Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31. PERTEMUAN DI TAMAN
..."Dalam gelap malam dan cahaya bintang, dua jiwa belajar bahwa keberanian terbesar adalah membiarkan diri disentuh oleh seseorang yang melihat semua luka, dan tetap memilih untuk tinggal."...
...---•---...
Pukul sebelas malam. Rumah sudah sunyi sejak satu jam lalu. Ratna pulang pukul sembilan, Tuti pulang pukul sepuluh, Pak Hendra sudah tidur di rumah penjaga. Doni menunggu di kamarnya, duduk di tepi kasur dengan jantung berdebar tidak teratur. Jemarinya mengetuk lutut, ritme gelisah yang tidak bisa ia hentikan.
Ia melirik jam dinding. Jarum panjang bergerak lambat, setiap detik terasa seperti menit. Napasnya keluar pelan, terkontrol, tapi dadanya terasa sesak. Bukan dari cemas. Dari antisipasi.
Akhirnya ia berdiri. Kaki membawanya ke pintu, tangan memutar kenop dengan hati-hati. Pintu terbuka tanpa suara, engsel yang sudah ia beri minyak sore tadi. Koridor gelap, hanya lampu kecil di sudut yang menyala redup. Bayangannya memanjang di lantai marmer, mengikuti setiap langkah.
Ia turun tangga pelan. Setiap pijakan dipilih dengan saksama, menghindari anak tangga ketiga yang selalu berderit. Tangannya menyusuri pegangan kayu, permukaan halus dan dingin di telapaknya. Napasnya tertahan saat melewati ruang tamu. Gelap. Sunyi. Hanya bunyi jam dinding yang berdetak, tik tok tik tok, seperti jantungnya sendiri.
Pintu belakang menuju taman sudah terbuka sedikit. Celah kecil yang membiarkan angin malam masuk, membawa aroma tanah basah dan bunga malam. Doni melangkah keluar. Udara sejuk langsung menyentuh kulitnya, kontras dengan kehangatan di dalam rumah. Ia menarik napas dalam. Rumput, melati, sedikit aroma eucalyptus dari pohon di ujung taman.
Matanya menyesuaikan dengan kegelapan. Langit penuh bintang, bulan sabit tipis memberikan cahaya lembut. Taman terlihat berbeda di malam hari, lebih liar, lebih rahasia. Semak-semak jadi bayangan gelap, pohon-pohon besar menjulang seperti penjaga diam.
Lalu ia melihatnya.
Naira berdiri di bawah pohon magnolia besar di tengah taman. Cardigan putih melingkupi bahunya, rambut tergerai menutupi punggung. Ia membelakangi Doni, wajah terangkat menatap langit. Cahaya bulan menyentuh rambutnya, menciptakan halo samar. Tubuhnya terlihat kecil di bawah pohon besar itu, rapuh tapi nyata.
Doni berhenti sejenak. Hanya metatap.
Dadanya terasa penuh dengan sesuatu yang tidak bisa ia beri nama. Bukan cuma hasrat: itu ada, tapi lebih dalam. Ini dia, pikirnya. Orang yang membuat dunia terasa lebih kecil dan lebih besar dalam waktu bersamaan. Seperti pulang ke tempat yang tidak pernah ia tahu ia cari.
Ia melangkah maju. Rumput basah di bawah sepatunya, embun membasahi tepi celananya. Setiap langkah membawa ia lebih dekat. Jantungnya berpacu lebih cepat.
Naira menoleh. Senyumnya muncul perlahan, mata berkilat di bawah cahaya bulan. Tidak ada kata. Hanya tatapan yang mengatakan segala. Aku di sini. Kamu datang. Kita berdua memilih ini.
Doni berhenti di hadapannya. Jarak satu langkah. Cukup dekat untuk merasakan kehangatan tubuhnya, cukup jauh untuk masih aman. Napas mereka terlihat di udara dingin, kabut tipis yang menghilang cepat.
"Kamu datang," bisik Naira. Suaranya pelan, nyaris tertelan angin malam.
"Kamu pikir aku tidak akan datang?" Suara Doni sama lembutnya. Ia tidak berani bicara lebih keras, takut memecah keajaiban malam ini.
"Aku harap kamu datang. Tapi aku juga tidak akan menyalahkan kalau kamu tidak." Jemari Naira menarik cardigan lebih rapat. Bahunya sedikit naik, tubuh melindungi diri dari dingin. "Ini... rumit."
"Rumit," Doni mengulangi. Ia melangkah lebih dekat. Sekarang hanya sejengkal jarak di antara mereka. "Tapi kita sudah lewati yang lebih rumit."
"Rendra. Kontrak. Trauma. Media." Naira menghitung dengan jari. Senyumnya miring, ada ironi di sana. "Ya. Ini seharusnya mudah dibanding semua itu."
"Tapi terasa lebih menakutkan." Doni mengangkat tangan, ragu sejenak, lalu menyentuh pipinya. Kulitnya dingin dari udara malam, tapi lembut. Jemarinya menelusuri tulang pipi, turun ke rahang. Naira menutup mata sebentar, bersandar pada sentuhan itu.
"Kenapa lebih menakutkan?" bisiknya.
"Karena dengan yang lain, aku bisa kehilangan pekerjaan, uang, reputasi." Ibu jari Doni mengusap bibir bawahnya, gerakan pelan yang membuat napas Naira tercekat. "Tapi dengan ini, aku bisa kehilangan kamu. Dan itu... itu yang paling aku takutkan."
Mata Naira terbuka. Berkilat, basah. Tidak menangis, tapi hampir. "Kamu tidak akan kehilangan aku. Aku sudah memutuskan. Aku pilih ini. Pilih kamu."
"Aku juga pilih kamu." Tangan Doni turun ke leher, merasakan denyut nadi yang berpacu di sana. Cepat. Tidak teratur. Sama seperti miliknya. "Sejak lama. Mungkin sejak kamu pertama kali tersenyum setelah makan nasi goreng itu. Atau saat kamu tertawa waktu memotong bawang. Atau waktu kamu tidur di sofa dengan buku di dada. Aku tidak tahu kapan tepatnya. Tapi aku tahu sekarang aku tidak bisa berhenti."
"Lalu jangan berhenti." Tangan Naira naik, menyentuh dada Doni. Telapaknya rata di atas jantung, merasakan detak keras di balik kain kemeja. "Jantungmu berpacu."
"Karena kamu."
"Punyaku juga." Ia mengambil tangan Doni, membawanya ke dadanya sendiri. Jantungnya berdebar kencang, seperti burung yang terjebak dalam sangkar tulang rusuk. "Rasakan. Ini semua karena kamu."
Doni menelan ludah. Mulutnya kering. Tangannya bisa merasakan kehangatan kulitnya melalui kain tipis cardigan dan dress di bawahnya. Merasakan napas yang naik turun, tidak teratur. Merasakan hidup di bawah telapaknya.
"Naira..." Suaranya parau. Serak. "Kalau kita mulai sekarang..."
"Kita sudah mulai." Naira melangkah lebih dekat. Sekarang tubuh mereka hampir menyentuh. Hanya udara tipis di antara mereka. "Pagi tadi di dapur. Kita sudah mulai."
"Tapi di sini. Sekarang. Ini beda." Napas Doni memburui. Matanya turun ke bibir Naira, naik lagi ke mata. "Ini... ini sudah melanggar garis sepenuhnya."
"Garis itu sudah kita lewati sejak aku jatuh cinta padamu." Jemari Naira naik ke tengkuk Doni, bermain dengan rambut di sana. Sentuhan ringan yang membuat bulu kuduknya berdiri. "Dan kamu jatuh cinta padaku."
"Aku jatuh cinta padamu," Doni mengakui. Suaranya gemetar sedikit. Bukan dari takut. Dari intensitas perasaan yang terlalu besar untuk ditampung tubuhnya. "Sangat. Terlalu banyak sampai rasanya mau meledak."
"Lalu jangan tahan." Bisikan Naira hangat di bibirnya. Jarak tinggal seinchi. "Biarkan meledak."
Doni tidak tahu siapa yang bergerak duluan. Mungkin bersamaan. Mungkin gravitasi. Tapi tiba-tiba bibir mereka bertemu dan dunia berhenti.
Ciuman itu tidak seperti pagi tadi. Pagi tadi masih ada ragu, ada pertanyaan. Sekarang hanya jawaban. Ya. Ya. Ya.
Tangan Doni melingkar di pinggang Naira, menarik ia lebih dekat sampai tidak ada jarak tersisa. Tubuh mereka menyatu, hangat menyebar dari setiap titik sentuh. Tangan Naira di rambutnya, menarik sedikit, membuat ia mengerang pelan ke dalam ciuman.
Naira membuka bibir, membiarkan ia masuk lebih dalam. Lidah mereka bertemu, eksplorasi yang pelan tapi intens. Rasa kopi yang ia minum tadi malam, sedikit mint dari pasta gigi, dan sesuatu yang murni Naira. Manis. Memabukkan.
Ia mencium sudut bibirnya, rahang, turun ke leher. Naira menengadah, memberi akses. Napasnya keluar terputus-putus. Tangan Doni menelusuri punggungnya, merasakan lengkungan tubuh melalui kain tipis. Naik perlahan, turun lagi, menghafal setiap kontur.
"Doni..." Suaranya bergetar. Tangannya mencengkeram bahunya, mencari pegangan. "Aku..."
"Aku tahu." Ia kembali ke bibirnya. Ciuman lebih lembut kali ini. Lebih lambat. Menyesap, bukan menyerang. "Aku juga."
Mereka berpisah untuk bernapas. Dahi bertemu dahi. Mata terpejam. Napas bercampur, hangat di udara dingin. Jantung berdetak sinkron, dua ritme yang jadi satu.
"Kita gila," bisik Naira. Senyumnya terasa di bibir Doni. "Kontrak. Pasal dua belas. Lima ratus juta rupiah. Kita gila."
"Sangat gila." Doni tertawa pelan, getaran terasa di dada mereka yang masih menempel. "Tapi aku tidak peduli."
"Aku juga tidak peduli." Jemarinya menelusuri wajahnya, seperti menghafal. Alis, pelipis, tulang pipi, rahang. "Aku sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan. Takut Rendra. Takut media. Takut dunia. Aku tidak mau takut pada hal yang membuat aku bahagia."
"Aku membuat kamu bahagia?"
"Sangat." Matanya terbuka, menatap langsung ke matanya. Jujur. Telanjang. Tanpa pertahanan. "Kamu membuat aku merasa hidup lagi. Setelah bertahun-tahun cuma bertahan, kamu ajari aku hidup."
Dada Doni sesak. Terlalu penuh. Ia menarik Naira ke pelukannya, lengan melingkupi tubuh kecilnya. Wajahnya tenggelam di rambut yang berbau lavender dan malam. Ia merasakan tubuhnya bergetar sedikit. Dingin, mungkin. Atau emosi.
"Kamu kedinginan," katanya. Tangannya mengusap lengannya, mencoba memberi kehangatan.
"Sedikit." Tapi ia tidak bergerak. Tetap di pelukannya, seolah tidak mau berpisah. "Tapi aku tidak mau masuk. Belum."
"Kita bisa duduk." Doni menunjuk bangku taman di bawah pohon. Kayu tua yang sudah lapuk sedikit, tapi masih kuat. "Di sana."
Mereka berjalan sambil berpegangan tangan. Jemari terjalin, pas seperti dibuat untuk itu. Bangku dingin saat mereka duduk, kayu tua berderit pelan di bawah berat mereka. Permukaan kasar di bawah tangannya, jahitan retak dari puluhan tahun hujan dan panas. Doni melepas jaketnya dan melingkupkan di bahu Naira. Jaket itu besar untuknya, menutupi sampai lutut. Ia tersenyum, menarik kerah ke hidung, menghirup.
"Bau kamu," katanya. Mata menutup. Senyum kecil di bibir. "Basil. Lemon. Sedikit kayu bakar."
"Bau dapur." Doni tertawa. Lengannya melingkari bahunya, menarik ia ke sisinya. Naira bersandar, kepala di bahunya, tubuh pas di lengkungan tubuhnya.
"Bau rumah," koreksi Naira pelan.
Mereka terdiam. Dalam pelukan itu, di bawah langit berbintang dan pohon magnolia yang menjadi saksi, Naira merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sejak perceraiannya, keamanan untuk jatuh. Bukan jatuh terpuruk, tapi jatuh dalam arti menyerahkan diri sepenuhnya kepada seseorang dan percaya ia akan menangkap dirinya.
Tapi di sudut pikirannya, angka itu tetap berbisik: delapan ratus tujuh puluh hari. Hitungan mundur yang tidak bisa dihentikan. Kontrak yang mengikat mereka sekaligus mengancam akan merenggut semua ini.
Dan pertanyaan yang belum terucap menggantung di antara mereka: Apa yang terjadi setelah waktu habis?
...---•---...
...Bersambung...