“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pak Surya?
Langkah kaki Rani berhenti di ujung gang, tepat saat sebuah mobil putih berhenti pelan di depannya. Dari dalam, Nadia berlari kecil menghampiri sahabatnya itu dengan wajah khawatir.
“Rani…” panggil Nadia pelan, lalu langsung memeluk sahabatnya erat.
Rani membalas pelukan itu, tubuhnya masih sedikit gemetar akibat semua keributan yang baru saja terjadi.
“Ayo… kita pulang ke rumahku. Kamu udah nggak perlu denger omongan orang-orang itu lagi,” ucap Nadia tegas.
Dari dalam mobil, Papa dan Mama Nadia ikut turun. Wajah mereka tampak iba melihat kondisi Rani yang terlihat sangat lelah.
“Anak baik…” ucap Mama Nadia lembut sambil mengelus punggung Rani, “malam ini kamu tidur dengan tenang ya. Kamu sudah cukup lama disakiti.”
Rani hanya mengangguk pelan, suaranya tercekat. Ia menatap ke arah rumah yang kini ramai dipenuhi warga, suara teriakan Bu Marni dan Bu Lastri masih terdengar samar, tapi ia tak lagi peduli.
Papa Nadia melangkah mendekat dengan tenang, memayungi Rani dengan jaketnya. “Mulai malam ini kamu bukan lagi perempuan yang sendirian. Kami di pihakmu, Rani,” katanya dengan nada mantap.
Mereka bertiga pun masuk ke dalam mobil. Saat mobil mulai melaju meninggalkan gang itu, Rani memandangi dari jendela — suara makian dan adu mulut semakin kecil… hilang ditelan jarak.
Di dalam mobil, Nadia menggenggam tangan Rani erat-erat. “Kamu hebat, Ran. Malam ini… kamu resmi bebas dari neraka itu.”
Air mata Rani akhirnya jatuh, bukan karena sedih… tapi karena lega. “Iya, Nad… aku nggak akan pernah balik lagi,” ucapnya lirih namun penuh tekad.
Mama Nadia yang duduk di depan menoleh sambil tersenyum hangat. “Mulai besok, kita urus semua keperluan cerai kamu. Papa juga siap bantu proses hukumnya. Keluarga itu harus tanggung jawab atas semua yang mereka lakukan.”
Papa Nadia mengangguk mantap. “Kamu punya kami sekarang, Rani.”
Mobil itu terus melaju… meninggalkan masa lalu Rani di belakang. Malam yang mencekam kini berubah menjadi awal kebebasan baru.
★★★
Malam itu, langit tampak kelam tanpa bintang. Angin malam berembus pelan, menusuk hingga ke tulang. Di ruang tamu rumah besar milik keluarga Pak Surya, hanya cahaya lampu gantung kristal yang menyala redup—menciptakan suasana tegang seperti ruang interogasi.
Pak Surya duduk di ujung sofa dengan wajah tegang. Ketiga istrinya berdiri di hadapannya. Istri pertama—perempuan berwibawa dengan sorot mata tajam—melangkah maju sambil meletakkan map cokelat di meja.
“Surya, tanda tangani surat ini malam ini juga,” ucapnya dingin.
Suara wanita itu tak keras, tapi penuh tekanan yang membuat dada Pak Surya terasa sesak.
Ia melirik isi map itu—Surat Pengalihan Seluruh Harta atas nama istri pertama: rumah, kendaraan, tanah, hingga rekening tabungan. Semua akan berpindah tangan.
Pak Surya menelan ludah. “Kalian… kalian serius? Ini semua hasil kerja keras aku!”
Istri pertama mengangkat dagu dengan senyum sinis. “Kerja keras kamu? Jangan lupa, aku istri yang ikut susah payah dari nol. Kalau bukan karena aku, kamu bukan siapa-siapa. Jadi… kalau kamu pikir bisa hidup bahagia dengan perempuan itu dan membawa semua ini, kamu salah besar.”
Dua istri lainnya ikut angkat suara.
“Kalau kamu pilih perempuan murahan itu, jangan harap punya apa pun lagi.”
“Mulai malam ini, kamu harus pilih. Kami… atau Melati.”
Nama Melati dilontarkan dengan nada menghina. Pak Surya mengepalkan tangan di atas paha, rahangnya mengeras. Ia ingin membantah, tapi ia tahu — mereka benar. Semua kekayaannya bergantung pada istri pertamanya.
“Surya…” Istri pertama menyodorkan pulpen. “Kalau kamu tanda tangan, semua akan tetap aman. Kamu akan tinggal di sini, dengan kami. Tapi kalau tidak…” Ia berhenti sejenak dan menyeringai tipis. “Besok pagi, pengacara akan datang. Dan kamu… keluar dari rumah ini tanpa sehelai benang pun.”
Suasana menjadi hening. Jam dinding berdetak pelan. Pak Surya menunduk dalam, merasa seperti tahanan yang dijatuhi hukuman.
Dengan tangan gemetar, ia akhirnya menandatangani surat itu. Pulpen beradu dengan kertas, menggoreskan tanda menyerah.
Begitu tanda tangan selesai, istri pertama tersenyum puas. “Bagus… setidaknya kamu masih tahu diri.”
Pak Surya mencoba bicara lirih, “Tapi… Melati—”
Istri pertama mendadak menatap tajam. “Lupakan dia. Kalau kamu masih ingin hidup enak, jangan pernah sebut namanya lagi di depan aku.”
Dua istri lainnya ikut menatap tajam. Pilihannya sudah jelas: kekayaan dan kenyamanan… atau Melati yang tak punya apa-apa.
Beberapa menit kemudian, Pak Surya keluar dari rumah itu. Angin malam menyambutnya dengan dingin. Di depan gerbang, Melati berdiri menunggunya dengan wajah penuh harap dan mata berbinar.
“Pak Surya… gimana? Kapan kita nikah?” tanya Melati manja sambil menyentuh lengannya.
Pak Surya terdiam lama, lalu perlahan menatap Melati dengan sorot mata kosong.
“Kita nggak akan menikah, Melati…” ucapnya pelan namun tajam.
Wajah Melati langsung berubah tegang. “Apa maksudmu?”
“Aku… memilih keluargaku. Dan… aku nggak bisa kehilangan semua itu hanya karena kamu.”
Melati mundur satu langkah, air matanya mulai menggenang. “Jadi… kamu cuma manfaatin aku?”
Pak Surya tak menjawab. Ia hanya melewati Melati dan melangkah kembali ke rumah, meninggalkannya sendirian di gerbang.
Angin malam bertiup semakin kencang. Melati terduduk di tanah, menggenggam perutnya yang mulai membesar.
Air mata mengalir deras di pipinya. “Dasar… bajingan…” bisiknya lirih.
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati