Kematian adik perempuannya yang tragis membuat Rama berubah 180 derajat. Apa lagi ketidak mampuannya sebagai aparat penegak hukum untuk mengungkap siapa dalang dibaliknya membuatnya menjadi lebih frustasi lagi. Hal itulah yang membuatnya selalu bertindak keras terhadap apa pun yang terjadi di sekelilingnya. Hingga sebuah hukuman dari sang komandan membawanya pada keputusan lain.
Namun peristiwa bom bunuh diri di sebuah kafe di tengah kota membawanya bertemu dengan seorang wartawan lepas yang sedang berjuang mempertaruhkan kariernya di kantor berita nasional.
Kaysa Mella yang sedang mencari bahan pemberitaan untuk menaikkan jenjang kariernya di dunia jurnalis yang sangat dia cintai seperti pengembara yang menemukan oase di tengah padang pasir saat bertemu dengan Rama.
Apakah yang akan terjadi setelah mereka bertemu? lebih banyak drama ataukah tragedi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemicu
*
*
"Ayolah pak, mereka hanya anak-anak, kenapa ditanggapi terlalu serius seperti ini? itu kan biasa." ucap salah satu orang tua murid.
"Biasa?"
"Ya, mereka bermain, bertengkar, berpisah, kemudian bermain lagi. Semua anak seperti itu."
"Jadi, biasa juga ketika ada seorang anak di intimidasi, diikat kemudian di pukuli? Bapak tahu, separah apa pukulan yang di terima Aslan?" reaksi Rama tentu saja sangat keras.
"Itu kan karena dia masih kecil, jadi tampak sangat parah. Kalau dia seumuran anak saya ya tidak akan."
Pria itu terdiam sebentar.
"Jadi menurut bapak kejadian ini biasa?"
"Tentu saja, jadi tidak usah terlalu di permasalahkan."
"Jadi tidak masalah juga kah jka hal yang sama terjadi kepada anak bapak yang di lakukan oleh kakak kelasnya?"
Si orang tua tampak terdiam.
"Hal itu terasa biasa saja karena terjadi kepada orang lain. Tapi tempatkanlah bapak sendiri di posisi mereka. Apa yang akan bapak lakukan? tidak usah melihatnya dari segi hukum karena sudah jelas ini sebagai tindakan kriminal, bukan hanya kenakalan remaja semata. Tapi lihatlah sebagai manusia. Ataukah kekerasan seperti ini memang sudah biasa bapak lakukan sehingga tidak masalah jika terjadi?"
"Saya hidup di dunia militer, dan kekerasan sudah biasa kami hadapi. Tapi bukan berarti itu menjadi hal biasa untuk di jalani, karena kami menjalaninya untuk disiplin dan menegakkan keadilan. Maka dengan ini saya menuntut keadilan bagi Aslan." Rama bangkit dari duduknya, merasa tak ada hal yang harus di bicarakan lagi. Karena apa pun yang di katakannya tampaknya tidak akan berpengaruh.
Orang tua murid yang di wakili oleh pria ini tetap bersikukuh dengan pendirian mereka, dan merasa tak harus melakukan sesuatu kepada anak-anak.
"Ayolah pak Rama, kita bicarakan lagi ini dengan benar. Kami meminta maaf atas perlakuan anak-anak, tapi bukan berarti harus menempuh jalur hukum kan? mereka masih di bawah umur."
Rama menggelengkan kepala.
"Saya meminta tiga anak untuk di rehabilitasi, dan anda sebagai orang tuanya juga harus ikut penyuluhan. Dan utuk dua anak lainnya, saya pastikan mereka akan menghadapi pengadilan anak." ucapan Rama tidak dapat di bantah lagi, apa lagi ketika dua orang penyidik masuk ke dalam ruang kepala sekolah dan memberi isyarat kepadanya bahwa pekerjaan mereka di tempat kejadian perkara sudah selesai.
Bersamaan dengan ponsel pria itu yang berbunyi nyaring, dan nomor Kaysa yang melakukan panggilan.
*
*
Rama berlari sejak dia tiba di rumah sakit, mendengar teriakan Aslan saat Kaysa melakukan panggilan kepadanya membuat dia tak bisa menunggu lebih lama lagi.
Dan benar saja, anak itu masih histeris ketika dia sampai di depan ruang perawatannya.
Seorang dokter dan dua perawat yang bermaksud melakukan pemeriksaan rutin tengah berusaha menenangkannya.
"Aslan mimp buruk, lalu mengamuk saat aku membangunkannya." Kaysa mengadu kepadanya. Dia tampak frustasi, tentu saja karena merasa tak mampu menenangkan anaknya sendiri.
"Om Rama, tolong! mereka mau jahatin aku!" Aslan berteriak dari bawah tempat tidur, sementara dokter dan perawat juga Radit berusaha membujuknya.
"Ampun! aku nggak ngadu!" teriakan bocah itu terdengar memilukan.
"Om Rama! aku takut!"
Rama segera masuk dan melihat Aslan berada di bawah tempat tidur. Meringkuk seperti saat dia menemukannya semalam. Memejamkan mata dan menutup kedua telinga dengan tangannya.
Dalam bayangannya, dia masih berada di dalam bangunan tua yang gelap itu, dengan ke lima anak yang lebih besar darinya. Menendang, memukul dan megencinginya. Bahkan memaki dan megucapkan kata-kata kasar kepadanya.
"Ampuun! aku nggak akan ngadu lagi!" teriakan Aslan menjadi semakin kencang.
"Kalin semua mundurlah." Rama segera mengambil tindakan.
"Aslan harus di tenangkan Pak Rama, atau dia akan membahayakan dirinya sendiri." ucap dokter, kemudian memerintahkan kepada perawat untuk menyiapkan obat penenang.
"Percayalah dokter, obat penenang bukanlah solusinya." Rama meyakinkan.
"Tapi kami juga harus memberikan pengobatan kepadanya."
"Biarkan saya mencoba membujuknya."
"Kami saja sulit membujuknya sejak tadi, bagaimana kau akan membujuknya?" Radit berujar.
"Hanya biarkan saja aku melakukanya."
Kemudian semua orang yang berada di ruangan itu pun mundur. Mereka keluar dan memutuskan untuk melihat dari luar saja. Kecuali Rama yang tetap tinggal untuk membujuk anak itu.
"Aslan?" Rama membungkukkan tubuhnya, stengah bersujud. Melihat Aslan di bawah tempat tidur memeluk tubuhnya sendiri.
"Aslan, ini om Rama, kamu sudah aman." katanya, mencoba menyadarkannya yang masih memejamkan mata dengan tubuhnya yang berkeringat namun tampak menggigil.
"Aslan?"
Anak itu membuka mata.
"Hey? ayo keluar? sudah aman sekarang?"
"Orang-orangnya ... banyak om. Mereka jahat. Aku takut." Aslan mulai bersuara.
"Tidak ada. Mereka sudah pergi." Rama meyakinkan.
"Tapi mereka ...
"Tidak ada. Ayo." Rama mengulurkan tangannya.
"Takut Om, mereka jahat sama aku."
"Tidak Aslan, om akan melindungimu. Ayo, keluar?" sekali lagi pria itu meyakinkan.
Akhirnya Aslan bangkit lalu mengulurkan tangannya, ragu-ragu dia meraih jemari Rama yang berusaha menangkapnya. Dan setelahnya, pria itu menariknya keluar perlahan.
Segera saja bocah yang hampir berusia delapan tahun itu menghambur ke pelukannya. Merangkul leher Rama begitu erat dan menyembunyikan wajahnya di pundak pria itu.
"Aman, sudah aman. Kamu selamat." Rama balas memeluknya.
"Sekarang Aslan tidur lagi oke?" dia hampir saja menurunkannya ke atas tempat tidur. Namun Aslan malah mengeratkan pelukan.
"Aslan?" Kaysa pun datang menghampiri.
"Nggak mau, aku nggak mau tidur! nanti mimpi lagi! aku takut, huhu ..." dia kembali menangis.
"Sudah, tidak apa-apa. Biarkan dulu dia seperti ini." uca Rama yang mengalah. Dia sendiri memilih duduk di ranjang perawatan memeluk Aslan yang tak seditikpun melonggarkan lilitan tagannya. Berlindung dipelukan kokoh pria itu yang membuatnya merasa aman.
***
"Fisiknya cepat membaik, namun kejiwaannya harus kita bantu pulihkan. Jelas Aslan mengalami trauma berat." seorang dokter kejiwaan menyelesaikan sesi konsultasi hari itu.
"Apa parah?" Kaysa mengusap-usap punggung Aslan yang masih betah di pelukan Rama.
"Semoga tidak. Maka terapinya harus di segerakan. Begitu dia pulih, kita akan mulai." jawab sang dokter.
"Aku nggak mau sekolah." anak itu buka suara.
"Tidak akan." Rama menyahut.
Kaysa hampir saja menangis.
"Sepertinya bukan hanya perundungan yang membuatnya se trauma ini. Apa ada hal lainnya yang pernah dia alami?" dokter menelisik.
"Seingat saya tidak, ..." Kaysa menggelengkan kepala. "Selain perceraian kami." lanjutnya, dan dia setengah menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.
"Perceraian anda?" dokter menatap Kaysa dan Rama secara bergantian.
"Saya dan papanya. Bukan Pak Rama."
"Oh, ...
"Apa itu bisa jadi pemicu?"
"Mungkin saja. Apa sejak perceraian Aslan mengalami perubahan sikap?"
"Tidak. Dia tampak biasa saja. Kami berhadil melewatinya dengan normal. Saya rasa." Kaysa mengingat masa-masa sulit yang pernah mereka lewati.
Anak itu bahkan tak pernah tampak murung sejak mereka bersama lagi. Dia malah yang paling sering menyemangatinya setiap saat. Tapi apa mungkin di balik itu semua Aslan menyembunyikan perasaannya sendiri?
Normalnya anak-anak lain akan bersedih dan emosi ketika mengetahui masalah perceraian orang tuanya, tapi tidak dengan Aslan.
Atau kebiasaannya yang menekan perasaanlah yang menjadi penyebabnya?
Kaysa merasakan hatinya runtuh seketika, dan dia tak mampu lagi menahan tangisnya.
*
*
*
Bersambung ...
Votenya masih adakah? 😂😂😂
ini keren thoooorrr...