Cerita ini untuk pembaca dewasa. Baca dengan bijak❗
Cherry Gabriella mengambil satu keputusan nekat yang mengubah seluruh hidupnya, menjadi ibu pengganti bagi pewaris berhati dingin, Trevor Spencer.
Namun, ketika bayi mungilnya lahir, Cherry tak sanggup menyerahkan darah dagingnya, meski harus diburu oleh pria yang bisa membeli segalanya… bahkan nyawanya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Adrian adalah pelindung Cherry dari para lelaki yang mencoba melecehkannya di kampus. Ia adalah Ketua BEM di universitas mereka, dan Cherry mengenalnya karena Adrian merupakan sepupu Erika sekaligus teman sekelas di beberapa mata kuliah. Dialah yang menghukum para lelaki yang berani mengganggu Cherry dan konon, hukumannya tidak main-main. Sejak itu, tak ada lagi yang berani berbuat macam-macam padanya.
Para lelaki hanya berani mendekati Cherry ketika Adrian tidak ada di sisinya, sekedar untuk memberi hadiah atau menyatakan perasaan. Begitu besar ketakutan mereka terhadap Adrian.
Adrian dan Erika adalah kesatria pelindung Cherry; bagaikan pedang dan perisai. Karena itu, Cherry selalu bersyukur atas kehadiran mereka dalam hidupnya.
“Sudah ya, bye Cherry. Nanti kita video call lagi. Aku masuk mobil dulu,” ujar Erika sambil melangkah masuk ke mobil, meninggalkan Cherry berdua dengan Adrian.
“Biarkan dia dulu,” ucap Adrian pelan. “Dia memang begitu karena tidak mau kamu melihatnya menangis. Dia tahu kalau kamu melihatnya menangis, kamu akan makin terluka. Sekarang, di dalam mobil, dia pasti sedang menangis.”
“Kenapa kamu benar-benar harus pergi, Adrian?” tanya Cherry lirih. “Aku tahu kamu sebenarnya tidak punya rencana seperti itu, jadi kenapa tiba-tiba berubah pikiran?”
“Kalau kamu mau menerima perasaanku, mungkin aku akan berubah pikiran dan tetap tinggal,” jawab Adrian, membuat Cherry mengernyit bingung.
“Apa maksudmu?”
“Sampai sekarang aku masih gugup, Cherry,” ucap Adrian sambil menghela napas. “Aku belum bisa mengatakannya dengan cara yang tepat. Maaf kalau aku membuat pikiranmu kacau. Tapi, ya... adil juga sih, karena kamu juga selalu membuat pikiranku kacau.”
Cherry menatapnya dalam kebingungan. “Adrian, apa maksudmu sebenarnya?”
“Nanti akan aku katakan dengan jelas kalau sudah waktunya, kalau aku sudah tidak gugup lagi di hadapanmu,” jawabnya tenang.
“Adrian, aku bingung. Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?” desak Cherry.
Adrian menatapnya lembut. “Aku tahu kamu mulai menyukai ayah dari anakmu. Aku tidak akan ikut campur, karena yang aku inginkan hanyalah kamu bahagia, Cherry. Tapi kalau suatu hari nanti dia menyakitimu, aku akan merebutmu darinya. Mungkin saat itulah aku akan mengungkapkan perasaanku. Tapi kalau hari itu tidak pernah datang... ya sudah. Good luck untuk diriku sendiri.” Ia tertawa kecil, mencoba menyembunyikan ketulusannya di balik nada santai.
“Mengungkapkan? Mengungkapkan apa?” tanya Cherry polos.
“Aku belum bisa menjawabnya sekarang,” kata Adrian lembut. “Tapi sebelum aku pergi, aku ingin kamu tahu... ini bukan karena aku gugup. Aku merelakanmu, Cherry meski kamu tak pernah jadi milikku. Aku merelakanmu untuk ayah dari anakmu. Tapi ingat apa yang kukatakan tadi. Dan sebelum aku pergi...” ia menatap Cherry dalam-dalam, “ada satu hal yang ingin kulakukan. Tolong jangan benci aku.”
Cherry terkejut saat Adrian tiba-tiba mencium pipinya. Ia membeku, dan sebelum sempat berkata apa pun, Adrian sudah masuk ke mobil. Mobil itu pun melaju, meninggalkan Cherry yang masih terpaku di tempat.
“Masuk ke mobil,” suara dingin Trevor Spencer tiba-tiba terdengar.
Trevor? Cherry baru sadar kalau mobil Trevor sudah terparkir tepat di depannya. Ia masih terlalu terkejut untuk menyadarinya sebelumnya.
“Ah, sebentar.” Cherry bergegas mengambil bunga dan hadiah-hadiah dari para mahasiswa tadi.
“Buang saja itu,” perintah Trevor datar.
“Sayang,” sahut Cherry pelan, menahan nada protes.
“Tsk.” Trevor berdecak kesal.
“Pak, bisa tolong bukakan bagasi? Saya mau taruh ini di belakang,” pinta Cherry pada sopir, yang segera melaksanakan perintahnya.
Namun sebelum ia sempat menaruh apa pun, Trevor keluar dari mobil, merebut semua barang dari tangannya, lalu memasukkannya sendiri ke bagasi.
“Masuk,” katanya singkat sambil membukakan pintu untuk Cherry.
“Terima kasih,” ucap Cherry setelah duduk di dalam, diikuti Trevor yang ikut masuk.
“Jalan,” perintah Trevor pada sopir.
“Tidak usah repot-repot menjemputku tadi, berbahaya kalau ada yang melihat,” ujar Cherry hati-hati. Tapi Trevor hanya menatapnya tajam tanpa sepatah kata pun. Cherry pun memilih diam.
Arnold, putra kecil mereka, tertidur di antara keduanya. Cherry memeluk anak itu, menepuk lembut punggungnya.
Mobil tiba-tiba berhenti di sebuah pemakaman mewah. Cherry mengernyit. Pemakaman ini jelas bukan tempat biasa hanya untuk kalangan atas. Apa mereka akan mengunjungi kerabat Trevor? Mungkin orang tuanya?
“Papa, kita di mana?” tanya Arnold yang baru terbangun.
“Kita di pemakaman, sayang,” jawab Cherry lembut.
“Pemakaman? Kita mau mengunjungi siapa, Ma?” tanya Arnold polos, membuat Cherry ikut melirik Trevor.
“Trevor, kita mau ke mana?” tanya Cherry.
“Ayo turun,” jawab Trevor singkat.
Mereka pun turun dan mengikuti Trevor masuk ke area pemakaman. Tempat itu tampak megah dan tenang. Setiap nisan berdiri indah, tertata rapi dengan berbagai hiasan.
“Jadi ini pemakaman?” tanya Arnold penuh rasa ingin tahu.
“Iya, sayang. Di bawah setiap nisan ini ada orang yang dikubur. Tapi ini pemakaman untuk orang-orang kaya. Kalau pemakaman biasa, nisannya bisa bertumpuk,” jelas Cherry lembut.
“Kita sudah sampai,” ucap Trevor akhirnya.
Cherry menoleh, dan pandangannya langsung membeku. Di hadapannya, berdiri dua nisan bersebelahan bertuliskan:
Anthony Halim
Patricia Lestari
“A-ayah... Ibu?” suara Cherry bergetar. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Di atas setiap nisan, terpasang foto kedua orang tuanya. Tidak mungkin... bukankah mereka dimakamkan di Bogor?
Apa ini ulah Trevor? Tapi dia tidak pernah bilang apa-apa... Cherry sama sekali tidak tahu.
Lutut Cherry lemas. Ia berlutut di antara kedua nisan itu, air matanya mulai menetes.
Kini, ayah dan ibunya punya tempat peristirahatan yang layak. Mereka tidak lagi berdesakan dalam satu liang. Dulu, ketika ayahnya meninggal, Cherry tak punya uang untuk membeli nisan baru, sehingga ia memakamkan ayahnya di tempat yang sama dengan ibunya. Ia selalu berjanji akan memperbaikinya suatu hari nanti, tapi ternyata Trevor sudah melakukannya lebih dulu. Tanpa sepatah kata pun.
Trevor pasti menghabiskan banyak waktu dan usaha untuk menemukan makam orang tuanya dan memindahkan mereka ke sini. Cherry menatapnya penuh haru.
Arnold memeluk Cherry, mencoba menghiburnya. Cherry membalas pelukan itu dan menghapus air matanya.
“Ayah, Ibu, ini cucumu. Namanya Arnold,” ucap Cherry pelan. “Nak, salam sama kakek dan nenekmu.”
“Halo, Kakek dan Nenek,” kata Arnold polos. “Sayang sekali kita nggak bisa ketemu langsung. Tapi aku senang bisa datang ke sini. Terima kasih sudah melahirkan Mama yang baik dan cantik.”
Cherry tersenyum, lalu melirik Trevor yang meletakkan bunga di atas nisan orang tuanya.
“Ibu, Ayah, ini Trevor. Dia ayah dari Arnold,” ucap Cherry lembut. “Dia juga alasan kenapa kalian bisa beristirahat di tempat seindah ini... dan alasan kenapa aku bisa sampai sejauh ini.”
“Mama, ceritain ke mereka prestasi Mama. Pasti mereka bangga,” kata Arnold antusias.
Cherry tersenyum, melepas medali dari lehernya, lalu meletakkannya di nisan orang tuanya.
“Aku sudah lulus, Yah, Bu. Sekarang aku resmi jadi pengacara, seperti yang dulu kita impikan. Aku juga jadi lulusan terbaik di kampusku. Aku harap Ayah dan Ibu bangga,” katanya dengan suara bergetar.
“Pasti mereka bangga sama Mama,” balas Arnold lembut. Cherry tersenyum padanya.
Setelah mengunjungi makam, mereka kembali ke mobil.
“Sayang Kamu pasti capek setelah acara tadi. Kalau ngantuk, tidur saja lagi, ya?” ucap Cherry lembut pada Arnold.
“Capek sih, tapi aku senang. Cuma aku kesal Papa nggak izinkan aku yang memakaikan medali itu ke Mama. Mama kan sendirian waktu itu,” protes Arnold polos.
“Tidak apa-apa, sayang. Lagipula waktu kamu coba maju ke panggung tadi, banyak orang yang kesal sama Mama. Kami hampir berdebat dengan yang duduk di belakang,” ujar Cherry, setengah tertawa.
“Berani-beraninya mereka marah ke Mama!” kata Arnold kesal.
“Tidak apa-apa, sayang. Ada Tante Erika dan Om Adrian yang membela Mama,” ucap Cherry menenangkan.
“Tapi aku nggak suka Om Adrian,” gumam Arnold. “Dia terlalu lengket sama Mama. Waktu melempar topi toga tadi aja, dia sampai melindungi Mama pakai tangannya.”
“Om Adrian cuma melindungi Mama, sayang. Kamu mau Mama kena lempar topi?” tanya Cherry sambil tersenyum.
“Aku nggak mau Mama terluka. Aku juga nggak mau Mama menangis. Waktu Mama nangis pas pidato, aku pengin peluk Mama, tapi Papa nggak izinin,” kata Arnold lirih.
Cherry menatapnya lembut. “Mama juga begitu, sayang. Mama juga terluka kalau kamu menangis.”
Arnold tersenyum kecil. “Mama cantik banget hari ini. Tapi aku kesal sama lelaki-lelaki yang tadi ngelihatin Mama kayak ada maunya.”
“Tidak apa-apa,” jawab Cherry. “Ada Om Adrian dan Tante Erika yang selalu melindungi Mama di kampus.”
“Tetap aja, aku nggak suka Om Adrian. Mama dan Papa aja nggak pernah mesra, tapi sama dia Mama kelihatan dekat banget,” gerutunya lagi.
Suasana langsung hening.
“Soalnya... Mama dan Papa nggak sedekat itu untuk bersikap mesra,” jawab Cherry kikuk.
“Tapi Mama sayang sama Papa, kan? Berarti kalian dekat dong,” balas Arnold polos.
Bagaimana kami bisa dekat kalau Papa-mu bahkan tidak pernah menganggapku? batin Cherry.
Lihat saja, dia bahkan tidak bicara padaku hanya menatap dengan dingin. Aku benar-benar tidak tahu apa salahku hari ini.