NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:147
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 26

Dari ruang TV, cahaya hangat lampu jatuh ke dinding, membingkai siluet dua orang yang baru saja menyelesaikan makan malam mereka. Yang satu sudah siap di balik gorden jendela depan sambil mengintip keluar. Yang satu lagi baru selesai mengenakan jaket dan mengambil kunci di gantungan.

“Darren?” ujar gadis yang sedari tadi mengintip keluar.

“Hm?”

“Kamu ada tamu?”

“Nggak. Kenapa?”

Viena menunjuk ke luar, sedikit ragu. “Itu, ada mobil di depan.”

Darren mendekat, berdiri di sampingnya. Sekilas ia melirik ke luar dan memang benar, ada mobil sedan hitam di seberang jalan.

“Bukan tamuku,” ujarnya tenang, netral. Tidak menunjukkan tanda kaget atau waspada, bahkan sekadar kerutan di dahinya pun tidak ada.

“Oh.” Viena buru-buru menurunkan pandangan, merasa bodoh karena sudah curiga. “Kupikir mungkin ada urusan kerjaan atau—”

“Nggak ada,” sela Darren dengan lirih lantaran menyesuaikan suaranya dengan Viena. Walau begitu, pemuda itu tetap memandang ke luar sejenak, lalu menutup gorden kembali. “Paling tamu tetangga.”

Entah kenapa, justru ketenangan itulah yang membuat Viena terdiam lebih lama. Ia tahu Darren tidak sedang berbohong, tapi sesuatu dalam sorot matanya seperti sedang menimbang sesuatu yang tidak ingin ia bicarakan.

“Kamu yakin nggak apa-apa?” tanyanya ragu.

“Yakin,” jawab Darren. Lalu, menaruh kembali kunci mobil di gantungan dekat pintu, “Kamu nginep sini aja malam ini.”

“Hah?” Jelas, Viena spontan menatapnya.

“Udah malam, hawanya dingin. Aku males kalau nganter kamu pulang terus besok malah flu,” katanya datar, santai, seolah itu keputusan paling logis. “Kos kamu juga jauh dari sini, kan?”

“Cuma dua puluh menit naik mobil,” gumam Viena. “Tapi aku kan bisa pulang sendiri naik—"

“Dua belas menit itu cukup buat masuk angin kalau nekat di tengah udara kayak gini walaupun pakai mobil.”

“Dua puluh.”

“Nah iya, maksudku itu.”

“Darren… .”

“Pokoknya besok pagi aku yang anterin. Sekalian mampir ke studio. Biar efisien.”

Pemuda Aksantara tersenyum tipis, tapi pandangan matanya tetap tidak bisa ditebak. Ada sesuatu di balik tenang itu, bukan rasa ingin memiliki, tapi semacam naluri melindungi yang terlalu misterius untuk dijelaskan.

Bagaimanapun juga Viena akhirnya mengangguk. Setelah membayangkan betapa Sita ingin memukulnya karena ketahuan tidur di rumah seorang cowok yang belum ia kenal lama. “Ya udah.” Di sini, sungguh Viena memilih jalur paling aman. Dia gak mau berdebat tengah malam, itu hanya memperburuk situasi.

Kini, dirinya sedang mengikuti Darren lewat lorong belakang seperti anak bebek yang mengikuti ibunya. Lampu temaram di langit-langit menyorot punggung pria yang tampak lebih tinggi dari biasanya. Tidak ada foto atau lukisan apapun di dinding rumahnya, bahkan benda-benda yang biasa ada di rumah, berserakan di atas maja, di bufet, di sini sangat minim sekali.

“Kamar tamu di sebelah kanan. Aku nyiapin buat Arven waktu itu, tapi dia malah tidur di sofa.”

“Arven kan emang aneh,” seloroh Viena kala rasa canggung membakar seisi tubuhnya. “Aneh semua sih, temen kamu.”

Darren menoleh sebentar, ekspresinya terbilang serius. “Iya, tapi kamarnya tetap rapi. Jadi kamu bisa langsung tidur.”

Cat krem, kasur dengan dua bantal dan berselimut serba putih, ada pula meja kecil di sisi kanan-kirinya dengan lampu tidur berbentuk kubus. Layaknya kamar hotel.

“Kalau ada apa-apa, panggil aja. Aku masih di ruang TV.”

“Makasih.”

Setelah Darren keluar, Viena menutup pintu pelan-pelan. Keheningan menelan seluruh ruangan tanpa permisi, menyisakan dengung AC yang entah kenapa Viena mulai terbiasa dengan cara Darren hidup melawan hawa dingin. Gadis itu duduk di tepi kasur, memandangi ruangan itu. Ia masih bisa mencium samar aroma sabun cair dari seprai yang baru dicuci.

Setelah berpindah untuk mencari posisi paling nyaman di atas kasur, Viena menarik lutut ke dada beserta selimutnya, menatap kosong ke dinding.

Belum tiga bulan sejak malam itu, malam ketika dirinya salah masuk mobil, salah paham, salah langkah, malu setengah mati.

Belum tiga bulan sejak pesta ulang tahun adik tercinta Darren, tempat ia bersembunyi di balik pilar karena takut kamera wartawan menangkap wajahnya, ataupun ketika memendam panik kala Darren beradu dengan kakaknya.

Belum tiga bulan pula sejak hari pertama ia kerja di studio Midnight Alter. Awalnya hanya sebagai pelengkap studio, kini berubah menjadi seorang penyanyi baru yang sedang ditempa oleh orang-orang yang bagaimana ceritanya sangat peduli padanya padahal dia tahu, jika selama ini dia berlindung dibalik identitas palsu.

Geli mengingat Darren menolak melihat wajah aslinya tanpa kacamata bundar. Viena melepasnya, pandangannya tidak kabur sama sekali, cowok itu memang aneh. Punya band gak ngerti musik. Aneh banget. Tapi nyatanya dia tidur di tempat ini. Seumur hidupnya Viena belum pernah melakukan hal yang menurutnya jauh lebih gila dari ini. Namun dia tertawa di sepanjang momen yang mereka miliki meski tidak harus memperlihatkannya pada Darren.

Ia bangkit, berjalan ke jendela. Hujan mulai mereda, tapi kabut tipis menggantung di udara. Daun bergerak seiring tiupan angin, membentuk setiap bayangan di dinding taman belakang, menghangatkan suasana.

“Kenapa rasanya gak seperti yang kubayangkan waktu kecil… ,” bisiknya. “Padahal ini impian yang dulu kupeluk tiap malem.”

Gadis itu menatap meja kecil di sisi kasur. Ponselnya bergetar bukan karena notifikasi baru, melainkan karena baterai hampir habis. Di sana masih tersimpan panggilan terakhir dari Bagas, kakaknya, beberapa bulan lalu.

Viena menatap nama itu lama, lalu mematikan layar.

“Baguslah kalian udah capek nyari aku,” gumamnya getir. “Sekarang aku bebas.”

Kata bebas itu terasa asing di lidahnya, tapi hangat di dada.

Kini Viena kembali ke kasur setelah mematikan lampu terakhir, menarik selimut sampai ke dagu, matanya menatap langit-langit yang kini sudah hampir tak terlihat lagi.

Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa tenang, meski jujur di dalam ketenangan itu, detak jantungnya masih belum bisa memutus bayangan seorang Darren Myles Aksantara. “Kamu belum lihat wajah asliku, bahkan sampai sekarang. Tolong jangan biarin aku bertahan di dalam kebohongan ini terus menerus, aku juga mau kamu kenal siapa aku yang sebenarnya.”

“Egois.”

Pagi itu datang dengan aroma roti tawar panggang yang samar-samar merambat dari dapur, menembus celah pintu kamar yang masih tertutup. Viena menggeliat di balik selimut, lalu menarik napas panjang. Sinar matahari menelusup lewat tirai yang belum sepenuhnya tertutup, menimpa pipinya yang kini hangat setelah tidur panjang.

Ia membuka mata perlahan, lalu menguap layaknya dinosaurus. “Jam berapa ini… ?”

Otot-ototnya terasa berat, seperti sisa hari kemarin belum benar-benar pulih. Gadis itu bangkit dari duduk, merenggangkan tangan tinggi-tinggi sampai bahunya berbunyi, lalu beranjak turun dari kasur.

Langkahnya terhuyung menuju pintu, sambil satu tangan mengucek mata dan satu lagi menahan udara yang masuk saat dia menguap lebar, lagi. Di pikirannya hanya satu hal, yaitu cuci muka. Baru setelah itu mungkin segelas air, atau apapun yang bisa mengembalikan tenaganya.

Namun begitu gagang pintu diputar dan pintu terbuka,

Darren berdiri tepat di hadapannya.

Wajahnya dekat sekali terlalu dekat untuk ukuran dua orang yang baru bangun pagi, Darren melihat puncak kepala gadis itu sementara Viena hanya melihat lebar dada laki-laki itu. Rambutnya masih agak berantakan, kaus hitamnya longgar, dan di tangan kirinya ia membawa mug kopi. Sementara tangan kanan masih terangkat sedikit, seolah hendak mengetuk pintu beberapa detik lalu.

“Baru bangun?”

Viena refleks mundur setengah langkah, jantungnya seperti menabrak rusuk. “A-aku…” ia menunduk cepat, tangan spontan menutup wajah. “Belum cuci muka.”

Darren cuma diam, tidak bergerak, tidak bicara lagi. Hanya memandangi. Tatapannya seperti sedang mencoba mengenali sesuatu yang sudah lama ia lihat, tapi belum pernah benar-benar disadari.

Sementara Viena masih menunduk, mencoba menertawakan kecanggungannya. “Kamu ngapain berdiri di depan kamar orang pagi-pagi gini… ,” ucapnya gugup, tangannya perlahan turun dari wajah. “Aku kira kamu—”

Kalimatnya berhenti di tengah jalan.

Karena ketika ia akhirnya mendongak, ia sadar kalau Darren masih menatapnya. Tapi bukan sekadar menatap. Pandangan itu menelusuri wajahnya.

Viena menelan ludah, mencoba mencari alasan, tapi otaknya malah berhenti. “Eh, kacamataku… ,” bisiknya, tangannya terangkat ke sisi wajah lalu menoleh ke meja kecil di belakang, tempat kacamata itu biasanya diletakkan. Sialnya benda itu masih duduk manis di atas sana.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!