Hai hai ... hadir nih spin offl dari "mendadak papa" kali ini aku jadiin Kevin sebagai tokoh utama. Selamat membaca
Gara-gara nggak mau dijodohin sama cowok sok ganteng bernama Sion, Aruntala nekat narik tangan seorang pelayan café dan ngumumin ke seluruh dunia—
“Ini pacar gue! Kami udah mau tunangan!”
Masalahnya... cowok itu cuma menatap datar.
Diam.
Nggak nyaut sepatah kata pun.
Dan Aruntala baru sadar, pria itu tuna wicara. 😭
Malu? Jelas.
Tapi sialnya, malah keterusan.
Aruntala balik lagi ke café itu, memohon ke si barista pendiam buat pura-pura jadi pacarnya biar Mama tirinya nggak bisa menjodohkannya lagi.
Cowok itu akhirnya setuju — karena nggak tahan sama ocehan Aruntala yang nggak ada titik koma.
Yang Aruntala nggak tahu, pria random itu bukan sekadar barista biasa...
Dia adalah Kevin Prasetyo, pemilik café sekaligus pemegang saham besar di perusahaan ayahnya sendiri!
Berawal dari kebohongan kecil, hubungan mereka pelan-pelan tumbuh jadi sesuatu yang lebih nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan dibawah hujan
Kertas itu mendarat tanpa suara di lantai kafe yang dingin, sebuah bendera putih yang menandai akhir dari sebuah perang yang bahkan tidak Aru sadari sedang ia perjuangkan.
Gema pintu yang dibanting adalah satu-satunya jawaban, satu-satunya suara yang tersisa di tengah keheningan yang kini terasa memuakkan. Untuk sesaat, Kevin hanya bisa terpaku, napasnya tercekat, menatap kertas vonisnya yang tergeletak di antara serpihan dunianya yang baru saja hancur.
“Tuan… Tuan Kevin?” suara Riko bergetar, penuh penyesalan.
Namun, Kevin tidak mendengarnya. Raungan di dalam kepalanya jauh lebih bising daripada teriakan apa pun. Dunianya, pusat gravitasinya yang berisik dan berwarna merah jambu, baru saja lari keluar dari orbit. Tanpa berpikir, tanpa menimbang, ia melesat dari kursinya, mendorong meja hingga cangkir kopi berjatuhan dengan bunyi yang memekakkan. Ia tidak peduli. Ia menerobos pintu, menyongsong malam yang tiba-tiba telah memutuskan untuk menangis bersamanya.
Hujan turun dengan deras, bukan gerimis romantis, melainkan serangan bertubi-tubi yang mengubah jalanan menjadi cermin hitam yang pecah. Di seberang jalan, ia melihatnya. Sosok Aru yang berlari tanpa arah, rambut merah mudanya yang basah kuyup menempel di wajahnya, bahunya bergetar hebat.
“ARU!”
Suara itu keluar dari tenggorokannya, serak dan putus asa. Ini adalah pertama kalinya ia meneriakkan nama itu. Dan nama itu terdengar seperti sebuah doa yang terkoyak.
Aru berhenti mendadak seolah punggungnya baru saja ditembak. Perlahan, ia berbalik. Wajahnya basah, mustahil untuk membedakan mana air hujan dan mana air mata. Di bawah cahaya lampu jalan yang redup, matanya menyala dengan api pengkhianatan yang membara.
Kevin berlari menyeberang, tidak peduli pada klakson mobil yang melengking marah. Ia berhenti beberapa langkah di depan Aru, dadanya naik-turun, air hujan menetes dari ujung rambutnya.
“Aru, tolong… dengerin aku dulu.”
“Dengerin?” Aru tertawa, suara tawanya terdengar seperti pecahan kaca.
“LUCU BANGET ITU KELUAR DARI MULUT KAMU, KEVIN! LUCU BANGET!”
Ia melangkah maju, menunjuk dada Kevin dengan jari telunjuk yang gemetar.
“Selama ini aku ngomong apa? Aku curhat apa? Aku numpahin semua sampah di kepala aku, semua ketakutan aku soal kesepian, soal ditinggalin… aku tumpahin semuanya ke kamu! Aku pikir… aku pikir keheningan kamu itu aman. Aku pikir kamu beneran ngedengerin!”
“Aku memang dengerin, Aru! Setiap kata!” balas Kevin, suaranya parau, berjuang melawan deru hujan.
“BOHONG!” pekik Aru, suaranya pecah.
“Kamu nggak dengerin! Kamu nonton! Aku ini kayak tontonan buat kamu, kan? Seekor ikan bodoh di dalam akuarium yang nggak sadar kalau di luar sana ada orang yang ngetawain! Kamu lihat semua luka aku, semua kelemahan aku, sementara kamu… kamu sembunyi di balik topeng orang cacatmu itu!”
Kata ‘cacat’ yang pernah ia bela mati-matian di hadapan Nadira, kini ia lemparkan sendiri ke wajah Kevin seperti asam sulfat.
Hati Kevin terasa seperti diremas.
“Itu bukan topeng, Aru. Itu… pertahanan diriku.”
“Pertahanan diri dari apa?!” tantang Aru.
“Dari cewek berisik yang terlalu bodoh buat sadar kalau dia lagi dibohongin? Kamu sengaja, kan? Kamu pakai kelemahan palsu kamu itu biar aku kasihan! Biar aku ngerasa jadi pahlawan yang bisa jadi suaramu! Padahal kenyataannya? Kamu CEO! Kamu punya kuasa! Kamu punya suara! Kamu punya segalanya buat ngelawan mereka, tapi kamu biarin aku teriak-teriak kayak orang gila buat belain kamu!”
Setiap kalimat adalah sebuah tamparan yang lebih keras dari kertas notes tadi.
“Itu nggak seperti itu!” Kevin mencoba meraih lengan Aru, tapi Aru menepisnya dengan kasar.
“Terus seperti apa?!” seru Aru, air matanya kini mengalir deras bersama hujan.
“Jelasin ke aku, Kev! Jelasin gimana rasanya dengerin aku cerita soal trauma aku ditinggal Ibu, sementara kamu sendiri punya rahasia segede ini! Jelasin gimana rasanya lihat aku panik mikirin cara kamu ngebela diri di depan Ayah, padahal kamu baru aja ngebantai mereka semua di ruang rapat pake suaramu yang berkuasa itu! Jelasin ke aku, bagian mana dari semua ini yang bukan kebohongan?!”
Kevin menatapnya, putus asa. Bagaimana cara menjelaskan trauma yang telah membekukannya selama lima belas tahun dalam satu malam hujan? Bagaimana cara merangkai kata saat badai di hadapannya jauh lebih menakutkan daripada badai di masa lalunya?
“Waktu aku kecil…” ia memulai, suaranya bergetar.
“Ada kecelakaan. Ayahku… ada banyak teriakan, banyak suara. Sejak itu… suara jadi musuhku. Diam jadi satu-satunya tempat aku bisa napas.”
Ia menatap Aru lekat-lekat, memohon pengertian dengan seluruh jiwanya.
“Aku nggak pernah niat bohongin kamu. Awalnya, itu cuma kebiasaan. Tapi sama kamu… keheningan itu jadi beda. Aku takut, Aru. Aku takut kalau aku bicara, kamu bakal pergi. Kamu bakal lihat aku sebagai orang lain, bukan Kevin yang kamu kenal.”
Untuk sesaat, keheningan tercipta di antara mereka, hanya diisi oleh suara hujan yang menghantam aspal. Aru menatapnya, ekspresinya tidak terbaca. Harapan kecil mulai menyala di dada Kevin. Mungkin… mungkin Aru bisa mengerti.
Lalu Aru tersenyum. Senyum yang paling dingin dan paling menyakitkan yang pernah Kevin lihat.
“Jadi, trauma?” desis Aru.
“Trauma kamu ngasih kamu hak buat jadiin aku bahan percobaan? Buat jadiin perasaan aku mainan? Kamu tahu apa yang lebih buruk dari ditinggalin, Kev? Dikhianati. Dibuat percaya sama sesuatu yang ternyata cuma ilusi.”
Ia mengambil satu langkah mundur, menciptakan jarak yang terasa seperti jurang di antara mereka.
“Hubungan palsu kita, perjanjian kita, semuanya… sekarang resmi selesai. Nggak ada lagi yang pura-pura.” Matanya yang tadi berkobar kini meredup menjadi abu yang dingin.
“Aku nggak akan jadi suaramu lagi. Dan kamu… kamu nggak perlu lagi pura-pura jadi pendengarku.”
Ia berbalik, punggungnya adalah pernyataan akhir yang tak terbantahkan.
“Aru, jangan…” bisik Kevin, suaranya nyaris hilang ditelan hujan. Kepanikan yang dingin mencengkeramnya. Ia tidak bisa membiarkannya pergi seperti ini. Tidak setelah semua ini.
Aru terus berjalan, setiap langkah membawanya semakin jauh ke dalam kegelapan malam.
“ARUNTALA, TUNGGU!” teriak Kevin, mengerahkan seluruh sisa tenaganya. Suaranya pecah, sebuah raungan penuh luka dari dasar jiwanya.
Aru berhenti lagi, tapi kali ini ia tidak menoleh. Bahunya hanya menegang sesaat.
“Selamat tinggal, Kevin,” ucapnya pelan, suaranya begitu lirih hingga hampir tersapu angin, namun bagi Kevin, itu terdengar seperti lonceng kematian.
Dan ia pun melanjutkan langkahnya, menghilang di balik tirai hujan yang kelabu, meninggalkan Kevin yang berdiri mematung di tengah jalan.
Hancur.
Sendirian.
Hujan membasahi wajahnya, menyamarkan air mata yang akhirnya jatuh tanpa bisa ia bendung. Ia membuka mulutnya, ingin meneriakkan sejuta penjelasan, sejuta permintaan maaf, sejuta kata cinta yang selama ini ia simpan rapat-rapat di balik benteng keheningannya. Namun, yang keluar hanyalah desahan serak yang menyakitkan. Tenggorokannya terasa seperti terbakar, bukan karena lama tak digunakan, tapi karena kata-kata yang ingin ia sampaikan terlalu berat untuk diucapkan.