Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Bubur Gosong Penuh Cinta
"Air... haus..."
Suara parau Gavin memecah keheningan pagi yang basah sisa hujan semalam. Matanya mengerjap perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang menembus celah gorden.
Kepalanya masih terasa berat, seperti diisi kapas basah, tapi rasa panas yang membakar tubuhnya semalam sudah mereda.
Kiana, yang tertidur di kursi dengan posisi leher tertekuk aneh, langsung terbangun.
"Gavin?" Kiana menegakkan tubuh, mengabaikan lehernya yang kaku. Dia segera mengambil gelas air di nakas, membimbing Gavin untuk minum lewat sedotan.
Gavin menyedot air itu rakus, lalu menghela napas panjang. Dia menatap Kiana. Wajah istrinya terlihat lelah, ada lingkaran hitam di bawah matanya, dan rambutnya berantakan. Tapi entah kenapa, di mata Gavin pagi ini, Kiana terlihat... cantik.
"Kamu nggak tidur?" tanya Gavin pelan.
"Tidur kok. Merem ayam," dusta Kiana sambil meletakkan gelas. Dia mengecek dahi Gavin dengan punggung tangannya. "Udah turun panasnya. Tapi masih anget dikit. Jangan banyak gerak dulu."
Gavin tersenyum tipis. "Laper."
Satu kata itu membuat Kiana membeku.
Lapar.
Ingatan tentang tantangan Bu Laras kemarin sore langsung menghantam Kiana seperti truk tronton. Masakan rumah. Harus dimasak sendiri.
Kiana melirik jam dinding. Pukul 07.00 pagi.
"Tunggu sebentar. Aku... aku buatkan sesuatu," kata Kiana gugup, lalu buru-buru keluar kamar sebelum Gavin bertanya mau masak apa.
Di dapur.
Kiana menatap panci berisi beras dan air dengan tatapan penuh dendam.
"Masak bubur itu gampang, Kiana. Cuma nasi yang overcooked," gumamnya menyemangati diri sendiri. "Nggak mungkin gagal lagi kayak sop buntut kemarin."
Dia menyalakan kompor, mengaduk-aduk beras itu.
Pikirannya melayang ke kejadian semalam. Saat Gavin memegang tangannya. Saat Gavin memohon padanya untuk tidak pergi.
Aku butuh kamu.
Suara Gavin terngiang-ngiang di kepalanya, membuat pipi Kiana memanas. Dia senyum-senyum sendiri menatap pusaran air beras yang mendidih.
Apakah itu artinya Gavin mulai melupakan Sarah? Atau Kiana cuma pelarian sementara?
"Fokus, Kiana! Jangan baper!" Kiana menggelengkan kepala keras-keras.
Dia mengambil garam. Sejumput, kata resep. Tapi sejumput tangan Kiana yang biasa memegang pulpen mahal itu agak generous. Dia menaburkan garam cukup banyak.
"Biar ada rasanya. Orang sakit lidahnya pait," logika Kiana.
Lalu dia kembali melamun. Membayangkan wajah Gavin yang tertidur pulas. Membayangkan bagaimana rasanya kalau mereka benar-benar jadi suami istri normal tanpa kontrak.
Tanpa sadar, Kiana berhenti mengaduk.
Api di bawah panci terus menyala. Air menyusut.
Beras di bagian dasar panci mulai lengket, lalu mengering, lalu menghitam.
Bau sangit mulai tercium.
"Eh?" Kiana tersadar karena hidungnya mencium aroma yang tidak sedap. "Bau apa ini?"
Dia melihat ke dalam panci. Buburnya meletup-letup kental. Tapi warnanya... kenapa agak kecokelatan? Dan ada serpihan hitam yang naik ke permukaan saat dia mengaduknya panik.
"Sialan! Gosong!" pekik Kiana.
Dia buru-buru mematikan kompor. Dia mencicipi sedikit bubur yang ada di sendok.
Rasanya... unik. Ada rasa gurih santan (dia pakai santan instan), rasa asin yang agak nendang, dan aftertaste pahit gosong yang dominan. Seperti makan arang yang dibumbui garam.
"Mati aku," desis Kiana. "Bu Laras bakal bikin pesta syukuran kalau tahu ini."
Dia mau membuangnya dan beli bubur ayam di depan komplek. Tapi dia ingat CCTV. Dia ingat harga dirinya. Dia tidak boleh curang.
"Tante! Papa udah bangun belum?" suara Alea terdengar dari ruang tengah.
Kiana panik. Waktunya habis.
Dengan tangan gemetar, dia menyendok bagian bubur yang "paling mendingan"—bagian atas yang tidak terlalu hitam—ke dalam mangkuk keramik putih. Dia mencoba menghiasnya dengan irisan daun bawang yang potongannya tidak simetris dan kerupuk yang agak melempem.
"Bismillah. Semoga lidah Gavin lagi mati rasa," doa Kiana putus asa.
Kiana masuk ke kamar Gavin membawa nampan berisi mangkuk bubur "spesial" dan segelas air hangat.
Di dalam kamar, Bu Laras sudah standby. Wanita tua itu duduk di sofa dengan wajah segar bugar seolah semalam tidak terjadi apa-apa, siap menjadi juri MasterChef versi neraka.
Alea duduk di kasur di samping kaki Gavin, memijat kaki ayahnya.
"Nah, itu dia sang koki," sindir Bu Laras begitu melihat Kiana masuk. Matanya langsung tertuju pada mangkuk di nampan. "Lama sekali. Masak bubur atau nanem padi dulu?"
Kiana tidak menjawab. Dia meletakkan nampan di meja lipat di atas kasur, di depan Gavin.
"Sarapan, Gav," kata Kiana pelan, tidak berani menatap mata Gavin.
Gavin menegakkan duduknya, bersandar di bantal yang ditumpuk. Dia melihat mangkuk itu.
Buburnya berwarna krem kusam dengan bintik-bintik hitam misterius. Teksturnya terlalu kental, seperti lem kertas. Dan baunya... ada aroma smoky yang terlalu kuat untuk disebut bubur ayam.
Bu Laras berdiri, mendekat untuk menginspeksi. Dia mengendus udara, lalu tertawa mengejek.
"Bau apa ini? Bau ban dibakar?" Bu Laras menunjuk mangkuk itu dengan tongkatnya. "Kamu kasih makan menantu saya, arang? Warnanya saja dekil begitu. Makanan kucing di petshop langganan saya lebih layak daripada ini!"
Alea ikut melihat. "Kok item-item, Tante? Ada semutnya?"
Wajah Kiana merah padam. Dia meremas ujung bajunya. Dia ingin membela diri, tapi faktanya memang bubur itu gagal.
"Itu... itu teknik slow cooking, Bu. Memang agak... karamelisasi di bawahnya," ngeles Kiana, menggunakan istilah keren untuk menutupi kegagalan masak.
"Karamelisasi gundulmu!" sembur Bu Laras. "Gavin, jangan dimakan. Nanti ususmu lengket. Mama sudah suruh Bi Inah beli bubur di depan. Sebentar lagi datang. Buang saja sampah ini."
Bu Laras hendak menyingkirkan mangkuk itu.
"Tunggu, Ma."
Tangan Gavin menahan tangan ibunya.
Gavin menatap bubur itu, lalu menatap Kiana. Dia melihat gurat kecemasan dan rasa malu yang sangat di mata istrinya.
Dia melihat plester di jari telunjuk Kiana yang kotor kena kunyit. Dia melihat betapa Kiana sudah berusaha keras, melawan egonya sendiri, demi merawatnya.
Gavin mengambil sendok.
"Gavin! Kamu gila? Itu racun!" cegah Bu Laras.
"Ini masakan istriku, Ma," jawab Gavin tenang. "Dia sudah capek-capek masak. Nggak sopan kalau dibuang."
Gavin menyendok bubur itu. Kiana menahan napas. Jangan dimakan, Gavin. Please, jangan. Aku malu, batin Kiana menjerit.
Gavin memasukkan sendok itu ke mulutnya.
Kunyahan pertama.
Rasa asin yang menusuk lidah langsung menyebar. Diikuti rasa pahit gosong yang menempel di langit-langit mulut. Teksturnya lengket dan ada butiran beras yang belum matang sempurna.
Rasanya mengerikan. Benar-benar bencana kuliner.
Gavin berhenti mengunyah sejenak. Jakunnya bergerak naik turun, berusaha menelan gumpalan itu.
Kiana menutup matanya, siap mendengar Gavin muntah atau memaki. Bu Laras sudah tersenyum kemenangan, siap melontarkan ejekan pamungkas.
Tapi Gavin menelan bubur yang ada di mulutnya itu sampai habis.
Lalu, dia mengambil tisu, mengelap bibirnya, dan menatap Kiana lekat-lekat.
Senyum tipis, namun sangat hangat, terbit di bibir pucat Gavin.
"Enak," kata Gavin. Suaranya tulus, tidak terdengar sarkas sama sekali. "Ini bubur paling enak yang pernah saya makan seumur hidup saya."
Hening.
Mata Bu Laras melotot sampai mau keluar. "Apa?! Lidahmu rusak ya gara-gara demam?! Itu gosong, Gavin!"
"Nggak, Ma. Ini pas. Gurihnya beda. Ada rasa... perjuangannya," jawab Gavin santai, lalu menyendok suapan kedua dengan mantap, seolah dia sedang makan Foie Gras di restoran Paris.
Kiana membuka matanya. Dia ternganga menatap Gavin. Pria itu gila. Jelas-jelas bubur itu sampah. Tapi Gavin memakannya dengan lahap, bahkan menghabiskan isi mangkuk itu sampai bersih tanpa sisa.
Kiana tahu Gavin bohong. Dia tahu Gavin cuma ingin melindunginya dari mulut pedas Bu Laras.
Tapi melihat Gavin rela menelan bubur gosong itu demi menjaga harga dirinya... pipi Kiana memerah hebat. Jantungnya berdegup kencang, kali ini bukan karena takut, tapi karena perasaan aneh yang membuncah seperti kembang api.
Dasar bucin, batin Kiana, memaki dalam hati untuk menutupi rasa harunya.
Tapi sudut bibirnya tidak bisa diajak kompromi. Kiana tersenyum. Senyum malu-malu yang sangat manis, yang jarang sekali dia perlihatkan pada dunia.
"Lain kali..." Kiana berbisik pelan saat menuangkan air minum untuk Gavin, "Aku beli aja deh. Jangan siksa lambungmu lagi."
Gavin mengedipkan sebelah matanya. "Nggak apa-apa. Lambung saya kuat kok kalau buat kamu."
Bu Laras, yang merasa diabaikan dan dikalahkan oleh semangkuk bubur gosong, menghentakkan tongkatnya ke lantai dengan kesal.
"Terserah kalian! Pasangan aneh! Makan tuh arang!" gerutu Bu Laras sambil keluar kamar dengan emosi.
Alea bingung melihat neneknya marah-marah, tapi dia senang melihat Papanya makan banyak. "Papa hebat! Makannya habis! Berarti Papa cepet sembuh!"
"Iya dong," Gavin mengacak rambut Alea, lalu tangannya yang satu lagi diam-diam menggenggam tangan Kiana di samping kasur.
Pagi itu, Kiana belajar satu hal lagi: Cinta itu kadang rasanya pahit dan gosong, tapi kalau ditelan bersama orang yang tepat, rasanya jadi manis.