Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap
Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.
Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.
Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26_Untuk mereka yang tidak pernah berubah.
Belum genap setengah hari sejak Lauren kembali menempati ruang kerjanya, namun lantai pemasaran sudah berubah wajah.
Ruang kerja yang biasanya berjalan dengan ritme santai—bahkan cenderung malas—kini dipenuhi langkah cepat, bisik-bisik tegang, dan suara papan ketik yang tak berhenti. Orang-orang berlalu-lalang membawa map, tablet, dan laptop, keluar masuk ruang rapat kecil yang pintunya nyaris tak pernah tertutup.
Lauren bekerja tanpa banyak kata.
Ia duduk di balik meja kerjanya, layar laptop terbuka, beberapa dokumen tercetak tersusun rapi di sisi kanan. Di dinding belakangnya, papan kaca sudah penuh coretan—diagram strategi, jadwal kampanye, angka-angka yang dilingkari tebal dengan spidol hitam.
“Revisi bagian ini,” katanya pada seorang staf, suaranya datar namun jelas. “Target pasarnya tidak nyambung dengan data kuartal terakhir.”
“Ini ulang,” ucapnya pada yang lain, bahkan tanpa mengangkat wajah. “Presentasinya terlalu panjang, tapi isinya kosong.”
Beberapa orang keluar dari ruangannya dengan wajah pucat, keringat tipis di pelipis meski pendingin ruangan menyala dingin.
Sementara itu, mereka yang memang bekerja dengan sungguh-sungguh—yang selama ini tenggelam oleh sistem yang membiarkan kemalasan—justru duduk tenang di meja masing-masing. Sesekali Lauren menghampiri mereka, berdiri di samping kursi, membaca cepat hasil kerja mereka.
“Ini bagus,” katanya singkat. “Lanjutkan.”
Dua kata itu terdengar sederhana, namun cukup membuat bahu yang tegang kembali lurus.
Tidak ada pujian berlebihan.
Tidak ada basa-basi.
Hanya pengakuan yang jujur.
Di sudut ruangan, beberapa orang yang dulu gemar memperpanjang jam istirahat kini berlarian kecil, membawa berkas yang belum selesai direvisi. Wajah mereka tegang, suara mereka merendah.
“Dia belum berubah sama sekali.”
“Bahkan lebih tegas.”
“Aku dengar dia membatalkan tiga proposal hanya dalam satu jam.”
Lauren memang membatalkan tiga proposal.
Bukan karena ia ingin menunjukkan kuasa, melainkan karena ketiganya memang tidak layak diajukan. Ia memotong rencana kampanye yang terlalu aman, menghapus ide-ide yang meniru pesaing, dan menantang timnya untuk berpikir lebih berani.
“Kalau hanya ingin aman, kita tidak akan maju,” katanya dalam rapat singkat yang ia adakan mendadak. “Saya tidak mencari sempurna. Saya mencari jujur dan bekerja.”
Beberapa orang menunduk. Yang lain mengangguk pelan.
Arga mengamati semua itu dari ruangannya.
Dari balik dinding kaca, ia bisa melihat bagaimana Lauren berdiri di tengah ruangan, menunjuk layar presentasi, menjelaskan sesuatu dengan gestur yang tegas namun tidak berlebihan. Cara bicaranya masih sama—tenang, terstruktur, tanpa emosi yang tidak perlu.
Namun ada satu hal yang berbeda.
Lauren tidak sekali pun melirik ke arah ruang Arga.
Seolah hubungan pribadi mereka telah benar-benar terpisah dari dunia kerja.
Seorang staf senior masuk ke ruang Arga, membawa map tebal. “Pak, Bu Lauren minta revisi strategi wilayah timur. Harus selesai sebelum jam empat.”
Arga mengangguk. “Baik.”
Begitu staf itu pergi, Arga menyandarkan punggung ke kursinya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan tekanan yang dulu selalu ditanggung Lauren sendirian. Ia memahami kini—betapa beratnya menjadi seseorang yang memegang standar tinggi di tengah lingkungan yang terbiasa setengah-setengah.
Menjelang siang, Lauren berdiri dari kursinya. Ia melirik jam tangan, lalu menepuk tangan sekali—tidak keras, tapi cukup untuk menarik perhatian.
“Kita istirahat siang tiga puluh menit,” katanya. “Setelah itu, saya ingin draf final dari semua revisi ada di meja saya.”
Beberapa orang menghela napas lega. Yang lain justru semakin tegang.
Lauren berjalan keluar ruangan, mengambil kopi di pantry. Beberapa pasang mata mengikutinya—campuran antara kagum dan takut.
Hari pertama kerjanya belum genap setengah hari.
Namun satu hal sudah jelas bagi semua orang di lantai itu:
Zaman bekerja asal-asalan telah berakhir.
Lauren Hermansyah telah kembali.
Dan kali ini, ia tidak datang untuk menyesuaikan diri—
melainkan untuk mengatur ulang segalanya.
Pantry kopi terasa lebih sunyi dari biasanya.
Mesin kopi berdengung pelan ketika Lauren menekan tombolnya, aroma pahit yang hangat segera memenuhi udara. Ia menyandarkan pinggul ke meja marmer, menunggu cangkirnya terisi, bahunya tampak rileks untuk pertama kalinya sejak pagi.
Belum sempat ia mengangkat cangkir, langkah kaki mendekat.
“Jadi… rumor itu benar,” suara itu terdengar familiar, nyaris hangat. “Kau benar-benar kembali dan langsung bikin satu lantai ini panik.”
Lauren menoleh.
Maya berdiri di ambang pantry dengan senyum kecil yang tertahan—senyum orang yang sudah terlalu lama menunggu momen ini. Rambutnya masih diikat sederhana, kemeja kerjanya rapi, map tipis tergenggam di dada. Di belakangnya, Vio dan Deran ikut masuk.
Vio mengangkat alis, menyeringai tipis. “Belum makan siang, tapi aku sudah lihat dua orang hampir nangis keluar dari ruanganmu.”
Deran tertawa kecil, menggeleng. “Tiga proposal batal dalam satu jam. Rekor baru.”
Lauren mendengus pelan. “Mereka membatalkan sendiri. Aku cuma bilang tidak layak.”
Maya tertawa kecil, lalu mendekat. Ia menatap Lauren lebih lama dari yang lain—seperti sedang memastikan sesuatu.
“Kau kelihatan…” Maya mencari kata yang tepat. “Masih sama. Tapi juga tidak.”
Lauren mengambil cangkir kopinya, meniup pelan sebelum menyeruput. “Aku tidak ke sini untuk nostalgia.”
Vio menyilangkan tangan. “Syukurlah. Karena kami juga capek menahan sistem yang membiarkan orang malas naik pangkat.”
Deran mengangguk setuju. “Jujur saja, Lauren. Sejak kau pergi, kami bertahan karena kerjaan—bukan karena sistemnya.”
Lauren menatap mereka satu per satu.
Maya. Vio. Deran.
Mereka tidak berubah.
Wajah mereka mungkin sedikit lebih lelah, lingkar mata sedikit lebih dalam, tapi sorot mata itu masih sama—fokus, jujur, dan penuh tanggung jawab. Mereka tetap datang pagi, tetap menyelesaikan pekerjaan tanpa drama, tetap diam ketika ide mereka dicuri orang lain.
Lauren menaruh cangkirnya perlahan. “Aku tahu.”
Nada suaranya rendah, tapi penuh makna.
“Aku lihat laporan kalian sebelum aku resmi masuk,” lanjutnya. “Kalian konsisten. Bahkan saat tidak ada yang memperhatikan.”
Deran tersenyum kecil, agak canggung. “Itu karena kami percaya kerja yang benar pada akhirnya akan ketemu tempatnya.”
Vio mengangguk. “Dan karena kami tahu, suatu hari, kau mungkin akan kembali.”
Hening sejenak.
Bukan hening yang canggung, melainkan hening yang penuh pengakuan diam-diam.
Maya melangkah lebih dekat, menurunkan suaranya. “Kami senang kau kembali, Lauren. Tapi kami juga ingin tahu… kau baik-baik saja?”
Pertanyaan itu tidak berbunyi seperti rekan kerja.
Itu suara seorang teman lama.
Lauren menghela napas perlahan. Untuk sesaat, wajahnya melembut. “Aku… sedang belajar berdiri lagi.”
Maya tidak mendesak. Ia hanya mengangguk, mengerti.
“Kalau begitu,” kata Vio, menepuk meja ringan, “kami di sini. Bukan cuma sebagai tim. Tapi sebagai orang-orang yang masih percaya caramu.”
Deran tersenyum. “Dan jangan khawatir. Kami tidak takut direvisi.”
Lauren terkekeh kecil—senyum yang tipis, tapi tulus. “Bagus. Karena aku akan banyak merevisi.”
Mereka tertawa pelan bersama.
Di luar pantry, kantor masih sibuk—orang-orang berlarian, laporan dicetak ulang, presentasi dirombak. Namun di dalam ruang kecil itu, ada sesuatu yang terasa stabil.
Lauren menegakkan bahunya. “Habis istirahat, aku mau kalian bertiga ikut rapat strategi. Aku ingin tim yang bekerja karena kompetensi, bukan karena jabatan.”
Mata Vio berbinar. “Akhirnya.”
Maya mengangguk mantap. “Seperti dulu.”
Deran mengangkat cangkir kopinya. “Untuk kerja yang jujur.”
Lauren mengangkat cangkirnya sedikit. “Dan untuk mereka yang tidak pernah berubah.”
Mereka minum dalam diam, masing-masing tenggelam dalam keyakinan yang sama.
Lauren Hermansyah mungkin telah kembali sebagai ketua pemasaran—
tetapi yang benar-benar kembali bersamanya adalah budaya kerja yang selama ini mereka jaga sendirian.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama,
Lauren tidak merasa sendirian di medan ini.
Anyway, semangat Kak.👍