NovelToon NovelToon
Hingga Aku Tak Lagi Menunggu

Hingga Aku Tak Lagi Menunggu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Wanita Karir / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Nclyaa

Asha, seorang gadis muda yang tulus mengabdikan diri di sebuah rumah Qur'an, tak pernah menyangka bahwa langkah ikhlasnya akan terseret dalam pusaran fitnah. Ia menjadi sasaran gosip keji, disebut-sebut memiliki hubungan gelap dengan ketua yayasan tempatnya mengajar. Padahal, semua itu tidak benar. Hatinya telah digenggam oleh seorang pemuda yang berjanji akan menikahinya. Namun waktu berlalu, dan janji itu tak kunjung ditepati.

Di tengah kesendirian dan tatapan sinis masyarakat, Asha tetap menggenggam sabar, meski fitnah demi fitnah kian menyesakkan. Mampukah ia membuktikan kebenaran di balik diamnya? Atau justru namanya akan terus diingat sebagai sumber aib yang tak pernah ia lakukan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nclyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hilang dalam penantian

Setelah obrolan panjang dengan wali santri tadi, Asha segera berjalan kearah meja prasmanan. Kebetulan acara ijab qobul sudah selesai, dan sekarang sudah masuk resepsi. Ia mengambil beberapa menu favorit, dan satu cup eskrim favoritnya dan kedua sahabatnya itu. Setelah merasa cukup, Asha pun kembali ke kursi tempat ia duduk tadi.

Ia tak melihat Afkar duduk disana, karena seingatnya tadi para pengajar laki-laki sudah kembali ke tempat khusus untuk mereka yang disediakan di luar area akad.

"Padahal aku cuman iseng bilang eskrim ini harus ada, eh beneran dimasukin ke list menu dessert." gumam Asha saat menikmati eskrim yang ia ambil tadi setelah memakan hidangan lainnya.

2 jam berlalu, kini waktunya para pengantin beristirahat. Dan Asha pun bersiap untuk melakukan perjalanan panjang lagi, ia tengah merapikan hijab dan beberapa perlengkapan yang ia cek kembali sebelum kembali melakukan perjalanan.

Namun saat dirinya hendak bangkit dari duduknya, tiba-tiba ia dipanggil oleh seseorang yang duduk di sampingnya tadi.

"Ustadzah Asha," ucapnya lirih, suaranya serak seperti menahan sesuatu yang lama disimpan. Ia kemudian mengambil kursi untuk duduk.

"Labaik," jawab Asha cukup terkejut.

Afkar duduk sedikit lebih dekat, kedua tangannya bertaut di atas meja, seakan mencari sandaran dari resah yang berputar di dadanya. Matanya sempat menatap Asha sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan, takut jika tatapannya terlalu dalam dan membuat gadis itu salah mengartikan. Ada jeda yang panjang, hanya riuh suara sekitar yang terdengar.

Afkar menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

"Ana mau menyampaikan beberapa unek-unek yang selama ini mau ana sampaikan ke anti." katanya.

"Na'am Tafadhol," jawab Asha mempersilahkan Afkar mengatakannya.

"Sebelumnya maaf harus disampaikan di suasana begini, karena ana gak tau kapan lagi bisa ngobrol secara langsung sama anti."

"Laa ba'sa," ujar Asha ramah.

"Ana tau, menunggu itu gak mudah. Setiap hari ana belajar sabar, ada khawatir kalau-kalau waktunya gak berpihak sama kita. Tapi ana percaya, Allah lagi nyiapin waktu yang terbaik buat kita." terang Afkar dengan meremat kedua jari-jari tangannya.

Asha menunduk kembali, kedua tangannya ia peluk di pangkuan. Ia bisa merasakan ketulusan dari nada suara Afkar, dan itu membuat pipinya perlahan memanas.

Afkar mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya menurun, seolah hanya ingin terdengar oleh Asha seorang.

"Kalo nanti ana mulai goyah, ana minta tolong sertakan nama ana dalam doa ustadzah Asha. Doakan supaya ana tetep kuat jaga niat ini, supaya ana gak capek nunggu hari di mana ana bisa benar-benar menghalalkan ustadzah Asha." sambungnya dengan serius.

Mata Asha bergetar, ia menggigit pelan bibir bawahnya. Hatinya diliputi rasa haru yang sulit ia bendung.

Afkar tersenyum tipis, tapi ada keseriusan yang dalam di balik sorot matanya.

"Dan satu lagi, meski ana belum resmi menjadi calon ustadzah Asha, ana minta tolong jangan buka hati ustadzah Asha untuk lamaran siapa pun selain ana. Bukan karena ana mau membatasi pergerakan anti, tapi karena ana mau menjaga janji yang sudah terpatri di hadapan orangtua kita masing-masing. Ana pengen anti jadi satu-satunya yang ana cintai dengan cara yang diridhai Allah." ujar Afkar yang berusaha menutupi kegugupan nya dengan meremas kuat-kuat jari jemarinya.

Keheningan kembali mengisi diantara keduanya. Asha menghela napas panjang, ia menatap tangan Afkar yang memerah akibat rematan kuat yang dibuat oleh pria itu sendiri.

"Ustadz Afkar," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.

"Asha gak bisa janji banyak, tapi In Syaa Allah Asha bakalan berusaha jaga hati, jaga pandangan. Sama seperti antum yang jaga hati dan pandangan antum sekarang." jawab Asha.

Afkar tersenyum lega, ada cahaya syukur yang jelas terpancar di wajahnya. Sementara Asha menunduk lagi, menyembunyikan rona merah di pipinya, tapi bibirnya tak bisa menolak lengkungan senyum yang ikut terbentuk

"Na'am, semoga Allah permudah urusan kita untuk ibadah terpanjang itu." kata Afkar yang diangguki oleh Asha.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Beberapa pekan setelah pernikahan kedua temannya, suasana hati Asha perlahan kembali stabil. Riuh bahagia acara itu masih terekam jelas dalam ingatan, tapi kini ia harus kembali menapaki dunianya sendiri, yaitu dunia yang penuh dengan tumpukan tugas, presentasi, dan tanggung jawab baru.

Kampus kembali menelannya dengan rutinitas padat. Setiap pagi, Asha sudah harus bersiap dengan buku-buku tebal di dalam tas, wajah yang disamarkan dengan senyum meski matanya sering menyimpan lelah. Di ruang kelas, ia sibuk dengan diskusi kelompok, mempersiapkan presentasi yang harus dipaparkan dengan percaya diri di depan dosen dan teman-temannya. Suara-suara ramai mahasiswa lain, lembar-lembar kertas berserakan, hingga layar proyektor yang memancarkan cahaya ke arah wajahnya, seakan menjadi bagian dari hari-hari yang tak ada habisnya.

Namun, kesibukan di kampus hanyalah separuh dari cerita. Asha kini mulai menjalani program magang di sebuah sekolah islam terpadu. Perannya sebagai guru magang membuatnya harus membagi waktu dengan lebih disiplin. Setiap pagi yang lain, ia berdiri di depan kelas, menatap puluhan wajah mungil yang menunggu penjelasan darinya. Ada rasa gugup, tapi juga kebahagiaan yang perlahan tumbuh saat melihat mata-mata polos itu memperhatikannya.

"Adik-adik, coba siapa yang bisa jawab pertanyaan ini?" suaranya lembut namun tegas, berusaha menanamkan rasa percaya diri pada para murid. Sesekali ia tertawa kecil melihat tingkah mereka yang polos, kadang berebut menjawab, kadang malah saling menunduk pura-pura tidak tahu.

"Aku ustadzah," sahut seorang murid laki-laki ynag duduk di bangku belakang.

"Ayo sini maju ke depan, ustadzah mau liat jawabannya." kata Asha sembari menyodorkan spidol hitam pada muridnya itu.

Anak laki-laki itu berjalan dari arah belakang menuju ke depan dengan percaya diri, setelah menerima spidol dari Asha, ia segera memberikan coretan pada papan tulis yang sudah tertulis soal yang Asha berikan tadi.

"Ini jawabannya bukan sapi ustadzah," kata si murid sembari menghapus jawaban yang ditulis Asha tadi.

"Terus apa dong? Ustadzah mau tau jawabannya dari Rayhan," ucap Asha dengan mata berbinar.

"Kalo sapi kan bahasa arabnya tsaurun atau baqorun, tapi ini ustadzah tulisnya jamalun, jadi jawabannya unta, bukan sapi." jelas si anak sambil menulis kata unta di tempat jawaban yang ia hapus sebelumnya.

"Waaaah Maa Syaa Allah, hebat sekali Rayhan. Baarakallahu fiik." puji Asha pada muridnya itu.

"Wa fiiki baarakallah ustadzah," jawab murid kelas 2 itu dengan bangga, ia pun berjalan kembali menuju tempat duduknya dengan senyuman riang.

Beberapa menit berlalu, hingga tak terasa jam ngajar Asha sudah habis. Ia pun segera menutup kelas, dan segera berpamitan pada anak-anak didik yang ia ajar selama 6 bulan ini.

Sepulang magang, tubuhnya terasa letih. Namun bukannya istirahat, ia masih harus mengejar materi kuliah, menyelesaikan laporan, hingga mempersiapkan tugas-tugas baru. Laptopnya hampir tak pernah sepi dari ketukan jari. Malam-malam panjang sering ia habiskan di kamar kosnya, ditemani secangkir teh hangat dan lampu meja yang terus menyala.

Meski begitu, Asha bukan tipe yang mudah menyerah. Ada semangat yang ia jaga, mungkin karena ia tahu bahwa semua ini adalah bagian dari perjalanan panjangnya. Sesekali, ingatan tentang Afkar hadir di sela-sela kesibukannya, membuat hatinya berdebar. Ia teringat pesan Afkar tentang kesabaran menanti, dan entah bagaimana, itu menjadi penyemangat baginya untuk terus melangkah.

Hari-hari Asha kini penuh warna, sibuk, melelahkan, tapi juga penuh makna. Ia sedang belajar menjadi lebih dewasa, bukan hanya sebagai mahasiswa yang cerdas, tapi juga sebagai seorang calon guru yang kelak akan mendidik dengan sepenuh hati.

Namun, di balik kesibukan itu, ada ruang kosong yang tak bisa ia isi, yaitu tentang Afkar. Sudah lama sekali tak ada kabar darinya. Telepon tak pernah diangkat, pesan tak kunjung dibalas. Seolah lelaki itu ditelan bumi, hilang tanpa jejak.

Suatu malam, saat Asha baru selesai merevisi slide presentasi, ponselnya bergetar. Pesan dari ibunya masuk.

Ibuku: Sha, gimana? Udah dapet kabar dari Afkar? Udah lama banget gak ada kabar dia. Ibu jadi kepikiran, kamu suka kontekan gak?

Ibuku: Ayah juga nanya-nanya mulu, soalnya beberapa kali ada orang yang dateng kerumah buat lamar kamu.

Asha terdiam lama menatap layar. Matanya terasa panas, tapi ia menahan diri agar air matanya tidak jatuh. Ia tahu, ayah dan ibunya mulai gelisah.

Beberapa pekan terakhir, memang ada beberapa pria yang datang dengan niat baik. Ada yang datang bersama orangtua, ada pula yang menyampaikan melalui perantara. Semua datang dengan niat serius, membawa kesungguhan yang jelas. Namun setiap kali itu terjadi, ibunya selalu menolak dengan lembut.

"Maafkan kami, anak kami belum bisa nerima lamaran siapapun untuk saat ini. Hatinya udah ada yang lebih dulu mengisi," begitu alasan ibunya. Dan Asha tahu, yang dimaksud ibunya adalah Afkar, meskipun kenyataannya lelaki itu sudah lama hilang tanpa kabar.

Asha menghela napas berat. Ada perasaan bercampur aduk, antara rindu, khawatir, dan takut. Di satu sisi ia ingin percaya bahwa Afkar hanya sedang berjuang, menyiapkan sesuatu dalam diam. Namun di sisi lain, bayangan bahwa Afkar mungkin benar-benar pergi tanpa pamit, membuat hatinya semakin rapuh.

Dalam kesendiriannya malam itu, Asha menuliskan doa lirih,

"Ya Allah, kalo memang ustadz Afkar yang akan jadi imamku, maka dekatkanlah dengan cara-Mu. Kalo tidak, kuatkanlah aku menerima apa pun yang Engkau takdirkan."

Kesibukan kuliah dan magang membuat Asha terlihat kuat di hadapan orang lain. Namun di dalam hati, ia sedang berjuang dengan rasa yang berat, antara menanti sosok yang menghilang, dan menolak hati yang lain, hanya karena ia masih percaya pada janji yang pernah Afkar bisikkan dulu.

1
Takagi Saya
Aku suka gaya penulisanmu, jangan berhenti menulis ya thor!
Nclyaa: Timakaci❤
total 1 replies
°·`.Elliot.'·°
Kreatif banget!
Nclyaa: timakaci ❤
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!