Lasmini adalah seorang gadis desa yang polos dan lugu, Ketenangannya terusik oleh kedatangan Hartawan, seorang pria kota yang bekerja di proyek pertambangan. Dengan janji manis dan rayuan maut, Hartawan berhasil memikat hati Lasmini dan menikahinya. Kebahagiaan semu itu hancur saat Lasmini mengandung tiga bulan. Hartawan, yang sudah merasa bosan dan memiliki istri di kota, pergi meninggalkan Lasmini.
Bara, sahabat Hartawan yang diam-diam menginginkan Lasmini. Alih-alih melindungi, Hartawan malah dengan keji "menghadiahkan" Lasmini kepada Bara, pengkhianatan ini menjadi awal dari malapetaka yang jauh lebih kejam bagi Lasmini.
Bara dan kelima temannya menculik Lasmini dan membawanya ke perkebunan karet. Di sana, Lasmini diperkosa secara bergiliran oleh keenam pria itu hingga tak berdaya. Dalam upaya menghilangkan jejak, mereka mengubur Lasmini hidup-hidup di dalam tanah.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya terhadap Lasmini?
Mungkinkah Lasmini selamat dan bangkit dari kuburannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembalasan terakhir Part 2
Hartawan tidak pernah lari secepat ini seumur hidupnya. Selimut yang tadinya ia kenakan terlepas di pertengahan tangga, sementara celana yang dipakainya nyaris melorot. Ia hanya mendengar detak jantungnya sendiri yang berdentum liar di telinga, menenggelamkan semua suara kecuali suara napasnya yang terengah-engah. Tujuan tunggalnya yakni Pintu Depan.
Ia menerjang kenop pintu, membukanya dengan paksa, dan keluar ke kegelapan malam tanpa menoleh ke belakang.
Di lantai atas, Lasmini hanya memiringkan kepalanya, senyum mengerikan masih terukir di bibirnya.
"Kau pikir bisa lari, Hartawan?" desisnya, suaranya kini dingin seperti batu nisan.
WHUUUM!
Lasmini tidak repot-repot menggunakan pintu atau tangga. Dengan satu sentakan aura, tubuhnya melesat bak roket, menembus tembok bata dan eternit di belakangnya seolah material itu hanyalah gumpalan kabut. Debu dan puing-puing berhamburan ke udara, meninggalkan lubang menganga yang langsung disambar oleh angin dingin.
"Ayah… ayah… ayah…!"
Tangisan melengking sang janin bertaring mengekor, suaranya menembus getaran tanah. Di belakang Lasmini yang kini melayang di udara, janin itu merangkak dengan kecepatan yang tak masuk akal, tubuhnya yang mungil bergetar oleh hasrat untuk memangsa.
Hartawan mencapai gerbang halaman. Tepat di luar pagar, di bawah temaram lampu jalan yang berkedip, ia melihat dua sosok yang dikenalnya.
"Mandra! Bejo!" teriak Hartawan, suaranya pecah karena ketakutan. "Kalian di sini! Syukurlah!"
Mandra dan Bejo, yang baru saja hendak melapor, terperanjat melihat penampilan majikan mereka: acak-acakan, pucat pasi, dan penuh keringat dingin.
"Tuan, kami mau lapor." ucap Mandra.
"Tidak ada waktu!" potong Hartawan, mencengkeram lengan Mandra dengan kekuatan putus asa. "Laporan bisa nanti! Aku sedang dikejar! Iblis! Lasmini! Dia kembali dan dia… dia membawa anakku!"
Bejo yang hendak membuka mulutnya, langsung terdiam ketika mendengar desahan angin kencang disertai bau amis darah dan kembang tujuh rupa menusuk indra penciumannya.
"Tuan, Karman sama Bendot..."
" Aku tidak peduli Karman atau Bendot! Sekarang juga kita harus pergi menemui Mbah Loreng! Mandra dan kau Bejo, apakah kalian bawa kendaraan?" Hartawan memandang mereka dengan mata memohon.
Mandra, yang syok, akhirnya tersadar. "Saya bawa motor Tuan, cukup untuk kita bertiga!"
"Cepat! Cepat! Nyalakan!"
Mandra buru-buru memutar kunci motornya, sementara Hartawan dan Bejo sudah melompat naik. Mereka bertiga berdesakan di atas jok motor matic tua, yang langsung melaju membelah malam.
Tak sampai sepuluh detik kemudian, Lasmini mendarat di jalan, tepat di tempat Hartawan berdiri. Ia tidak terkejut, melainkan tersenyum puas.
" Lari! Lari sepuasmu, Hartawan,"gumamnya, matanya yang putih bercahaya memancarkan kilat merah darah. "Pembalasan ini tidak akan tertunda."
Lasmini melayang di atas jalan, meluncur cepat di belakang Mandra yang mengendarai motor dengan kecepatan penuh. Janin bertaring itu mengikuti di bawahnya, tawa melengkingnya seolah menjadi lagu kematian yang mengiringi pelarian mereka.
Di sisi jalan yang lain, Darma dan Kanti bergegas menaiki motor milik Prabu, wajah mereka penuh kekhawatiran.
"Cepat, Mas! Aku khawatir Lasmini kenapa-kenapa!" desak Kanti, memeluk suaminya erat.
"Iya, Kanti! Ini sudah secepatnya!" Darma menambah kecepatan. Mereka hanya bisa berdoa agar putri mereka selalu terlindungi.
Sementara itu, di kediamannya, Prabu tersentak sadar. Kepalanya berdenyut hebat.
"Suci… Aku harus segera menyelamatkan Suci!" Ia meraba kepalanya yang pusing dan segera bangkit.
Saat melewati halaman, pandangannya jatuh pada beberapa gundukan di atas rumput. Prabu berhenti, dan kengerian merayap di tenggorokannya. Bara dan anak buahnya tergeletak mati, lidah menjulur, bola mata melotot, dan wajah membiru. Mereka telah dihabisi dengan cara yang mengerikan.
Prabu gemetar, namun instingnya sebagai orang baik mengambil alih. Ia menyempatkan diri menarik kain di dekatnya dan menutup wajah para korban.
"Maafkan aku, aku harus pergi."
Dengan firasat buruk yang memburunya, Prabu bergegas pergi mencari Suci. Ia tahu, energi gelap yang ia rasakan itu pasti datang dari Suci alias Lasmini.
Di jalanan sepi, Mandra berteriak, "Tuan! Di depan! Ada yang menghadang!"
Motor itu terhenti mendadak. Di tengah jalan, di bawah cahaya rembulan yang samar, Lasmini berdiri tegak. Di sampingnya, janin bertaring itu menatap mereka.
BRAK!
Lasmini mengayunkan tangan. Sebuah gelombang kejut tak terlihat menghantam motor Mandra, menjungkirbalikkan nya. Hartawan, Mandra, dan Bejo terpental ke semak-semak. Mereka bertiga berusaha bangkit, tetapi Lasmini telah mendekat.
Dengan satu gerakan tangan, asap hitam tebal mengepul, menciptakan tirai gelap yang mengisolasi area itu. Lasmini telah memasang pagar gaib. Kini, mereka bertiga terperangkap dan tak terlihat oleh mata manusia biasa.
Tiba-tiba, udara terasa berat. Sebuah aura keemasan bercampur hitam pekat melingkupi Lasmini. Sosok wanita muda dan cantik dengan selendang hijau berkilauan muncul di samping Lasmini.
"Nyai Kencana Dewi," bisik Hartawan, tubuhnya menggigil hebat, ia tahu tentang Nyai Kencana Dewi dari Mbah Loreng, dan makhluk ghoib inilah sumber kekuatan dari Lasmini dan yang menjadi tameng serta perlindungnya selama ini.
Kini Nyai Kencana Dewi tersenyum dingin.
"Lasmini, anakku! Apakah kau sudah yakin untuk mempersembahkan mereka bertiga untukku? Terutama Hartawan, kau sudah mantap untuk menghabisinya?" suara Nyai Kencana Dewi bergaung, dipenuhi kekuatan kuno.
Lasmini memandang Hartawan dengan mata putihnya yang bersinar.
"Sudah Nyai. Malam ini mereka bertiga harus mati di tanganku, tapi aku ingin menyiksa mereka bertiga dulu, sama halnya saat mereka membunuhku dulu seperti apa, sangat keji dan menjijikan!"
Nyai Kencana Dewi tertawa puas, suara tawa yang menyerupai gemerisik daun kering yang terbakar.
"Lakukanlah sesuka hatimu Lasmini, mereka sekarang adalah milikmu. Siksa mereka sebelum ajal menjemput."
Lasmini mengangguk, lalu tangannya terangkat. Ia mulai merapal mantra. Tiba-tiba, Mandra dan Bejo menjerit kesakitan yang luar biasa. Kulit mereka memerah dan mulai melepuh, gatal tak tertahankan yang membuat mereka menggaruk-garuk tubuh dengan panik. Dalam hitungan detik, kulit mereka terkelupas, memperlihatkan daging merah di bawahnya.
Sementara itu, Hartawan tidak diganggu oleh gatal. Ia hanya dikejar oleh teror yang lebih mengerikan yakni anaknya sendiri. Bayi bertaring itu merangkak mengelilinginya, gigi-gigi runcingnya memantulkan cahaya redup.
Dengan suaranya yang lantang, Lasmini memanggil Hartawan.
"Hartawan, dia adalah anakmu, anak yang telah kau sia-siakan dan kau bunuh dan sekarang rasakan akibatnya!"
Hartawan menjerit. Bayi bertaring itu menerjang, menggigit betisnya. Gigi runcing itu merobek kulit dan daging Hartawan dengan rakus, menimbulkan rasa sakit yang tak tertahankan. Darah segar menyembur, dan Hartawan tersungkur, berteriak meminta tolong.
Lasmini tertawa, suara tawanya kini benar-benar perpaduan antara dirinya dan Nyai Kencana Dewi, manis namun mematikan.
Ia melihat Mandra dan Bejo. Kulit dan daging mereka sudah tak berbentuk, hanya menyisakan tulang yang mengelupas dan memutih.
Ketika Lasmini dan Nyai Kencana Dewi asik menonton pertunjukkan penyiksaan Hartawan, Mandra dan juga Bejo, tiba-tiba, aura pagar gaib mereka bergetar hebat. Aroma mistis yang tak asing menerobos masuk.
Nyai Kencana Dewi memicingkan matanya, keterkejutan terlihat jelas di wajahnya.
"Prabu Sakha Kumbara? Siapa yang telah menuntunnya datang ke sini?"
Bersambung...