Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di balik tatapan datar.
Calista ingin menenangkan diri di perpustakaan sambil membaca, tapi bayangan tentang betapa brutalnya Xavier jadi terus menghantui pikirannya. Matanya menatap kosong pada halaman buku yang terbuka, tetapi pikirannya berkelana jauh.
"Kalau kamu sakit, lebih baik ke UKS dulu, Nak." suara lembut Ibu Wati—penjaga perpustakaan, membuyarkan lamunannya.
Wajah Calista pucat, bahkan beberapa kali ia tampak memegangi kepalanya.
Calista buru-buru tersenyum tipis. "Saya nggak apa-apa, Bu. Terima kasih," ucapnya singkat sebelum beranjak meninggalkan perpustakaan.
Baru beberapa langkah ia menapaki koridor, sebuah suara memanggil pelan dari belakang.
"Calista..."
Calista menoleh. Seorang gadis menghampirinya, wajahnya tidak asing, gadis yang tadi ia lihat bersama Xavier.
"Lo, Calista, kan?" tanyanya sambil tersenyum ramah.
"Iya," jawab Calista singkat.
"Kenalin, nama gue Ririn. Kelas 12 B." ucapnya seraya mengulurkan tangan.
"Salam kenal, Ririn." Calista membalas uluran tangannya, meski hatinya masih dipenuhi tanda tanya.
"Lo sekelas sama Xavier kan? Bahkan sebangku juga?" tanya Ririn kemudian.
"Iya... emangnya kenapa?" Calista menelan ludah. Entah kenapa rasa tidak tenang kembali menghampirinya setiam nama itu disebut.
Ririn merogoh tasnya, lalu menyodorkan sekotak susu rasa coklat.
"Tolong kasih ini ke Xavier."
Calista mengernyit, bingung. Ia tetap menerima kotak susu itu, meski penuh tanda pertanyaan. "Nolongin? Maksud kamu... Xavier?" suaranya merendah penuh keraguan. "Bukannya... kamu yang ditindas Xavier? Aku lihat kamu ketakutan banget."
Ririn menggeleng cepat. "Lo lihat gue?" tanya Ririn yang dapat anggukan kepala dari Calista. "Lo salah paham. Gue bukannya di tindas Xavier, malah gue hampir di lecehkan preman. Untung Xavier datang pas itu. Kalau nggak... gue nggak tahu gimana nasib gue sekarang." Nada suaranya merendah, matanya berkaca-kaca mengingat kejadian itu.
Mata Calista melebar. Ia tercekat, salah pahamnya selama ini terbongkar. Ternyata Xavier bukan pelaku, melainkan penyelamat.
"Tolong gue ya, plis," ucap Ririn lagi, kali ini suara penuh harap.
"Kenapa bukan kamu aja yang kasih langsung Xavier?" Calista masih ragu.
"Gue takut... sekaligus malu. Plis, Calista. Gue mohon banget."
Hening sesaat. Calista akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah."
Wajah Ririn langsung berbinar. "Makasih, Calista. Selain cantik, lo juga baik banget."
Ririn tersenyum lebar. "Ya udah, gue pamit dulu. Bye-bye!"
Calista hanya mengangguk kecil, masih memandang kotak susu coklat di tangannya. Hatinya berdesir aneh. Selama ini banyak yang menilai Xavier kasar dan menyeramkan, tapi kenyataanya Xavier justru menolong orang lain dengan berani.
Sesampainya di kelas, seperti biasa Xavier terlelap dengan santainya di atas meja. Calista berdiri ragu beberapa detik, bingung bagaimana cara memberinya susu itu.
Akhirnya, ia memberanikan diri melangkah mendekat lalu mengetuk meja Xavier beberapa kali.
"Xavier," panggilnya pelan.
Mata Xavier perlahan terbuka, menatap Calista dengan tatapan datar yang khas.
"Ada yang nitip susu ini buat kamu. Katanya... terima kasih karena kamu udah nolongin dia tadi," jelas Calista hati-hati.
Xavier hanya menatap sekilas, lalu menghela napas malas. Ia tak berkata apa pun, hanya kembali merebahkan kepala. Beberapa saat kemudian, tangannya terangkat pelan, menepuk meja sebagai kode agar Calista menaruh susu itu di sana.
Calista pun mengangguk patuh. Ia meletakkan susu tersebut di sudut meja Xavier, lalu kembali bangkunya. Sesekali ia melirik diam-diam ke arah pemuda itu yang sudah kembali dalam mimpinya.
"Kenapa orang-orang salah paham sama dia? Padahal Xavier selalu ada buat nolong orang lain..." gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri.
Dari balik jendela, seseorang memperhatikan Calista yang tampak begitu dekat dengan Xavier. Padahal kenyataannya, apa yang ia lihat tak seperti yang sebenarnya terjadi.
"Caper..." desisnya dengan tatapan penuh amarah, kedua tangannya terkepal erat. "Gue bakal kasih pelajaran buat siapa pun yang berani ngerebut Xavier dari gue."
Tak sanggup lagi menahan rasa cemburu, ia pun berbalik pergi dengan wajah yang tegang, menahan emosi yang hampir meledak.
♡♡○♡♡
Saat menunggu taksi, tiba-tiba tangan Calista ditarik seseorang dengan kasar.
"Hey, lepaskan!" seru Calista, berusaha memberontak. Ia menoleh ke sekeliling, berharap ada yang menolong, tapi orang-orang hanya berlalu begitu saja seolah tak peduli.
"Diam, kamu!" bentak seseorang itu. Calista terdiam, tubuhnya kaku. Tangan mungilnya langsung terlepas dengan kasar hingga memerah.
"Aku salah apa sama kamu? Kenapa kamu lakuin ini ke aku?" tanya Calista lirih, mengelus tangannya yang perih.
Bianca menyeringai. "Salah kamu, karena lo sebangku sama Xavier."
"Aku cuman di suruh guru..." jawab Calista polos, suaranya gemetar.
Mendengar itu, Bianca sempat tertegun. Gadis di depannya ini begitu naif. Namun rasanya cemburu menguasai dirinya. "Xavier punya gue! Jadi lo jangan sok dekat-dekat sama dia.
Calista buru-buru menggeleng. "Aku nggak genit sama Xavier... sungguh."
Bianca mendekat, tatapannya tajam. "Pokoknya, lo jangan dekat-dekat sama dia. Xavier itu punya gue."
"I-iya... kami cuman teman sebangku," ucap Calista pelan, menunduk patuh.
Bianca mengerutkan keningnya, lalu terkekeh sinis dalam hati. Patuh juga nih bocah. Bagus, gue gak perlu buang tenaga banyak-banyak.
"Ingat perintah gue," ujar Bianca sambil menudingkan jarinya tepat di wajah Calista, lalu berbalik pergi dengan senyum miring. "Polos banget, gampang dikendalikan."
Dari kejauhan, Alvaro menyaksikan semuanya. Ponselnya sudah merekam kejadian itu sejak awal. "Tuh nenek lampir... gak ada kapoknya juga," gumamnya sambil menggelengkan kepala.
Ia pun berjalan ke arah warung belakang sekolah, tempat Xavier biasa nongkrong.
Dengan wajah serius, ia menaruh ponselnya di meja. "Nih, lihat sendiri," katanya.
Xavier menatap layar tanpa banyak bicara. Vidio itu jelas menunjukkan Bianca menyerang Calista.
"Gak ada kapok-kapoknya tuh cewek. Mana Calista polos banget lagi," komentar Alvaro, sedikit kesal.
Xavier mengulang Vidio itu sekali lagi, sorot matanya mengeras. "Cabut!" ia langsung berdiri.
"Eh, gue belum pesan..." protes Alvaro, tapi Xavier tak menggubris dan melangkah pergi.
Alvaro mendengus, lalu ikut berdiri. "Untung lo sahabat gue. Kalau nggak, udah gue lempar ke kandang buaya!" gerutunya, meski akhirnya tetap mengikuti langkah Xavier.
•○•
"Eh."
Langkah Calista terhenti ketika tiba-tiba tasnya ditahan seseorang. Ia menoleh, mendapat Xavier berdiri dengan tatapan datarnya yang khas.
"Bianca nyamperin lo?" tanya Xavier tanpa basa-basi.
Calista mengangguk pelan. "Iya."
"Dia ngomong apa?" suara Xavier terdengar datar, seolah pura-pura tak tahu padahal sebenarnya ia sudah mengetahui semuanya.
"Katanya aku gak boleh dekat sama kamu... soalnya kamu milik dia," jawab Calista polos.
"Hanya itu?"
"Iya."
Xavier menahan dengusan. "Dia ngancam lo dengan alasan kayak gitu? Lo nggak marah?"
Calista menggeleng kecil. "Nggak... dia kan pacar kamu."
Xavier menatapnya tajam, nadanya meninggi sedikit. "Dia bukan pacar gua. Dan gue nggak minat."
Calista terdiam, lalu menunduk. "Kalau gitu... Aku boleh pergi sekarang?" suaranya pelan, seolah ingin mengakhiri percakapan.
Xavier sempat ingin mengangguk, tapi pandangannya tertahan pada pergelangan tangan Calista yang memar. Seketika ekspresinya mengeras, ia juga menangkap bekas tusukan-tusukan jarum di lengannya.
"Ini kerjaan Bianca?" tanyanya sambil menunjuk memar di pergelangan tangan Calista.
Calista menunduk, lalu mengangguk. "Kalau yang ini, iya." ia kemudian menggeser jarinya ke arah bekas suntikan. "Tapi kalau ini... bukan."
Xavier menahan napas, kedua matanya menajam. "Lo..." Xavier hampir melanjutkan kalimatnya, tapi tatapan polos Calista membuat emosinya langsung mereda.
"Aku sudah jawab. Ada pertanyaan lain? Kalau nggak, aku mau pulang," ucapnya tenang.
Beberapa detik Xavier hanya terdiam. Ada sesuatu di sorot matanya tak sanggup menekan lebih jauh. Akhirnya, genggamannya pada tas itu ia lepaskan perlahan.
"Iya. Pergi saja," katanya singkat.
Calista masuk ke taksi yang sudah menunggu. Xavier hanya bisa berdiri terpaku, menatap hingga mobil itu menjauh. Baru setelah mobil itu melaju, ia berbalik dan pergi meninggalkan tempat dengan rahang yang mengeras.