Berkali-kali dikhianati membuat Marwah mengalami trauma, dia tidak mau menjalin hubungan dengan pria mana pun juga. Hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pengusaha berkedok ustaz yang sedang mencari orang untuk mengurus ibunya.
Nahyan ternyata tidak jauh berbeda dengan Marwah. Keduanya tidak beruntung dalam hal percintaan.
Akankah Allah menjodohkan mereka berdua dan saling mengobati luka satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon poppy susan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23 Kegilaan Iwan
Selesai makan siang, Nahyan ngobrol bersama Dadang di teras rumah. Sedangkan Marwah membantu Ani membersihkan bekas makan mereka, dan Nazwa memilih masuk ke dalam kamarnya menemani Namira yang tidur siang.
"Ustaz, maaf apa Bapak boleh tanya?" seru Pak Dadang.
"Boleh Pak, mau tanya apa?" tanya Nahyan.
"Apa Ustaz sudah punya calon?" tanya Pak Dadang.
Nahyan kaget dengan pertanyaan Dadang, tapi dia berusaha bersikap tenang dan tersenyum. "Belum Pak, Allah belum mempertemukan saya dengan jodoh saya," sahut Nahyan dengan kekehannya.
"Padahal Ustaz begitu sempurna, tapi kenapa belum punya calon juga," canda Pak Dadang.
"Jangan bilang seperti itu Pak, kesempurnaan itu hanya milik Allah saja, saya hanya manusia biasa yang banyak dosa dan tidak pantas disebut seperti itu," sahut Nahyan.
"Marwah, kamu antarkan kopi buat Ustaz dan juga Bapak," ucap Bu Ani.
"Baik, Bu."
Marwah membuat dua cangkir kopi, setelah selesai dia pun segera mengantarkan kopi itu. Namun, langkahnya terhenti saat Marwah mendengar pembicaraan antara Nahyan dan juga Bapaknya. "Apa Ustaz punya kriteria khusus bagi calon istri Ustaz?" tanya Pak Dadang.
Nahyan tersenyum. "Tidak ada, saya hanya percaya kepada Allah saja. Saya yakin jika sudah berjodoh, maka Allah akan mempertemukan calon istri saya di waktu yang tidak disangka-sangka," sahut Nahyan.
Marwah yang mendengar jawaban Nahyan tersenyum. Dia pun segera keluar dan menyuguhkan kopi untuk Nahyan dan Bapaknya. Marwah hendak pergi, tapi Dadang dengan cepat menahan putri sulungnya itu.
"Duduk di sini," ucap Pak Dadang.
"Ada apa Pak? Marwah masih banyak kerjaan," seru Marwah membuat alasan.
"Sebentar, Bapak ingin menanyakan sesuatu kepada Ustaz. Ustaz, apa Ustaz punya teman yang baik? Bapak ingin menjodohkan Marwah, kali aja Ustaz punya teman yang baik," seru Pak Dadang penuh harap.
"Ya, Allah kok Bapak ngomong seperti itu sih?" kesal Marwah dengan menahan malu.
"Bagaimana Ustaz?" tanya Pak Dadang.
"Kenapa Bapak gak jodohkan Marwah dengan saya saja? kenapa mesti dijodohkan dengan teman saya?" ucap Nahyan dengan senyumannya.
Deg....
Untuk sesaat Marwah merasa jantungnya berhenti untuk beberapa detik begitu pun dengan Dadang. Tapi seketika Nahyan terkekeh dan tertawa kecil. "Saya cuma bercanda Pak, saya tidak akan pernah memaksakan kehendak siapa pun. Allah sudah mengatur jodoh setiap manusia masing-masing jadi tidak akan salah lagi kalau masalah jodoh," ucap Nahyan.
Dadang dan Marwah pun tersenyum kecil, bahkan Marwah sampai belum bisa bernapas dengan lega akibat ucapan Nahyan itu. Nahyan melirik ke arah Marwah dengan senyuman penuh arti. Sebenarnya itu memang ucapan yang datang dari hati Nahyan tapi dia tidak mau sampai memaksa Marwah dan membuat Marwah takut kepadanya.
Biarlah semuanya mengalir apa adanya, karena Nahyan tidak mau ada pemaksaan dalam hal perasaan. Dia berpikir, kalau seandainya dia berjodoh dengan Marwah maka semua itu akan mencari jalannya sendiri tanpa harus dipaksa. Biarlah jalur langit yang menjadi jawaban semuanya.
"Ustaz, untuk malam ini lebih baik Ustaz menginap saja di sini," tawar Pak Dadang.
"Iya, Ustaz. Sudah sore, kalau pulang ke Jakarta nanti kemalaman takut ada apa-apa di jalan," sambung Bu Ani.
Akhirnya dengan terpaksa Nahyan pun menerima tawaran itu karena memang kondisi Nahyan pun sedang sangat kelelahan. Malam pun tiba, selesai shalat isya berjamaah dan makan malam bersama-sama, Nahyan duduk di teras sendirian sembari mengotak-atik ponselnya. Marwah dengan ragu-ragu menghampiri Nahyan.
"Assalamualaikum, Ustaz."
"Waalaikumsalam."
"Kenapa Ustaz di luar? kenapa tidak dalam saja?" tanya Marwah.
"Ini, aku sedang menghubungi rumah takutnya Mama khawatir aku tidak pulang," sahut Nahyan.
Marwah terdiam, sedangkan Nahyan menghela napasnya. "Marwah, kamu akan kembali ikut ke Jakarta 'kan denganku?" tanya Nahyan.
"Memangnya kenapa? Ibu baik-baik saja 'kan Ustaz?" seru Marwah.
"Mama baik-baik saja, tapi tadi ia tidak mau berangkat terapi karena tidak ada kamu. Marwah, kamu adalah orang pertama yang berhasil meluluhkan hati Mama bahkan Mama sampai mau di terapi lagi itu merupakan keajaiban yang luar biasa. Aku berharap kamu mau ikut kembali bersama aku ke Jakarta, bahkan kalau kamu mau semua keluarga kamu bisa kamu bawa ke Jakarta nanti masalah tempat tinggal biar aku yang urus," ucap Nahyan.
Marwah membelalakkan matanya. Padahal niat dia menghampiri Nahyan karena dia ingin meminta izin untuk tidak bekerja dulu beberapa hari ke depan tapi mendengar ucapan Nahyan membuat Marwah tidak tega dan merasa sangat kasihan. Marwah tidak bisa menolak tawaran Nahyan, tapi untuk saat ini dia ingin sekali menetap dulu dengan keluarganya.
"Kalau kamu tidak mau juga tidak apa-apa, aku tidak berhak untuk memaksa kamu," ucap Nahyan.
"Besok aku ikut ke Jakarta kok Ustaz, tapi aku juga masih khawatir dengan keluarga aku takutnya Kang Iwan datang ke sini lagi dan membuat onar saat aku tidak ada," sahut Marwah.
"Ah iya, kenapa orang suruhanku belum menghubungi aku," gumam Nahyan.
Nahyan mencoba menghubungi anak buahnya tapi dengan sangat cepat seseorang masuk ke rumah Marwah dan menarik Marwah membuat Nahyan kaget. Kejadiannya sangat cepat, ternyata Iwan dari tadi sudah memantau rumah Marwah dan pada saat sedang lengah, Iwan berlari masuk ke halaman rumah itu dan menyekap Marwah. Iwan menyimpan pisau di leher Marwah.
"Astaghfirullah, lepaskan Marwah!" teriak Nahyan.
Mendengar teriakan, Dadang, Ani, dan Nazwa keluar sedangkan Namira sudah tidur. "Astaghfirullah Kang, apa yang Akang lakukan? lepaskan Teteh!" teriak Nazwa.
"Jangan macam-macam kamu, Iwan!" geram Pak Dadang.
"Jangan mendekat, atau Marwah akan mati di tanganku," ancam Iwan.
"Mau kamu apa?" tanya Marwah dengan bibir yang bergetar.
"Akang hanya ingin kamu menikah dengan Akang dan Akang yakin kita akan hidup bahagia," sahut Iwan.
"Akang keterlaluan! salah aku apa Kang? kenapa Akang begitu kejam kepadaku?" teriak Nazwa histeris.
Secara diam-diam Nahyan menghubungi Polisi. "Tidak, aku sudah bosan hidup dengan wanita yang tidak bisa apa-apa. Kamu itu hanya menjadi beban, tidak pernah masak dan mengurus suami dengan baik. Berbeda halnya dengan Marwah, dia wanita sempurna dan aku menyesal sudah menyakiti Marwah dulu," sahut Iwan.
"Kalau kamu menginginkan menikah dengan Marwah, kenapa sekarang kamu malah menyakiti Marwah?" tanya Nahyan dingin.
"Karena aku yakin jika kalian tidak akan membiarkan aku menikahi Marwah, maka dari itu lebih baik aku dan Marwah mati dari pada aku gagal menikah dengan Marwah," sahut Iwan.
Kali ini Iwan sudah sangat gila, dia kehilangan kewarasan. Nazwa berlari dan berusaha merebut pisau yang dibawa Iwan membuat semua orang kaget. "Astaghfirullah, Nazwa!" teriak Bu Ani.
"Lepaskan Teteh, sampai kapan pun Teteh tidak akan mau menikah denganmu, Kang!" teriak Nazwa sembari berusaha merebut pisau yang dipegang Iwan.
"Tidak, Akang sudah muak hidup denganmu!" bentak Iwan.
Nahyan tidak bisa diam saja, dia pun ikut menolong Nazwa dan Marwah. "Istighfar kamu, atau kamu akan menyesal!" ancam Nahyan.
"Kenapa kamu selalu ada di dekat Marwah? apa kamu ada niat terselubung?" tanya Iwan dengan geramnya.
"Aku bukan orang picik seperti kamu, yang jelas aku ada di sini karena aku ingin menjaga Marwah dan keluarganya," sahut Nahyan.
"Kurang ajar!" geram Iwan.
Iwan pun menggerakan tangannya, dan dengan cepat pisau itu menancap membuat semua orang menjerit. "Astaghfirullah."