Oliver Alexander, pewaris tunggal keluarga kaya raya, hidupnya penuh dengan pesta, wanita, dan gemerlap dunia malam. Baginya, cinta hanyalah permainan, dan wanita hanyalah koleksi yang berganti setiap saat. Namun, gaya hidupnya yang semakin tak terkendali membuat sang ayah geram.
Sebagai hukuman sekaligus peringatan, Oliver dipaksa turun tangan mengurus salah satu pabrik keluarga di desa terpencil. Awalnya ia menolak, tapi ancaman kehilangan segalanya membuatnya tak punya pilihan.
Di sanalah ia bertemu Laras Maya, gadis desa sederhana yang polos, lugu, bahkan terlihat norak di matanya. Dunia mereka begitu berbeda, bagaikan langit dan bumi. Tapi semakin lama, Oliver justru menemukan sesuatu yang tak pernah ia rasakan dari wanita-wanita cantik di kota, yaitu ketulusan.
Laras yang apa adanya perlahan meruntuhkan tembok arogan Oliver. Dari sekadar kewajiban, hari-harinya di desa berubah menjadi perjalanan menemukan arti cinta dan hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sah
Jaya berdiri di ambang pintu dengan napas terengah-engah. Wajahnya jelas diliputi kepanikan luar biasa. Begitu matanya jatuh pada Laras yang duduk dalam balutan kebaya putih, ekspresinya berubah menjadi tak percaya.
“Apa… apa yang kalian lakukan?” Jaya maju beberapa langkah, menatap semua orang dengan bingung. “Benarkah Laras akan dinikahkan… dengan dia?” pandangannya beralih tajam pada Oliver.
Bisik-bisik warga semakin ramai. Beberapa mencoba menenangkannya, tapi Jaya mengangkat tangan. Matanya berkaca-kaca saat kembali menatap Laras.
“Kalau memang pernikahan ini terpaksa… dan Pak Oliver tidak mau menikahi Laras…” Jaya menarik napas panjang, suaranya bergetar namun tegas, “Aku bersedia, aku yang akan menikahi Laras dan bertanggung jawab atas perbuatan Pak Oliver.”
Ruangan sontak gaduh. Semua orang menoleh dengan wajah terkejut. Bahkan Soraya dan Brata pun terdiam sesaat, tidak menduga akan ada pria lain yang berani mengajukan diri di hadapan banyak orang.
Oliver yang sejak tadi duduk diam, mendadak berdiri. Rahangnya mengeras, matanya menyipit penuh amarah.
“Siapa kau, sok ikut campur dalam urusanku?”katanya angkuh. “Kau ini sok pahlawan ya? Ikut campur seolah-olah ini masalahmu.”
Roni yang berdiri di belakang Oliver hanya bisa terperangah. Dalam hatinya, ia benar-benar bingung. Bukankah ini kesempatan emas bagi Oliver untuk lepas dari tanggung jawab? Tapi kenapa, bukannya senang, Oliver justru marah besar?
Warga desa semakin gaduh, antara mendukung Jaya atau menuntut Oliver bertanggung jawab. Soraya menutup mulutnya dengan tangan, bingung harus bereaksi apa, sementara Brata tetap berdiri dengan tenang menanti kelanjutan reaksi putranya.
Dan di tengah hiruk pikuk itu, Laras hanya bisa menunduk diam-diam. Ia terhimpit diantara kehendak orang banyak. Rasanya ia seperti barang yang bisa di oper ke banyak orang.
Oliver kembali duduk di depan penghulu. Suasana masih riuh akibat kejadian barusan.
Oliver mengangkat tangannya ke atas meja. “Apa yang kau lakukan?” ia melihat penghulu yang masih terdiam di tempat. “Lanjutkan pernikahannya.” perintahnya.
Laras menatap Oliver dari sudut ruangan lekat. Bukankah Oliver sejak semalam bersikeras menolak untuk menikahinya? Ia sudah berpikir akan menikah dengan Jaya. Meski ia tidak mencintainya, tapi rasanya itu lebih baik dari pada menikah dengan orang yang sejak awal sudah menolaknya, ah tidak… bahkan membencinya.
Brata yang sejak tadi mengamati, tersenyum puas mendengar keputusan Oliver. Putranya mungkin keras kepala, tapi kenyataan Oliver tetap berdiri di hadapan semua orang dan menolak digantikan, itu artinya dia akan bertanggung jawab. Bagi Brata, itu sudah cukup.
“Baik,” ucap penghulu akhirnya, memecah keheningan. Ia menatap Oliver dan Bapak Laras yang duduk berhadapan. “Kalau sudah siap, mari kita mulai akad nikah.”
Bapak Laras menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. Suaranya bergetar ketika ia mengucapkan kalimat ijab, “Saya nikahkan dan kawinkan anak saya, Laras Maya binti Surya, dengan engkau Oliver Alexander binti Brata dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai.”
Semua mata tertuju pada Oliver.
Dengan suara tenang tapi terdengar angkuh, Oliver menjawab tegas, “Saya terima nikahnya Laras Maya binti Surya dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”
Suara “sah” dari para saksi menggema, menandai ijab kabul selesai. Beberapa warga menahan napas lega, ada pula yang berbisik lirih bersyukur.
Penghulu lalu meminta Laras untuk mendekat. Dengan langkah pelan gadis itu maju, kebaya putih sederhana milik mendiang ibunya menemani langkahnya. Tangan mungil Laras bergetar saat menyentuh tangan Oliver. Ia menunduk, lalu dengan penuh hormat mencium punggung tangan suaminya.
Sejenak, dunia Oliver berhenti. Hatinya terhentak oleh rasa asing saat gadis yang selama ini ia remehkan kini mengecup punggung tangannya sebagai tanda… kini ia, istrinya dengan pasrah menyerahkan dirinya. Tanpa sadar, Oliver menunduk. Bibirnya menyentuh kening Laras dengan gerakan singkat.
Sorak kecil dan helaan napas lega terdengar dari warga desa. Beberapa ibu tersenyum haru, sementara bapak Laras hanya bisa memejamkan mata, menahan air mata yang hampir jatuh.
Laras menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia tidak berani menatap Oliver. Sedangkan Oliver sendiri, masih menahan perasaan yang membingungkan. Soraya yang duduk di samping suaminya, menundukkan kepala, menyembunyikan air mata yang tak tertahan. Putra satu-satunya yang ia lahirkan tiga puluh lima tahun yang lalu akhirnya menikah dengan perempuan yang sepertinya baik walau dengan cara yang tidak baik.
Di sudut ruangan, Jaya berdiri kaku. Pandangannya tertuju pada Laras yang kini resmi menjadi istri orang lain. Matanya berkaca-kaca, tak sanggup lagi berada di tengah-tengah kebahagiaan saat wanita yang ia cintai sejak lama menikah dengan orang lain. Kakinya mundur pelan-pelan, lalu berbalik keluar rumah.
Pesta sederhana itu akhirnya usai. Warga desa perlahan membubarkan diri, meninggalkan rumah Laras. Brata dan Soraya menghampiri Bapak Laras dengan wajah penuh penyesalan.
Dengan lembut dan rendah hati Soraya meminta maaf pada Bapak Laras. “Sebelumnya maafkan kami karna belum sempat meminta maaf secara resmi atas kelakuan putra kami, Oliver. Andai semua ini tidak terjadi, tentu tidak begini jadinya.”
Bapak Laras tersenyum tipis, “Sudahlah Bu, tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah terjadi.”
“… Kami juga belum sempat membicarakan mahar yang pantas untuk putri Bapak. Tidak usah ragu Pak, sebut saja nominalnya atau Bapak mau rumah, tanah, ruko, silakan Pak. InsyaAllah, kami sanggup memenuhinya.” lanjut Soraya.
Bapak Laras menatap mata Brata langsung. Berbicara dari hati seorang ayah. “Saya tidak meminta apa pun, Pak. Seperangkat alat solat cukup seperti yang sudah terucap saat akad. Saya titipkan Laras… dia harta saya yang paling berharga, satu-satunya di dunia ini…”
Brata mengangguk setuju lalu menatap lurus ke mata lelaki tua itu. “Saya berjanji Pak, saat Laras tinggal dengan kami di kota nanti, kami akan memperlakukan dia dengan baik. Kami akan menjaganya seperti putri kami sendiri…”
Oliver berdiri di dekat mereka, mendengar semua kata-kata itu. Bukannya terenyuh, bibirnya justru terangkat miring. Akhirnya ia bisa kembali ke kota tanpa repot lagi. Ada untungnya juga menikahi gadis udik ini. Ia tidak perlu pusing tinggal di desa dan yang paling penting warisan itu sudah pasti jatuh ke tangannya.
Laras semakin sedih. Dadanya terasa sesak saat menatap wajah bapaknya. Baru saja ia bermimpi bisa memberi kehidupan lebih layak untuk beliau, tapi kenyataannya justru begini. Ia harus pergi meninggalkan bapaknya sendirian.
“Maafkan Laras ya, Pak…” bisiknya lirih, suaranya terbata-bata. “Laras belum bisa jadi anak yang berbakti buat Bapak.”
Tanpa terasa, air mata menetes dari mata lelaki tua itu. Dengan tangan bergetar, ia membelai kepala putri semata wayangnya, lalu menunduk mencium kening Laras dengan penuh kasih.
“Kamu sudah sangat berbakti pada Bapak, Nduk. Setelah menikah… tugasmu adalah berbakti pada suamimu. Sesekali pulanglah, lihat Bapak di sini. Bapak pasti akan sangat merindukanmu…”
Soraya menyeka air mata yang turun dari sudut mata, Brata menggenggam tangan istrinya memberikan kekuatan. Oliver hanya melirik sekilas. Ada sesuatu yang mengganggu saat melihat Laras menangis dipeluk bapaknya, tapi ia buru-buru memalingkan wajah pura-pura tidak peduli. Wajah angkuhnya masih terlihat jelas, seolah tangisan itu bukan urusannya.
jasngan gengsi aja di gedein 😀😀😀
ntar bucin tingkat Dewa, kluudahcinta 😀😀😀