NovelToon NovelToon
Satu Cinta, Dua Jalan

Satu Cinta, Dua Jalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Cinta Terlarang / Cinta Paksa / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Bercocok tanam
Popularitas:805
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Hari Minggu pagi, suasana rumah masih sunyi ketika Karan dan Puri berdiri di ruang tamu sambil membawa tas ransel mereka.

Puri menatap wajah mama dengan sedikit gugup, sementara Karan menundukkan kepala penuh hormat.

“Mama, kami pamit ya… mau ke stasiun sekarang. Kereta Mas Karan berangkat jam sembilan,” ucap Puri pelan.

Mama mengangguk pelan, menatap mereka bergantian.

“Hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari mama kalau sudah sampai,” katanya sambil tersenyum tipis, walau sorot matanya menyimpan kekhawatiran.

Karan menjawab dengan nada lembut, “Saya janji akan jaga Puri, Bu. Dan… terima kasih sudah mengizinkan kami pergi.”

Setelah berpamitan, Karan dan Puri berangkat menuju stasiun kereta api.

Sepanjang perjalanan, mereka duduk berdampingan dalam taksi, saling menggenggam tangan.

Puri bersandar di bahu Karan, sementara Karan menatap keluar jendela merasakan hatinya campur aduk antara bahagia bisa memperkenalkan Puri pada keluarganya, dan gugup menanti momen penting itu.

“Naik kereta lebih tenang,” ucap Karan, memecah keheningan. “Aku ingin kita punya waktu bersama di perjalanan.”

“Aku juga," ucap Puri.

Kereta menuju Yogyakarta sudah menanti. Suara peluit stasiun memecah pagi yang pelan-pelan mulai sibuk.

Di dalam kereta, angin dari jendela yang sedikit terbuka membuat suasana semakin nyaman.

Puri menatap keluar, melihat sawah dan rumah-rumah yang melintas cepat, lalu mengusap perutnya perlahan.

“Aku lapar, Mas,” ucapnya pelan.

Karan langsung berdiri. “Tunggu sebentar, aku beli makanan dulu di gerbong belakang. Kamu mau apa?”

Puri berpikir sebentar. “Roti dan... mungkin susu coklat?”

Karan tersenyum hangat. “Oke, tunggu di sini ya.”

Beberapa menit kemudian, Karan kembali membawa dua kotak makanan dan dua botol kecil susu coklat.

Ia duduk, menyerahkan makanan itu ke Puri, lalu membuka makanannya sendiri.

Puri menatap susu coklat itu sambil tersenyum kecil.

“Masih ingat aja ya aku suka ini.”

“Hal-hal kecil tentang kamu... justru itu yang paling aku ingat,” jawab Karan sambil menatap mata Puri.

Mereka makan dalam diam yang nyaman, sesekali saling melempar senyum.

Di luar, langit mulai memutih, tanda siang akan datang. Tapi di dalam gerbong itu, hanya ada mereka berdua dan rasa yang perlahan tumbuh semakin dalam.

Setelah menghabiskan makanannya, Puri menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengusap perutnya yang kini terasa lebih tenang.

Karan mengambil sisa-sisa bungkus makanan dan merapikannya ke dalam kantong plastik.

“Sudah kenyang?” tanya Karan lembut.

Puri mengangguk, lalu menguap kecil. “Iya. Ngantuk juga.”

Karan tersenyum dan mengusap kepala Puri perlahan.

“Tidurlah, Pur. Istirahat sebentar. Perjalanan masih lumayan panjang.”

Puri mengangguk pelan. Ia merebahkan kepala ke bahu Karan, mencari posisi yang nyaman.

“Aku akan bangunin kamu pas sudah sampai Stasiun Yogyakarta, ya,” bisik Karan di dekat telinganya.

Dengan deru kereta sebagai pengantar, Puri pun perlahan terlelap, sementara Karan tetap terjaga, menatap pemandangan luar jendela dan menggenggam tangan Puri erat-erat.

Setelah tujuh jam perjalanan, suara pengeras dari dalam kereta mengumumkan bahwa mereka telah tiba di Stasiun Yogyakarta.

Puri terbangun perlahan saat Karan menggoyangkan bahunya dengan lembut.

“Pur, kita sudah sampai,” ucap Karan sambil tersenyum.

Puri mengucek matanya dan mengangguk. “Cepat juga ya...”

Mereka turun dari kereta, berjalan keluar stasiun sambil membawa barang-barang mereka.

Udara Yogyakarta yang hangat dan khas langsung menyapa mereka.

“Sebelum kita ke rumah, aku mau ajak kamu beli gudeg dulu,” kata Karan.

“Itu makanan favorit mama. Setiap aku pulang, pasti ditanyain bawa gudeg atau enggak.”

Puri tersenyum. “Boleh, Mas. Sekalian aku juga pengin nyobain gudeg asli Jogja.”

Mereka pun naik ojek online menuju daerah Wijilan, tempat terkenal penjual gudeg legendaris.

Suasana hangat khas kota tua, dengan lampu-lampu jalan yang mulai menyala, membuat hati Puri terasa nyaman.

Dalam perjalanan menuju rumah Karan, suasana menjadi sedikit hening setelah Puri mengutarakan kegelisahannya.

“Mas, aku takut kalau mama nanti nggak suka sama aku,” ucap Puri lirih, memandangi jendela mobil sambil menggenggam jemari Karan.

Karan menoleh, menatapnya penuh keyakinan. Ia meremas lembut tangan Puri dan tersenyum hangat.

“Mama pasti sangat suka sama kamu, Pur. Aku aja sayang banget sama kamu, apalagi mama.”

“Tapi... aku beda agama dengan keluargamu,” ucap Puri pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Karan menghela napas pelan lalu menatapnya dalam-dalam.

“Aku sudah bilang, Pur. Aku akan jadi mualaf. Tapi kita jalani satu per satu. Hari ini cuma perkenalan, bukan bahas pernikahan dulu. Tenang, ya?”

Puri mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar. Tapi genggaman Karan terasa seperti kekuatan yang ia butuhkan.

Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah rumah bergaya Jawa yang sederhana namun teduh.

“Kita sudah sampai,” ucap Karan sambil turun dan membukakan pintu untuk Puri.

“Yuk, aku kenalkan kamu ke mama.” Karan tersenyum, menenangkan.

Puri menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk ke halaman rumah Karan.

Aroma gudeg yang masih hangat dari bungkusan di tangannya seolah ikut menenangkan hatinya yang berdebar.

Karan menggenggam tangannya erat, seolah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Pintu rumah terbuka, dan seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah muncul dari dalam. Senyumnya langsung mengembang saat melihat Karan.

“Karan… anakku!” serunya sambil memeluk Karan erat.

Karan membalas pelukan itu lalu berbalik pada Puri.

“Ma, kenalin. Ini Puri…”

Puri menunduk sopan, menyodorkan tangan. “Selamat sore, Tante…”

Mama Karan menatap Puri sejenak, ada keheningan singkat sebelum senyumnya kembali muncul dan ia menyambut tangan Puri dan memeluknya hangat.

“Jangan panggil Tante, nak. Panggil Mama saja. Selamat datang di rumah ini…”

Puri sempat tertegun, hatinya perlahan mencair. Karan menghela napas lega dan tersenyum bangga.

“Mama, ini gudeg dari Wijilan, favorit Mama. Kita beli sebelum ke sini,” ucap Karan sambil menyerahkan bungkusan.

“Wah! Terima kasih, Puri. Kalian pasti capek. Masuk, ayo makan dulu. Mama udah siapin teh hangat juga.”

Mereka bertiga pun masuk ke ruang makan. Suasana yang awalnya membuat Puri cemas kini berubah jadi hangat.

Ia mulai merasa diterima, meski dalam hati masih menyimpan banyak hal yang harus dijelaskan nantinya.

Puri tersenyum malu mendengar pujian itu. Ia menunduk sopan, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya.

“Terima kasih, Ma… Puri jadi nggak enak dipuji seperti itu,” ucapnya pelan.

Mama Karan tertawa lembut. “Jangan sungkan, Nak. Di rumah ini kamu dianggap keluarga. Karan itu jarang bawa perempuan ke rumah, lho. Baru kali ini Mama lihat dia benar-benar serius.”

Puri menatap kamar sederhana tapi bersih yang disiapkan untuknya. Hatinya terasa hangat.

Di dinding terlihat salib yang terpasang rapi, juga patung kecil Bunda Maria di sudut rak.

Puri menelan ludah pelan, ini dunia yang sedikit berbeda dari yang biasa ia jalani, tapi keramahan Mama Karan membuatnya tidak merasa asing.

Mama menepuk pundaknya pelan. “Istirahat dulu ya, Nak. Mama tahu perjalanan jauh pasti capek. Nanti malam kita makan bersama.”

Puri mengangguk. “Iya, Ma. Terima kasih banyak…”

Saat Mama keluar dari kamar, Puri duduk di tepi ranjang, matanya menyapu sekeliling ruangan.

Ia tahu, perjalanan cintanya dengan Karan tak akan mudah. Tapi untuk saat ini, ia memilih mensyukuri sambutan hangat yang ia terima.

1
kalea rizuky
hamil deh
kalea rizuky
bagus awalnya tp karena MC nya berhijab tp berzina maaf Q skip karena gk bermoral kecuali dia di perkosa
kalea rizuky
tuh dnger emak nya karan g stuju ma loe
kalea rizuky
berjilbab tp berzina pur pur didikan ibumu jos
kalea rizuky
pasti ortu karan gk setuju pur. pur bodoh qm blom nikah uda ilang perawan
kalea rizuky
puri kenal karan jd murahan
kalea rizuky
harusnya di pesenin lah taksi online Yuda gk tanggung jawab bgt
kalea rizuky
masih menyimak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!