“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Rumah kos itu kini seperti bangunan mati.
Tirai sobek, lantai berdebu, dan aroma lembap memenuhi setiap sudutnya.
Raka duduk di kursi tua ruang tamu, rambutnya berantakan, wajahnya tirus.
Semua yang dulu ia banggakan telah hilang — kekayaan, nama baik, bahkan cinta palsu yang dulu ia kira abadi.
bahkan Ratna juga pergi meninggalkan nya.
“Aku lelah hidup miskin. Aku tidak mau menderita karena kesalahanmu. Jika dulu aku tahu kau hanya pecundang aku tidak akan mengorbankan Andin demi kamu... " begitulah kata Ratna sebelum pergi meninggalkan nya.
Dan seketika, keheningan menyelimuti ruangan.
"Semua orang meninggalkan ku. Hidupku sudah hancur berkeping-keping" lirihnya getir.
Raka menatap kosong ke arah pintu. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang retak — bukan hanya harga diri, tapi juga kebanggaan terakhirnya sebagai sendirian.
Dan kini dia benar-benar sendirian.
Beberapa hari kemudian…
Raka berjalan di tepi jalan kota dengan pakaian lusuh. Langit sore tampak mendung, seperti ikut meratapi nasibnya.
Ia menunduk, tanpa arah, hingga seorang wanita cantik, nampak elegan datang menghampirinya.
“Raka Wicaksono, bukan?” suara wanita itu tenang tapi tajam.
Raka menatap curiga. “Kau siapa?”
wanita itu tersenyum samar.
“Sebut saja… seseorang yang tahu rasa sakit karena dikhianati.”
“Kenapa kau mencariku?”
“Aku punya tawaran,” katanya dingin.
“Tawaran untuk membuat Andin kehilangan segalanya. Sama seperti yang kau alami.”
Raka membeku.
Nama itu — Andin — seolah menghidupkan bara dalam dadanya.
Tapi kini bukan lagi cinta yang menyala, melainkan dendam dan rasa iri yang tak terpadamkan.
“Kenapa kau ingin menjatuhkannya?” tanya Raka dengan nada rendah.
Wanita itu menatap langit kelabu di atas mereka, lalu tersenyum miring.
“Karena aku juga punya alasan pribadi. Tapi kali ini… kita bisa bekerja sama.”
Raka tak menjawab. Ia hanya menatap mata wanita itu — mata dingin, penuh rahasia.
Dan entah mengapa, untuk pertama kalinya, Raka merasa ia kembali punya tujuan… meski itu berawal dari kebencian.
Sementara itu di sisi lain kota,
Andin sedang menjalani hari yang sibuk di lokasi syuting.
Ia semakin dikenal publik, setiap langkahnya selalu diikuti kamera dan pujian. Namun jauh di balik semua sorotan, hatinya masih berjuang untuk berdamai dengan masa lalu.
Setelah syuting selesai, Hans datang menghampirinya sambil membawa bunga mawar putih.
“Andin,” katanya lembut.
“selamat untuk kontrak barumu. Kamu benar-benar luar biasa.”
Andin tersenyum malu. “Kau tidak perlu repot-repot membawa bunga setiap kali aku selesai syuting, Hans.”
Hans tertawa kecil.
“Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa di balik semua lampu kamera dan tepuk tangan, ada seseorang yang selalu melihatmu sebagai Andin yang sederhana — bukan bintang.”
Andin menatapnya, matanya bergetar oleh rasa haru.
Ia tahu Hans tulus, tapi bagian dari dirinya masih takut mencintai.
Namun ketika Hans menggenggam tangannya dengan hangat, ia tak bisa menolak rasa damai yang muncul perlahan di dadanya.
“Terima kasih, Hans,” katanya lirih.
“Mungkin… aku mulai belajar mempercayai lagi.”
Hans tersenyum lembut.
“Dan aku akan terus ada di sini sampai kamu yakin sepenuhnya.”
Namun tanpa mereka sadari, dari kejauhan — di balik kaca mobil hitam yang terparkir di seberang jalan — dua pasang mata mengawasi.
wanita itu duduk di dalamnya, menatap tajam kearah Andin dan Hans yang tertawa bersama.
Ia berbicara pelan pada seseorang di kursi belakang.
“Waktu hampir tiba. Biarkan dia menikmati sedikit kebahagiaan dulu… sebelum semuanya kuambil kembali.”
Raka di kursi belakang menatap keluar jendela dengan tatapan dingin.
“Ya,” gumamnya, “sampai saatnya tiba, Andin.”
.
.
.
Bersambung.