NovelToon NovelToon
Harem Sang Putri

Harem Sang Putri

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Reinkarnasi / Transmigrasi ke Dalam Novel / Romansa / Cinta Istana/Kuno / Satu wanita banyak pria
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: miaomiao26

Seharusnya, dengan seorang Kakak Kaisar sebagai pendukung dan empat suami yang melayani, Chunhua menjadi pemenang dalam hidup. Namun, kenyataannya berbanding terbalik.

Tubuh barunya ini telah dirusak oleh racun sejak bertahun-tahun lalu dan telah ditakdirkan mati di bawah pedang salah satu suaminya, An Changyi.

Mati lagi?

Tidak, terima kasih!

Dia sudah pernah mati dua kali dan tidak ingin mati lagi!
Tapi, oh!

Kenapa An Changyi ini memiliki penampilan yang sama dengan orang yang membunuhnya di kehidupan lalu?!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon miaomiao26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10. Bukan Putri Agung

Meninggalkan Jing Zimo yang masih tercengang, Chunhua berjalan melewati pelayan yang sedang menyapu.

Dia berhenti sejenak, melihat pria muda dan rupawan berpakaian kasar.

"Namamu?" tanyanya.

"Budak ini tidak memimiliki nama," jawab pria itu dengan hormat.

Chunhua tersenyum dan mengangguk sekali, membuat pelayan itu tersipu. "Ah, itu bagus," tambahnya, "orang mati tidak butuh nama."

Raut bahagia pelayan itu retak dan sebelum dia sempat bereaksi, dua pria berpakaian hitam tiba-tiba muncul dan membawanya pergi.

Jing Zimo yang melihat itu, menghampiri Chunhua. "Orang itu dari Ibu Suri."

"Tidak masalah," jawabnya, "sudah saatnya tirai ini dibuang."

Jing Zimo berjalan di belakang Chunhua, melihat punggung yang telah menariknya dari neraka.

Jing Zimo bertanya-tanya, apakah hanya perasaannya saja atau hari ini Murong Chunhua bertindak sedikit aneh.

Perempuan itu tidak hanya melihatnya sebagai daging, tetapi juga ... asing.

"Apakah anggur Lan Liang sekuat itu?" bisiknya sembari memijat kening yang tiba-tiba berdenyut nyeri.

Kemudian seolah menyadari sesuatu, Jing Zimo menghentikan gerakannya. "Si bajingan itu, dia menggunakan aku sebagai kelinci percobaan!" tuduhnya, "lihat bagaimana Tuan ini akan membalasmu nanti."

Di paviliun Qingyi, seorang pemuda yang sedang menggiling obat tiba-tiba bersin. "Apakah aku flu?"

Meninggalkan Jing Zimo yang sibuk mengumpat di belakang, Chunhua keluar dari halaman Yunhua dengan diikuti sekelompok pelayan dan kasim, kemudian berbelok ke kiri dan memasuki halaman lain.

Sebuah plakat tergantung anggun di gerbang.

Qingfeng, bunyinya.

Paviliun Qingfeng diselimuti udara yang tenang. Embun masih bergelayut di ujung dedaunan bambu, memantulkan cahaya lembut mentari yang baru naik. Bangunan megah bercat putih pucat berdiri anggun, dinaungi pepohonan yang tertata rapi. Di sinilah Feng Jun, pria yang menemaninya malam itu tinggal.

Chunhua melangkah masuk dengan iringan pelayan pribadi. Tirai sutra di pintu aula utama Qingfeng bergoyang pelan, menyingkap aroma obat pahit yang samar bercampur dengan wangi dupa.

Hidungnya yang lebih peka daripada manusia biasa, segera menangkap sesuatu yang lain—aroma darah.

Ia berhenti sejenak, mengernyit.

Perban, meski berhasil menutup rapat luka, tidak bisa menipu penciumannya. Darah itu masih segar, masih hangat.

Aneh… bagi kebanyakan orang, bau itu menjijikkan. Tetapi bagi dirinya, yang pernah hidup sebagai mayat hidup, aroma itu justru terasa harum. Seperti anggur tua yang manis, menusuk hidung dengan kenangan naluri yang tak bisa ia padamkan.

Hatinya berdesir dan tanpa sadar seulas senyum tipis muncul di bibirnya.

Dia tidak tahu sudah berapa kali memuji selera Putri Fangsu.

Benar-benar punya selera yang bagus.

Tidak hanya tampan, tetapi aromanya pun sangat harum.

Di ruang dalam, Feng Jun yang sedang bersandar di atas dipan, membaca entah apa, tidak tahu dia baru diamati seperti daging.

Tubuh tegapnya disangga bantal tebal. Wajahnya pucat, keringat dingin masih membasahi pelipis, tetapi matanya tetap jernih. Lengan kiri, perpotongan bahu dan leher dibalut perban putih dan meski sudah diperkuat lapisan obat herbal, bau darah samar masih menguap darinya.

Chunhua mendekat, duduk tanpa banyak bicara.

Suara gesekan kursi dan lantai berhasil menarik perhatiannya.

"Yang Mulia," panggilnya. Cepat-cepat dia meletakkan buku dan bermaksud bangun.

"Tetap di sana," ujarnya, "jangan terlalu banyak bergerak atau lukamu akan terbuka lagi."

"Terima kasih Yang Mulia," jawabnya sembari tersenyum.

Pandangan Chunhua menyapu luka itu, lalu kembali ke wajah Feng Jun yang kini menatapnya dengan sorot sedikit lembut.

“Lukamu…” suara Chunhua pelan, nyaris berbisik, “…masih terasa.”

Feng Jun menunduk, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Hanya goresan kecil, Yang Mulia tidak perlu khawatir.”

Chunhua menghela napas pelan. Goresan atau bukan, bagaimana mungkin dia tidak tahu.

Meski bukan kesalahannya sepenuhnya, tetap saja, luka itu terjadi karena malam penuh api yang ia alami saat pertama kali memasuki tubuh Putri Fangsu.

Naluri tubuh barunya terlalu liar, hingga Feng Jun yang menemaninya ikut menanggung akibat.

Ia menunduk sedikit, jemarinya mengetuk lengan kursi. “Aku… telah bergerak terlalu jauh malam itu. Membuatmu terluka. Itu bukan niatku.”

Kalimat itu bukanlah permintaan maaf terang-terangan, tetapi implikasinya jelas.

Feng Jun, yang jarang mendengar pengakuan jujur dari seorang Putri Agung, menatap Chunhua lebih lama, seakan hendak memastikan ia tidak salah dengar.

Sebelum ia bisa merespon, Chunhua mengambil kotak kayu yang diserahkan Su Yin.

Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut perak yang berkilau, berbentuk sulur yang melingkar rumit, dihiasi permata merah sebesar kacang dan rumbai sepanjang setengah lengan. Batu permata yang tersemat memantulkan cahaya merah keemasan, membuat jepit mewah itu tampak anggun luar biasa.

“Sebagai kompensasi,” ucap Chunhua, “terimalah ini.”

Feng Jun tertegun.

Di kerajaan ini, meski memiliki pria sebagai selir sedikit tidak lazim, bukan berarti itu tidak ada.

Jika harus dikatakan, Putri Agung bukan yang pertama dan bukan satu-satunya. Hanya saja, mereka tidak sejujur Murong Chunhua.

Itulah sebab, sebuah peraturan dibuat sejak bertahun-tahun lalu.

Selir pria tidak diperbolehkan mengikat rambut atau menggunakan mahkota seperti pejabat atau bangsawan. Mereka hanya boleh menggerai rambut dan menyematkan hiasan kecil di sisi kepala.

Bagi selir pria, jepit rambut bukan sekadar perhiasan, itu adalah simbol status. Semakin indah hiasannya, semakin jelas posisi mereka di hati majikan.

Perlahan, Feng Jun menerima jepit itu. Jemarinya bergetar tipis saat menyentuh permukaan perak yang dingin. “Yang Mulia…” suaranya parau, “…ini terlalu berharga.”

Chunhua hanya mengangkat alis. “Tidak seberapa. Lagipula, sesuatu yang indah memang harus dipasangkan pada orang yang pantas.”

Pipi Feng Jun memerah, sebersit ingatan terlintas di benaknya.

Feng Jun hendak menjawab, tetapi suara lain memotong momen itu.

“Wah… wah… pemandangan apa ini?”

Langkah kaki terdengar dan Jing Zimo yang akhirnya menyusul melangkah masuk. Pakaian tipisnya menjuntai, rambut panjangnya dibiarkan tergerai, dihiasi jepit rambut berbentuk sayap burung di sisi telinga kirinya.

Dari luar ia tampak seperti selir paling manja, paling cerewet, penuh kecemburuan.

Matanya menyapu Feng Jun yang pucat, kemudian jepit perak di tangannya. Sudut bibirnya terangkat nakal.

"Bukankah ini upeti dari Hanbei?" serunya, "Yang Mulia benar-benar murah hati."

Chunhua tidak tahu siapa yang disindirnya, apakah dia atau orang di istana.

"Yang Mulia, ini terlalu berharga. Saya tidak bisa menerimanya," ujar Feng Jun.

“Itu terlihat cocok untukmu, ambil saja.” Chunhua mendorong balik kotak itu, menolak mengambilnya kembali.

"Kamu di sini, apakah ada yang kamu perlukan?" tanyannya pada Jing Zimo yang asyik meneliti jepit rambut pemberian Chunhua.

Jing Zimo mengambil jepit rambut itu dan mengangkatnya tinggi, gemerincing terdengar nyaring. "Tidak ada," jawabnya, "hanya ingin melihat seperti apa pria yang hampir mati di tempat tidur Putri Agung."

Chunhua mendengus, matanya setengah menyipit. “Sekarang kamu melihatnya, bagaimana menurutmu?”

Dari hiasan rambut itu, Jing Zimo beralih pada Feng Jun. "Rumor memang tidak bisa dipercaya," jawabnya, "dia masih bisa berbicara, tidak semati yang terakhir."

Chunhua melihat Jing Zimo yang masih sibuk mengagumi hiasan rambut itu. Dia mengangkat satu alisnya, kemudian tersenyum meremehkan. "Orang itu ... si domba kecil kelima belas."

Zimo tertawa kecil, menutup mulutnya dengan punggung tangan seolah selir genit. Namun matanya berkilat tajam. “Rupanya Yang Mulia masih mengingatnya.”

Chunhua terkekeh kecil. "Kamu terus melihatnya, apakah kamu menyukainya?"

Jing Zimo mengangguk. "Hal yang begitu indah. Tidak ada yang tidak menyukainya."

"Kamu mau?" tanya Chunhua.

Mata Jing Zimo berbinar. "Bisakah?"

"kalau kamu mau, putri ini bisa memberi satu." Chunhua berdiri, mencubit dagu Jing Zimo dan membuat pria itu melihatnya. "Asalkan lehermu mampu menahan kepalamu agar tidak jatuh."

Kening Jing Zimo mengerut sejenak, kemudian terkekeh kecil dan menjawab. "Putri tenang saja, selama jepit itu cukup indah, leherku tidak akan pernah goyah."

Senyum Chunhua semakin lembut, tetapi entah kenapa membuat bulu kuduk Jing Zimo meremang. Seperti predator yang melihat mangsa.

"Kamu harus mengingatnya dengan baik." Kemudian berdiri dan menepuk pundak Jing Zimo. "Kalian bermainlah sendiri, Putri ini masih ada pekerjaan lain." Dan chunhua pergi.

Jing zimo mengikuti kepergian chunhua, tatapannya menajam.

"Zimo," panggil Feng Jun yang sejak tadi hanya menjadi latar.

"Feng Jun," Jing Zimo juga memanggil, "kamu orang paling lama bersama Yang Mulia, kan?"

Feng Jun ragu sejenak. "Ya," jawabnya. Dia tidak tahu mengapa Jing Zimo tiba-tiba menanyakan ini.

"Bukankah hari ini Tuan Putri sedikit aneh?"

"Apa yang aneh?" Feng Jun bertanya balik.

"Hari ini Yang Mulia tiba-tiba mengeksekusi mata-mata, menanggapi godaanku, sangat perhatian, sedikit lembut dan ... kenapa sepertinya dia mencurigaiku?" Jing Zimo mengabsen satu demi satu keanehan Chunhua.

Bibir Feng Jun mengerut, tidak senang. "Itulah yang ingin aku tanyakan. Apa yang kamu lakukan hingga Yang Mulia memberimu peringatan?" tukasnya.

Jing Zimo menggeleng dengan raut polos."Aku sangat jujur," balasnya, "kau belum menjawabku."

Feng Jun tersenyum tipis. "Sedikit aneh," tuturnya, "seperti Yang Mulia yang dulu sudah kembali."

Jing Zimo melihat ke luar, "benarkah?" bisiknya, "tapi kenapa aku merasa orang ini bukan Yang Mulia?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!