tetap terjaga. Ia menghindari tatapan yang tidak perlu, fokus pada tugasnya—seperti dokter yang memeriksa pasien, bukan apa pun selain itu.
“Bilang kalau perlu berhenti,” ulangnya.
Alya memiringkan tubuh perlahan. Zavian mengangkat ujung baju Alya secukupnya—sekadar untuk melihat area yang dimaksud. Dan di sana, tepat di punggung bagian tengah, terlihat lebam yang mulai menggelap. Letaknya tepat di garis pakaian dalam—tempat benturan yang mungkin terjadi saat ia jatuh dan menghantam dinding.
Zavian terdiam sepersekian detik.
Bukan karena canggung.
Melainkan karena marah pada dirinya sendiri.
“Ini… cukup besar,” katanya, menjaga suaranya tetap netral. “Pasti sakit.”
Alya mengangguk pelan. “Iya.”
Zavian mengambil salep anti-memar dan kompres dingin. Ia memastikan tangannya hangat, gerakannya terukur. Sentuhannya singkat, profesional, dan penuh kehati-hatian—tidak lebih, tidak kurang.
“Dingin sedikit,” katanya sebelum menempelkan kompres.
Alya menarik napas. “Tidak apa-apa.”
Zavian mengoleskan salep dengan tekanan ringan, mengikuti tepi lebam, tidak langsung ke pusatnya. Ia tahu caranya—bukan dari kebiasaan merawat orang, melainkan dari pengalaman panjang mengurus luka dengan cepat dan tepat. Bedanya, kali ini, ia tidak terburu waktu. Ia tidak dikejar ancaman. Yang ia hadapi hanya satu hal: memastikan Alya tidak menahan sakit sendirian.
“Kalau besok masih nyeri, kita cek lagi,” katanya. “Jangan dipaksakan.”
Alya mengangguk. “Terima kasih.”
Kata itu sederhana. Tapi Zavian mendengarnya seperti pengingat.
Ia menurunkan baju Alya kembali dengan hati-hati, menutup selimut hingga nyaman. Zavian lalu merapikan kotak obat, mengunci kembali penutupnya. Ia berdiri, berniat menjauh agar Alya bisa beristirahat.
“Alya,” katanya sebelum melangkah.
Alya menoleh. “Iya?”
“Aku tidak akan pergi lagi tanpa bicara,” ucapnya pelan. “Kalau harus keluar kota, kamu akan tahu dulu. Dan kalau kamu tidak siap… aku akan menunggu.”
Alya menatapnya lama. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya—bukan janji besar, bukan romantika. Hanya kepastian kecil yang selama ini hilang.
“Baik,” katanya akhirnya.
Zavian mengangguk. Ia mematikan lampu utama, menyisakan lampu tidur yang redup. Ia berhenti di ambang pintu, ragu sejenak, lalu kembali dan menarik kursi lebih dekat ke ranjang.
“Aku di sini,” katanya. “Tidur saja.”
Alya menarik selimut sedikit lebih tinggi. Rasa nyeri masih ada, tapi ketakutan yang tadi menggerogoti dadanya mulai surut. Ia memejamkan mata perlahan.
Dalam gelap yang lembut itu, Zavian duduk diam. Mafia yang terbiasa memegang kendali kini belajar satu hal yang sama sekali baru: bahwa merawat bukan soal kuasa, melainkan kesediaan untuk hadir—bahkan ketika tidak ada ancaman yang bisa ditaklukkan, tidak ada musuh yang bisa ditundukkan.
Ia menatap Alya yang tertidur, napasnya kembali tenang.
Lebam itu akan memudar.
Tapi pelajaran malam itu—tentang tangan yang harus belajar lebih sabar, tentang keputusan yang harus lebih jujur—akan tinggal lebih lama.
Dan untuk pertama kalinya, Zavian tidak merasa kehilangan kendali karena itu.