"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Dua Puluh Sembilan
Raya, tidak tahu berapa lama ia sudah berdiri di sana.
Hanya suara pendingin ruangan yang terdengar pelan, bergabung dengan detak jantungnya yang berlari tanpa arah.
Di matanya, segala hal tiba-tiba terasa kabur — seperti bayangan yang mulai larut di bawah cahaya lampu yang kelelahan.
Ia duduk perlahan di sofa, tempat Amara tadi menatapnya dengan senyum yang menohok.
Gelas anggur yang tadi ditinggalkan Amara masih di sana, sisa merahnya menempel di bibir gelas.
Entah kenapa, pemandangan sederhana itu terasa menyayat.
Karena di matanya, gelas itu seperti simbol dari sesuatu yang telah pecah tapi masih berusaha terlihat utuh.
Raya menunduk, menatap kedua tangannya.
Ada sedikit getar yang ia rasakan. Entah karena marah, sedih, atau sekadar kelelahan menghadapi semuanya sendirian.
“Kenapa semua orang selalu menyalahkanku…” bisiknya lirih.
Nada suaranya hampir tak terdengar.
Ia teringat pada percakapan di kantor tadi — bagaimana Arka menatapnya datar, tanpa sedikit pun memberi ruang untuk menjelaskan.
Bagaimana ia harus memaksakan senyum di depan semua orang, seolah dunia tidak sedang runtuh di dalam dirinya.
Dan kini, ketika akhirnya pulang, satu-satunya tempat yang seharusnya bisa menjadi pelarian, justru berubah menjadi medan tempur yang sama dinginnya.
Raya menarik napas panjang, menegakkan tubuhnya, lalu menatap keluar jendela besar yang memperlihatkan langit kota malam itu.
Hujan mulai turun. Rintiknya ringan, tapi cukup untuk membuat cahaya lampu kota tampak kabur di balik kaca.
Ia menyandarkan kepala ke sandaran sofa.
Ingatan itu datang lagi — malam pernikahan mereka.
“Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap… sampai dia kembali.”
Dan kini, perempuan itu telah kembali.
Dan kata-kata itu... menjadi nyata.
Raya menutup mata, menekan dada dengan tangan.
Kenapa baru sekarang kalimat itu terasa begitu menyakitkan, padahal dulu ia menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa ia ubah dengan kesabaran?
Mungkin karena kali ini, ia tahu bahwa ia benar-benar kalah.
Bukan karena Amara.
Tapi karena Arka sendiri tidak pernah benar-benar memilihnya.
Raya berdiri perlahan, melangkah ke jendela, membiarkan tangannya menyentuh dinginnya kaca.
“Hujan lagi,” gumamnya lirih.
Setiap kali hujan turun, ia selalu merasa seperti alam ikut menangis bersamanya — menghapus sisa-sisa harapan yang terlalu keras ia genggam.
Ia menarik napas panjang, menatap pantulan dirinya di kaca.
Matanya sembab, tapi masih ada keteguhan di sana.
Raya tidak ingin menjadi perempuan yang dikasihani.
Mungkin sudah waktunya berhenti memaksa sesuatu yang sejak awal tidak ingin tinggal.
Beberapa menit kemudian, ia beranjak ke kamar.
Langkahnya pelan, tapi pasti.
Di dalam kamar, ia membuka lemari, mengeluarkan koper kecil, dan mulai memasukkan beberapa pakaian. Tidak banyak — hanya yang cukup untuk pergi beberapa hari.
Sebelum menutup koper, pandangannya jatuh pada foto kecil di atas meja rias:
foto dirinya dan Arka di pesta ulang tahun Papa, setahun lalu.
Ia mengusap sudut foto itu dengan jemari bergetar, lalu meletakkannya kembali perlahan.
"Aku sudah janji... aku tidak akan ada di antara kalian.” Lirih Raya.
Kali ini, bukan ancaman.
Tapi keputusan.
Raya menatap ke arah cermin satu kali lagi — perempuan di sana tampak asing baginya.
Lalu ia menutup koper, mengambil payung dari belakang pintu, dan melangkah keluar apartemen.
Langkahnya ringan.
Entah menuju ke mana, tapi untuk pertama kalinya, Raya memilih dirinya sendiri.
Dan di langit yang muram itu, hujan turun semakin deras —
seolah menghapus jejak langkah seorang perempuan yang akhirnya berani pergi dari segalanya.
**
Udara malam menusuk kulit, dingin dan lembap setelah hujan yang belum lama reda.
Langit masih kelabu, dan aroma tanah basah menempel di udara — aroma yang entah kenapa terasa begitu menenangkan bagi Raya malam itu.
Ia menarik napas panjang, menyeret koper kecil di belakangnya melewati trotoar yang licin. Lampu jalan berpendar samar, memantul di genangan air, seolah menuntun langkahnya ke arah yang bahkan ia sendiri tak tahu pasti.
Ia hanya ingin menjauh.
Dari apartemen itu. Dari tatapan Arka. Dari setiap kenangan yang melekat di setiap sudut ruang.
Mungkin nanti ia akan menyesal — tapi untuk malam ini, hanya pergi yang terasa masuk akal.
Raya memesan taksi dan duduk di kursi belakang tanpa banyak bicara. Ia membuka jendela sedikit, membiarkan angin malam menyusup masuk dan menerpa wajahnya. Rambutnya berantakan tertiup angin, tapi ia tidak peduli. Justru, di antara hembusan dingin itu, ia merasa sedikit lebih tenang — seolah udara malam menjadi satu-satunya hal yang mengerti betapa lelahnya ia hari ini.
Tatapannya kosong, tapi dalam pikirannya, kalimat Arka terputar berulang kali seperti lagu rusak yang tak berhenti.
"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap… sampai dia kembali."
Dan kini, perempuan itu sudah kembali.
Jadi, apa lagi yang tersisa untuknya?
*
Sekitar tiga puluh menit kemudian, kendaraan itu berhenti di depan sebuah bangunan tua bertingkat tiga— bukan gedung mewah, tapi cukup rapi dan bersih.
Tulisan “Kosan Putri” terpampang di depan pintu kaca.
Raya turun, menarik kopernya, dan mengetuk pintu kecil di samping. Seorang wanita paruh baya muncul dengan rambut digelung tinggi dan senyum ramah.
“Cari kos, Dek?” tanya wanita itu.
Raya mengangguk. “Iya, Bu. Untuk sementara waktu saja. Mungkin... beberapa hari.”
“Untung masih ada satu kamar kosong di lantai dua, kalau cuma sendiri pas banget.”
Bu Rasti mengeluarkan buku catatan dari laci meja resepsionis. “Bawa barang banyak?”
Raya menggeleng. “Nggak banyak, Bu.”
“Baiklah, saya antar naik. Nanti administrasinya bisa dibicarakan besok pagi aja.”
Mereka menaiki tangga kayu yang sedikit berderit, dan berhenti di depan sebuah pintu bercat krem muda.
Begitu pintu dibuka, aroma sabun cuci dan udara lembap bercampur jadi satu, tapi kamarnya bersih.
Ada kasur single, meja kecil, dan jendela kecil yang menghadap ke jalan belakang.
“Sederhana ya, tapi cukup nyaman,” ucap Bu Rasti sambil menepuk bahu Raya. “Kalau mau air hangat, di bawah ada dispenser umum.”
“Terima kasih, Bu.”
Senyum Raya kecil, tapi tulus. Sudah lama ia tidak merasa ditatap dengan ramah tanpa alasan tersembunyi.
Begitu pintu tertutup, keheningan mengambil alih.
Raya duduk di pinggir kasur, menatap koper di depannya.
Ia tak tahu apakah harus menata isi kopernya atau membiarkannya saja, karena sebagian dirinya masih belum yakin akan tinggal lama di sini.
Ia merebahkan diri, menatap langit-langit.
Dingin. Sunyi. Tapi setidaknya, ini adalah ruang yang ia pilih sendiri.
Raya menutup mata pelan, mencoba tidur — tapi matanya justru memanas.
Air mata yang sempat ia tahan sejak tadi akhirnya lolos begitu saja.
Tanpa suara, tanpa isak.
Hanya diam panjang yang diisi sesak.
Ia memeluk bantal kecil di sisinya, membiarkan satu kalimat keluar dari bibirnya dengan napas berat.
“Terima kasih... sudah membuatku sadar.”
Entah untuk siapa kalimat itu ditujukan — Arka, Amara, atau dirinya sendiri.
Tapi malam itu, Raya benar-benar merasa bebas.
Bebas dari harapan yang tak pernah punya tempat untuk tumbuh.
📖 To Be Continued...
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........