Melodi terpaksa menerima perjodohan yang sebenarnya ditujukan untuk kakaknya. Ia dinikahkan dengan Gilang, gitaris sekaligus vokalis terkenal berusia 32 tahun—pria dingin yang menerima pernikahan itu hanya demi menepati janji lama keluarganya.
Sebelum ikut ke Jakarta, Melodi meminta sebuah perjanjian pribadi agar ia tetap bisa menjaga batas dan harga dirinya. Gilang setuju, dengan satu syarat: Melodi harus tetap berada dekat dengannya, bekerja sebagai asisten pribadinya.
Namun sesampainya di Jakarta, Melodi mendapati kenyataan pahit:
Gilang sudah memiliki seorang kekasih yang selalu berada di sisinya.
Kini Melodi hidup sebagai istri yang tak dianggap, terikat dalam pernikahan tanpa cinta, sambil menjalani hari-hari sebagai asisten bagi pria yang hatinya milik orang lain. Namun di balik dinginnya Gilang, Melodi mulai melihat sisi yang tak pernah ditunjukkan sang selebritis pada dunia—dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh mulai muncul di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santisnt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perjodohan
Ibu Melodi melanjutkan ceritanya dengan lembut.
“Dulu, saat itu Pak Ruli dan istrinya, Ibu Gita, belum punya anak. Sedangkan Ibu dan Ayahmu sudah memiliki kedua abangmu. Ayah rutin mengantarkan mereka ke tempat pengobatan tradisional. Tanpa disangka, Ibu Gita hamil anak pertamanya laki-laki, dan Ibu hamil anak ketiga kita, Mbak Mira,” jelas ibu Melodi.
Melodi menatap ibunya, mencoba memahami alur kisah keluarga yang baru saja terungkap.
“Oh, jadi Ibu dan Ibu Gita sama-sama hamil. Lucu juga ya, Bestie-an gitu,” ujar Melodi sambil tersenyum, mencoba mencerna cerita masa lalu yang terasa hangat dan menggelitik.
Ibu Melodi ikut tersenyum, mengangguk pelan.
“Iya, Nak… lucu tapi juga penuh kenangan. Waktu itu semua terasa begitu spesial.”
“Sampai saat itu, ketika anak-anak mereka berumur sekitar satu tahun, Pak Ruli akhirnya pindah kerja, sudah tidak lagi di PT yang sama dengan Ayah. Saat berpisah, mereka sepakat… bahwa nanti, ketika besar, Mira dan anak Pak Ruli akan dijodohkan,” jelas ibu Melodi.
Melodi mendengarkan dengan seksama, rasa penasaran dan sedikit kaget mulai muncul di wajahnya.
“Loh… tapi kan sekarang Mbak Mira sudah menikah, punya anak tiga juga. Nggak mungkin lah, Bu,” ujarnya, sedikit tak percaya.
“Iya, Nak… tapi janji tetap janji, apalagi Ayahmu sudah meninggal,” jawab ibu Melodi pelan, nada suaranya serius tapi lembut.
“Tapi… gimana, Bu? Orangnya kan sudah punya keluarga. Bilang aja, bukan salah Mbak Mira, Ibu, atau Ayah… kenapa mereka baru datang sekarang?” tanya Melodi, masih kebingungan dengan keadaan yang ia dengar.
Ibu Melodi menghela napas panjang, menatap putrinya.
“Mereka datang ke sini untuk menagih janjinya Ayah, Nak. Bukan untuk mereka sendiri, tapi untuk ketenangan almarhum Ayah juga. Bagaimanapun, Ayahmu sudah berjanji, berarti Ayahmu juga berhutang,” jelas ibu Melodi dengan nada lembut namun tegas.
“Tapi gimana lagi, Bu… nggak mungkin juga sama Mbak Mira,” ucap Melodi, wajahnya terlihat bingung dan ragu.
“Ibu sudah jelaskan begitu, Nak. Mereka menginginkan kamu,” jawab ibu, menatap putrinya dengan serius.
“Aku…?” tanya Melodi pelan, jantungnya berdebar mendengar kata-kata itu.
“Nggak bisa lah, Bu… aku baru aja mulai kerja, baru selesai kuliah. Masa iya harus nikah sekarang?” tegas Melodi, masih tak percaya dengan pembicaraan itu.
“Lagian… seumuran Mbak Mira kan berarti 32 tahun, beda jauh sama aku, Bu,” tambahnya, wajahnya serius tapi sedikit panik.
Ibu Melodi mengangguk pelan, mencoba menenangkan putrinya.
“Kan yang membuat janji Ayah sama temannya dulu"ucap melodi
"Nak… jadi kita memang nggak tahu apa-apa. Tapi itu tetap janji yang harus dihargai.”ucap ibu menggenggam tangan melodi
Ibu menatap Melodi dengan lembut, suaranya tenang namun tegas.
“Ibu nggak akan memaksamu, Nak. Kalau kamu bersedia, lakukanlah untuk Ayah,” ujarnya pelan.
“Sebagai umat beragama, siapapun yang meninggal tidak boleh meninggalkan hutang-piutang. Sedangkan janji… namanya janji, itu juga termasuk hutang, Nak,” tambah ibu, menekankan pentingnya nilai tersebut.
“Kamu coba pikirkan dulu dengan matang-matang, Nak. Apapun keputusanmu, ibu akan menyampaikannya dengan baik kepada Pak Ruli dan keluarganya, oke?”
Melodi menunduk, memikirkan kata-kata ibunya dengan campuran perasaan bingung, tertekan, dan bertanggung jawab.
“Udah, nanti ini biar Ibu yang beresin semuanya. Kamu ke kamar aja, istirahat, besok kan kerja lagi,” kata ibu sambil tersenyum.
“Iya, Bu… Melodi ke kamar dulu ya,” jawab Melodi sambil bangkit, membawa diri ke kamar untuk beristirahat.
Melodi melangkah pelan ke kamarnya, menutup pintu di belakangnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela. Suasana senja yang mulai meredup menambah rasa hening di dalam kamar.
Di pikirannya, semua kejadian hari ini berkecamuk—mulai dari hari pertamanya bekerja, interaksi dengan Dimas, hingga pembicaraan serius dengan ibunya tentang janji lama Ayah dan perjodohan yang kini menuntutnya mengambil keputusan penting.
Melodi menunduk, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Masa depan yang begitu menentukan kini ada di tangannya sendiri, dan ia harus memikirkan setiap langkah dengan matang. Segala tanggung jawab, keinginan pribadi, dan janji yang harus ditepati bercampur menjadi satu, membuat hatinya berat namun juga memacu tekadnya untuk menghadapi apa pun yang akan datang.