Seorang pria misterius menggunakan 2 sumber kehidupan untuk membentuk klon Dao yang sempurna. tapi tidak seperti klon pada umumnya, klon yang dia buat dari dua sumber kehidupan berubah menjadi bola cahaya bewarna biru yang isinya sebuah jiwa janin. apa yang akan dia lakukan dengan itu?
jika penasaran langsung saja baca novelnya!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Yang Sulit Dimengerti.
Sorak dan teriakan menggema di arena besar tempat Pertarungan Antar Sekte diselenggarakan. Setelah kemenangan mutlak Chen Yu melawan Jishan, semua mata kini tertuju pada satu nama.
Chen Yu, murid baru Sekte Langit Cerah yang sangat mendominasi.
Reaksi Sekte sekte lainnya.
Sekte Langit Api
“Orang itu baru saja menjadi murid inti, tapi kekuatannya terlalu mengerikan.”
“Bagaimana bisa dia bertarung hanya dengan pukulan dan menghancurkan lawan seperti itu?”
Sekte Rembulan Ilahi
“Tidak terlihat ada celah dalam teknik bertarungnya. dia hanya di tahap Hunjing, tapi auranya mengintimidasi seperti Dewa Perang.”
Sekte Hujan Abadi
“Chen Yu. aku mencatat nama itu. Kita tidak bisa menghadapinya sembarangan”
Bahkan Sekte Langit Merah, tempat MuWan berada, hanya bisa menggigit jari.
Sementara itu, di tribun Sekte Langit Cerah, suasana sangat berbeda. Tepuk tangan, sorakan, dan tawa bahagia meledak.
Ketua Sekte berdiri dengan jubah kebesarannya, tertawa lebar.
“Luar biasa! Itulah murid inti kita! Muridku memang berbakat tinggi! Wahaha!”
Tetua Qingwei menghela napas, lalu tersenyum sambil berkata.
“Meskipun kadang konyol, tapi Chen Yu benar-benar membuat sekte kita berdiri dengan kepala tegak.”
Xining dan Puyou.
Di tengah keramaian dan kegembiraan itu, Xining dan Puyou berdiri dengan ekspresi berbeda.
Xining menatap Chen Yu dari kejauhan.
Senyumnya tertahan. Tatapannya mengandung kekhawatiran yang dalam.
"Chen Yu. Aku tahu kau sedang tidak Baik baik saja. Tapi kami tak bisa ikut campur. Itu luka hati yang hanya bisa kau hadapi sendiri."
Puyou berdiri di samping Xining, tangan memegang perut bulatnya yang baru saja kenyang dari makan sebelumnya.
“Sahabatku itu walau kelihatan polos dan lucu. saat hatinya tersakiti, dia jadi sosok yang benar-benar berbeda.”
Xining mengangguk pelan.
“Tapi bagaimana aku bisa menenangkan seseorang yang bahkan tak tahu cara menenangkan dirinya sendiri?”
Hari demi hari berlalu.
Chen Yu bertarung tanpa ekspresi.
Tidak tersenyum. Tidak bicara. Hanya menang.
Pertandingan ke-2, menang dalam tiga gerakan.
Pertandingan ke-3, lawan menyerah.
Pertandingan ke-4, menang tanpa mengeluarkan teknik spiritual.
Pertandingan ke-5, menyelamatkan murid sekte lain dari serangan brutal, lalu tetap menang.
Pertandingan ke-6, melawan dua lawan sekaligus yang bersekongkol, menang dengan satu ledakan aura.
Pertandingan ke-7, pertarungan epik melawan pewaris sekte kecil. Menang dengan satu pukulan menembus formasi pertahanan.
Semua itu dilakukan tanpa senyum.
Hanya ada tatapan kosong yang dalam seperti jurang tak berdasar.
Puyou pun tampil luar biasa, menggunakan teknik unik seperti. Pukulan Menusuk Perut Babi, Gerakan Menyelip Kambing Sakti, dan Putaran Guling Angin Surgawi.
yang membuat penonton tak tahu harus tertawa atau bertepuk tangan kagum.
Xining, dengan teknik pedang angin miliknya, juga menang tujuh kali berturut-turut. Gerakannya elegan namun mematikan. Aura dingin dan tajamnya membuat musuh enggan mendekat.
Sementara itu, MuWan juga menunjukkan kekuatannya.
Dengan kultivasi tahap pertengahan Hunjing, dia menang telak atas semua lawannya. Namun dia tidak terlihat bahagia.
Tatapannya selalu mencari sosok yang berdiri di tribun Sekte Langit Cerah. Tapi Chen Yu tak pernah menatap balik.
Chen Yu kini berdiri sebagai sosok tak terkalahkan.
Di mata dunia, ia adalah bintang baru.Tapi di balik semua itu, hatinya sedang membeku.
Dan di sisi lain, MuWan hanya bisa menatap punggung yang kini terlalu jauh. punggung seorang suami yang tak lagi bisa dia ajak bicara dengan hati.
Hari itu langit mendung, angin bertiup lembut namun terasa berat. Pertarungan sebelum babak final diumumkan.
“Pertandingan selanjutnya.
Chen Yu dari Sekte Langit Cerah
melawan. MuWan dari Sekte Langit Merah!”
Suasana seketika menjadi tegang. Para tetua saling memandang. Di tribun Sekte Langit Merah, Guru MuWan, wanita cantik berhati dingin bernama LiShuan, berkata tajam.
“MuWan, dengar baik-baik. Jangan berbelas kasihan. Serang dia dengan seluruh kekuatanmu. Dia adalah musuh sekte kita bukan lagi suamimu.”
MuWan menggigit bibirnya, mata sedikit gemetar.
Saat ini..
Chen Yu melangkah masuk dengan pakaian putih bersih dan ekspresi tenang. Dia tak berkata apa pun. Tak melihat siapa pun. Hanya berdiri dengan tenang di tengah arena.
MuWan menatapnya.
“Chen Yu. apakah kau benar-benar marah.?”
Tapi Chen Yu tak menjawab. Bahkan tak memandangnya.Wasit memulai pertandingan.
“Mulai!”
MuWan menghunus pedang merah menyala, Pedang Api Langit Merah, sebuah pedang yang hanya bisa digunakan murid inti sejati. Dengan air mata mengambang di sudut mata, dia melompat dan menyerang menusuk lurus ke arah dada Chen Yu!
Namun Chen Yu tidak menghindar.
Clakk!
Pedang itu menembus dada Chen Yu. MuWan terkejut, matanya melebar.
“Chen Yu kenapa kau.?”
Pedang masih dalam genggaman MuWan, tapi tangan Chen Yu kini memegang bilahnya. Dengan tatapan kosong, Chen Yu menarik pedang itu lebih dalam ke tubuhnya sendiri.
"Krak..."
Lalu dengan satu tangan, Chen Yu menarik pedang itu keluar, dan menusukkannya kembali ke tubuhnya sendiri dua, tiga kali. Darah mengucur. Tanah arena mulai basah. Namun tak ada suara.Tak ada keluhan dari Chen Yu.
MuWan jatuh berlutut, tubuhnya gemetar.
“Hentikan! Kumohon! Kenapa kau melakukan ini?!”
Chen Yu masih menatapnya tanpa emosi.
“Karena ini pertempuran. Bukankah begitu?”
Tubuh Chen Yu berlumur darah, namun tetap berdiri. Lalu MuWan menjatuhkan pedangnya.“Aku menyerah.”
Suaranya gemetar, air mata mengalir di pipi.
“Aku... aku tak sanggup lagi melihatmu seperti ini…”
Wasit mengumumkan dengan suara pelan. “Pemenangnya Chen Yu.”
Chen Yu tak mengangguk, tak mengangkat tangan,
hanya berbalik badan dan berjalan perlahan menjauh. Tanpa memandang siapa pun.Tanpa sepatah kata pun.
“Aku tidak tahu perasaan menyakitkan apa ini,”
kata Chen Yu dalam hati.
MuWan terduduk di tanah, menggenggam tanah yang berlumuran darah Chen Yu. Dia menangis dengan wajah tertunduk.
“Maafkan aku Chen Yu.”
Di tribun, seluruh penonton terdiam. Tidak ada yang bersorak. Karena pertarungan itu bukan sekadar pertarungan.
Lalu tiba-tiba..
Chen Yu terhuyung, langkahnya berat saat darah menetes dari tubuhnya yang penuh tusukan. Kemenangan atas MuWan telah diraihnya, namun di balik itu, hatinya seperti direnggut paksa dari dadanya.
"Chen Yu!"
Xining dan Puyou menerobos kerumunan, menyambutnya di tepi arena.
Tanpa banyak bicara, mereka segera memapah tubuhnya yang lemas, membawanya menuju kamar khusus untuk pemulihan murid inti. Tak satu pun dari mereka berbicara. hanya kesunyian yang menyelimuti mereka bertiga.
Di dalam kamar, cahaya batu kristal menyala redup. Chen Yu didudukkan perlahan oleh Puyou di atas tempat tidur.
Xining berlutut di sampingnya, tangannya gemetar saat membuka kancing baju Chen Yu. Namun begitu tubuh itu terbuka, nafasnya tercekat.
Terdapat lebih dari sepuluh luka tusukan. Darah masih merembes meski pertarungan telah lama berakhir.
Air mata jatuh tanpa suara dari mata Xining.
"Jika aku yang menjadi istrimu, aku takkan membiarkan kau menderita begini." pikirnya lirih, penuh sesak.
Chen Yu hanya menatap kosong ke langit-langit ruangan. Wajahnya pucat, namun yang paling terasa dingin adalah matanya. tatapan kosong yang tak lagi mencerminkan cahaya polos yang biasanya bersinar dari dirinya.
Puyou mengeluarkan ramuan spiritual dari cincinnya, membuka tutupnya dan mengoleskan ke luka Chen Yu perlahan. Xining menyusul, membersihkan sisa darah yang mengering dari dada Chen Yu, tangannya gemetar namun lembut.
“Terimakasih...” kata Chen Yu akhirnya, suaranya berat namun tenang. “Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan kalian.”
Nada suaranya datar, seolah hanya mengucapkan fakta, bukan ungkapan dari hati.
Puyou menunduk, menyembunyikan wajahnya. Ia tahu sahabatnya sedang menahan badai yang lebih dalam dari luka fisiknya.
Xining tak sanggup menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Chen Yu yang masih dingin, lalu meletakkannya di pipinya sendiri.
"Chen Yu..."
"Tolong tetap jadi dirimu yang dulu. Yang bodoh, yang konyol tapi selalu penuh cahaya."
Di luar kamar, malam terasa panjang. Tapi di dalam hati mereka malam ini jauh lebih gelap dari malam manapun.
Udara malam mulai menipis, angin lembut bertiup membawa aroma obat herbal dari kamar pemulihan. Di dalam ruangan itu, keheningan begitu terasa. Xining duduk bersandar di kursi, masih menggenggam tangan Chen Yu yang kini terbaring memejamkan mata.
Tiba-tiba, Chen Yu membuka matanya perlahan. Tatapannya kosong, seolah dunia di sekeliling tak berarti apa-apa.
“Chen Yu.” Xining menyadari gerakan kecil itu dan segera mendekat. “Kau sudah sadar? Apakah lukamu masih sakit?”
Chen Yu menoleh, namun bukan kepada Xining melainkan ke langit-langit kamar. Suaranya terdengar rendah, datar.
“Aku tidak merasa sakit. Tidak juga merasakan apa apa."
Xining menunduk. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Chen Yu melanjutkan, “Orang-orang berkata bahwa rasa sakit akan membuat seseorang kuat. Tapi mengapa rasanya justru membuatku kosong?”
Xining menggigit bibirnya, lalu memberanikan diri memegang tangan Chen Yu kembali. “Kau tidak sendiri, Chen Yu. Aku dan Puyou ada di sisimu.”
Chen Yu menatap tangan Xining sejenak, lalu perlahan menarik tangannya kembali. " Jangan buang waktu pada orang seperti ku."
Xining membeku, tak mampu menjawab. Tapi ia tidak menyerah.
“Aku tidak peduli seberapa dingin kau sekarang. Aku hanya ingin kau tahu, bahkan saat kau tak punya siapa pun. kau tetap punya kami.”
Chen Yu berdiri perlahan, meski masih kesakitan. Ia mengenakan kembali jubahnya, kemudian berjalan ke arah jendela dan menatap bulan yang hampir purnama.
“Aku akan memenangkan final besok. Bukan karena ingin membuktikan apapun. tapi karena itu janji yang kubuat.”
Xining menatap punggung itu. Dingin, menjauh, tapi masih membawa sedikit cahaya yang tak padam.
“Chen Yu...” bisiknya lirih.
“Kau terlalu baik untuk tetap menjadi es seperti ini.”
Chen Yu menoleh sedikit, tanpa senyum, hanya mata kelam yang tenang seperti malam. Lalu ia berbalik, masuk ke ruangan dalam untuk bermeditasi sendiri.
Xining duduk sendiri di sana, menatap tempat tidur yang kosong. Tapi meski kosong, hatinya telah terisi oleh satu nama. Chen Yu pria dengan luka di dada dan jiwa yang membeku.
dusah GHOBLOK lembek lagi,
mendingan gak usah di lanjutkan lagi ini alur ceritanya