🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 : Cintamu (tidak) utuh.
Keheningan memenuhi ruangan, sudah dua puluh menit sejak mereka berdua duduk di dalam kamar tapi masih belum ada yang buka suara.
Sesekali Daffa melirik ke arah Aini, hendak memulai dari mana bingung juga, apalagi saat melihat wajah istrinya yang tidak menunjukkan ekspresi yang bagaimana, justru itu yang membuatnya semakin takut jika saat ini istrinya ini tengah memendam lukanya sendiri.
"Mas masih mau diem atau aku sendiri yang menemui wanita itu untuk mencari tahu kebenarannya?" Akhirnya Aini angkat bicara, sejak tadi dia perhatian suaminya seperti tidak berniat untuk berbicara dan malah terlihat gelisah.
"Mas memang datang kesana untuk urusan pekerjaan, Ai." Jawab Daffa akhirnya, "Sama sekali tidak tau jika Celine juga ada disana. Dan malam itu Mas kembali ke hotel, awalnya Mas berniat untuk menelfon kamu, tapi tidak sengaja bertemu dengan Celine dan dia mengajak Mas untuk makan malam di cafe,"
Aini masih setia menyimak setiap kata demi kata yang terucap dari bibir suaminya, kejujuran itu bisa dia lihat dari wajah suaminya yang penuh dengan penyesalan saat menceritakannya.
"Yakin hanya itu saja, tidak ada yang lain Mas?"
Daffa mengangkat wajahnya untuk menatap Aini yang duduk di sofa berbeda. Dia mengangguk pelan, "Handphone Mas tidak sengaja jatuh dan mati, jadi Mas tidak bisa menghubungi kamu malam itu,"
Dia saling mengeratkan jari-jari tangannya, matanya terpejam sesaat untuk mengumpulkan keberanian sebelum melanjutkan ucapannya, "Dan malam itu Celine..." Ucapnya terjeda saat pandangannya kembali bertemu dengan mata istrinya, "Malam itu kami sempat berciuman,"
Refleks dia berdiri, jantungnya berdetak lebih cepat, "Astaghfirullah Mas!"
Daffa mendekat, meraih tangan Aini namun segera ditepis.
"Kamu sudah merusak kepercayaanku, Mas. Jadi ini pekerjaan di luar kota yang kamu maksud, berduaan dengan mantan istri kamu!" Dadanya naik turun, nafasnya mulai berat, matanya terpejam kuat saat air matanya menetes keluar.
Sekali lagi Daffa meraih tangan Aini, kali ini dia genggam dengan kuat dan tidak membiarkan Aini untuk menepisnya lagi, "Mas minta maaf... Mas akan terima hukuman apapun yang kamu berikan, tapi tolong jangan pernah pergi dari hidup Mas, Ai. Mas tidak bisa jika tanpa kamu..."
Dadanya terasa sesak, seakan ditimpa oleh beban berat yang tak terlihat. Air matanya dia usap dengan jari-jari tangannya, namun kembali menetes seakan tak ada habisnya. Dan kali ini Aini benar-benar sangat kecewa.
Perlahan tubuhnya luruh, hingga kedua lututnya menyentuh lantai. Keningnya dia tempelkan di punggung tangan sang istri saat air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya menetes keluar. Tak ada lagi kata-kata yang keluar kecuali tangis yang terdengar. Semakin erat dia genggam tangan itu padahal Aini juga tidak berniat untuk melepaskannya lagi.
Selama beberapa menit keduanya bertahan dengan posisi masing-masing, hingga suara tegas Aini terdengar memecah kesunyian di dalam kamar.
"Sekarang aku mulai ragu... Cintamu tidak utuh untuk aku, Mas."
Aini menarik tangannya dari genggaman Daffa saat merasakan genggaman itu mulai melonggar. Dengan wajah yang sudah basah oleh air mata, Daffa mendongakkan wajahnya dan menatap Aini yang sedang berdiri menyampinginya.
"Hukuman apapun tidak akan mampu untuk mengobati luka yang sudah terlanjur kamu goreskan dihatiku, Mas. Bukankah aku sudah pernah bilang, kamu boleh tidak menerima pernikahan kita, tapi jangan coba-coba untuk menghadirkan orang ketiga. Dan sekarang apa yang sudah kamu lakukan... Kamu membawa dia hadir kedalam rumah tangga kita," Dia membuang muka kesamping, air mata yang kembali menetes segera dia seka dengan jari-jari tangannya. Diatas reruntuhan hatinya sendiri, Aini mencoba untuk tetap bertahan di posisinya.
Wajahnya mengeras, dia menarik nafasnya dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kembali puing-puing hatinya yang berserakan. Masih dalam diamnya dia menoleh, menatap wajah suaminya yang bersimpuh di sampingnya.
Dimata itu dia bisa melihat penyesalan yang sangat besar. Kali ini dengan suara yang lebih tenang, Aini berkata, "Sekali lagi aku ingin bertanya sama kamu Mas, apa kamu masih mencintainya?"
-
-
-
BRAKKK...
Dion menggebrak meja makan dengan keras saat mendengar cerita dari istrinya yang sengaja membantu Celine untuk menyusul Daffa yang sedang pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan.
"Jadi Celine tidak masuk kerja bukan karena sakit, tapi kamu dengan sengaja membantu dia untuk menyusul Daffa, begitu???"
Fera meletakkan sendok makannya diatas piring, dan dengan santainya dia menjawab, "Memang apa salahnya Mas, aku yakin Daffa juga masih mencintai Celine. Jika bukan karena dijodohkan untuk menikah, Daffa juga tidak mungkin menolak kehadiran Celine kembali,"
"Gila kamu, Fer!! Daffa itu sudah menikah, statusnya sekarang adalah suami orang. Dan kamu dengan sengaja malah mendukung Celine untuk menjadi pelakor dalam rumah tangga Daffa dan Aini. Sudah tidak waras otak kamu!" Dion mengusap wajahnya kasar, nafasnya terdengar berat akibat menahan emosi yang bergejolak di dalam dada.
Tak terima dibilang tidak waras, Fera segera berdiri dan menatap suaminya dengan tatapan kesal, "Aku hanya ingin yang terbaik untuk Celine, Mas. Aku ingin melihat Celine bahagia, apa salah?"
"Ya, salah!" ucapnya tegas. "Salah karena kamu mengorbankan kebahagiaan banyak orang hanya demi satu orang. Pernikahan itu bukan hanya tentang dua orang Fer, tapi ada pihak-pihak keluarga juga yang terlibat. Dan seandainya pernikahan Daffa dan Aini gagal, keluarga mereka pasti akan ikut sedih."
"Daffa pernah gagal sekali dengan Celine, dan itu adalah kesalahan Celine sendiri yang memutuskan untuk pergi. Jika kali ini Daffa kembali gagal dengan Aini... bukan hanya Daffa, tapi kedua orang tuanya juga akan hancur! Tidak ada orang tua yang tidak ingin melihat anaknya hidup bahagia, Fer. Dan Daffa baru saja memulai hidupnya kembali dengan Aini. Atas dasar apa kamu berkesimpulan jika Daffa tidak mencintai Aini?"
Fera tertegun, belum pernah dia melihat sekaligus mendengar suaminya bicara seserius dan panjang lebar seperti sekarang ini. Bukan hanya kemarahan, kekecewaan jelas terlihat dari tatapan Dion padanya.
"Aku sudah mengenal Daffa sejak lama, dan dari cara dia menatap dan memperlakukan Aini saja aku sudah tau jawabannya, jika Daffa sudah mulai mencintai Aini dan menerima Aini dalam hidupnya." kali ini suaranya terdengar lebih pelan, meskipun tatapannya masih tetap sama, yaitu menatap Fera dengan tatapan penuh kecewa.
"Sekali lagi kamu berulah, aku tidak akan segan-segan untuk membuat perhitungan dengan kamu, Fer!"
Setelah meluapkan semua isi hatinya, Dion membalikkan badannya dan pergi meninggalkan meja makan. Mendengar ancaman seperti itu, jelas Fera merasa sangat kesal dan tidak terima karena sudah diancam oleh suaminya sendiri. Dia bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil handphonenya dan menghubungi nomor Celine, mengajak sahabatnya itu untuk ketemuan.
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧