Aira tak menyangka jika pernikahan harmonis yang ia bina kini hancur lebur, karna orang ketiga.
Dunianya hancur, hingga sebuah kecelakaan menimpanya dan membuat ia koma. setelah sadar, ia dihadapkan dengan seorang pria yang tiba-tiba saja menjadikannya seorang budak. hingga dimana Aira dijadikan bak seorang tawanan oleh pria misterius itu.
sementara disisi lain, Rayyan berusaha menjalani dendam yang diamanatkan padanya dari sang ayah. dendam yang begitu membuatnya berapai-api pada Aira.
akankah Rayyan berhasil menuntaskan dendamnya? atau malah rasa cinta timbul dihatinya untuk Aira?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annavita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Rayyan mengabaikan rintihan Aira, memutar balik mobilnya dengan kasar dan melaju kembali menuju rumahnya. Tidak ada lagi kelembutan, tidak ada lagi kepura-puraan. Yang ada hanyalah kemarahan dan kekecewaan yang meluap-luap. Ia merasa dikhianati oleh Aira, merasa bahwa usahanya untuk mendekati wanita itu sia-sia belaka.
Sesampainya di rumah, Rayyan menyeret Aira keluar dari mobil dengan kasar. Ia mencengkeram lengannya erat-erat, membuatnya meringis kesakitan. Ia tidak peduli dengan air mata Aira, ia tidak peduli dengan permohonannya. Ia hanya ingin menghukum wanita itu atas keberaniannya untuk mencoba melarikan diri.
Rayyan menyeret Aira ke dalam rumah dan membawanya ke kamar tidurnya. Ia mendorongnya dengan kasar ke atas ranjang, membuatnya terhempas dan memekik kesakitan.
"Awh... sakit," lirih Aira, memegangi lengannya yang memerah. Air matanya semakin deras mengalir, ia merasa takut dan putus asa. Ia tahu bahwa Rayyan tidak akan membiarkannya lolos begitu saja.
Rayyan tidak menghiraukan rintihan Aira. Ia menatapnya dengan tatapan dingin dan tajam, seperti pisau yang siap menusuk. "Jangan macam-macam denganku, Aira," desis Rayyan dengan suara yang mengancam. "Aku menjadikanmu tawanan selama satu bulan saja! Itupun jika ayahmu menyerah!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Rayyan berbalik dan pergi meninggalkan Aira sendirian di kamar itu. Ia membanting pintu dengan keras, membuat Aira terlonjak kaget.
"Jangan berikan dia apapun, dan jangan membuka kamar itu tanpa seizinku!" perintah Rayyan kepada para pelayan yang berdiri di dekat pintu kamar Aira. Ia ingin memastikan bahwa Aira tidak mendapatkan bantuan atau dukungan dari siapapun. Ia ingin membuatnya merasa benar-benar terisolasi dan tak berdaya.
Rayyan melirik jam tangannya, menyadari bahwa jam istirahatnya hampir habis. Ia harus segera kembali ke kantor jika tidak ingin mendapat masalah. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri dan mengendalikan emosinya.
Dengan langkah cepat, Rayyan meninggalkan rumahnya dan kembali menuju kantor. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan yang ramai dengan pikiran yang berkecamuk.
Sesampainya di tempat parkir kantor, Rayyan segera meraih tabletnya dan membukanya. Ia menghubungkan tablet itu ke server yang terhubung pada komputer di kantornya. Ia ingin melanjutkan pekerjaannya yang tertunda, yaitu mencari tahu siapa saja yang terlibat dalam permainan kotor Pandu.
"Pandu, kita lihat siapa saja yang terlibat dengan permainan kotormu," bisik Rayyan dengan nada sinis. Ia tersenyum licik, membayangkan bagaimana ia akan menghancurkan Pandu dan semua orang yang bersekongkol dengannya. Ia merasa bahwa ia semakin dekat dengan tujuannya, yaitu membalas dendam atas kematian ayahnya.
*
Di balik dinding-dinding megah sebuah kantor yang terletak di jantung kota, Pandu duduk termenung di kursi kerjanya. Kursi kulit yang telah usang itu, saksi bisu dari setiap keputusan penting yang diambilnya selama lebih dari dua dekade, terasa dingin dan tidak nyaman di bawahnya. Ruangan itu, yang biasanya menjadi tempatnya untuk merencanakan strategi dan mengendalikan kerajaan bisnisnya, kini terasa seperti penjara yang mengurungnya dalam kecemasan dan ketidakberdayaan.
Pandu, seorang pria yang terbiasa memegang kendali penuh atas setiap aspek kehidupannya, kini mendapati dirinya berada dalam situasi yang sama sekali di luar kendalinya. Putrinya, Aira, telah menghilang tanpa jejak, meninggalkan kekosongan yang menganga di hatinya dan ketakutan yang mencengkeram jiwanya. Setiap laporan yang diterimanya, yang selalu sama - "Aira masih belum ditemukan" - terasa seperti pukulan yang menghantamnya tanpa ampun.
Pandu menghela napas panjang, mencoba mengusir bayangan-bayangan buruk yang menghantuinya. Ia tidak bisa menyerah, ia tidak boleh menyerah. Ia harus menemukan Aira, apa pun yang terjadi. Ia akan mengerahkan seluruh sumber daya yang dimilikinya, menggunakan setiap koneksi yang dimilikinya, untuk membawa putrinya kembali ke rumah.
Sementara itu, di sebuah apartemen sederhana yang terletak di pinggiran kota, Dimas duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah dinding. Pikirannya dipenuhi dengan penyesalan dan kekhawatiran. Ia tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan besar, bahwa ia telah menyakiti hati Aira dengan perselingkuhannya. Namun, ia tidak pernah menyangka bahwa tindakannya akan menyebabkan Aira menghilang.
Dimas merasa bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi pada Aira. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk menebus kesalahannya. Ia tidak bisa hanya duduk diam dan menunggu, ia harus bertindak. Ia harus menemukan Aira, meskipun itu berarti ia harus menghadapi risiko dan bahaya.
Malam itu, Dimas menerima telepon dari seorang teman yang bekerja di sebuah rumah sakit. Temannya itu mengatakan bahwa ia pernah melihat seorang wanita yang mirip dengan Aira dirawat di sana beberapa waktu lalu. Jantung Dimas berdegup kencang mendengar kabar itu. Ia merasa harapan kembali menyala di dalam hatinya.
"Baiklah, gue ke sana sekarang," ucap Dimas dengan nada bersemangat. Ia segera menutup telepon dan bersiap untuk pergi menemui temannya. Ia tidak sabar untuk mengetahui apakah wanita yang dilihat temannya itu benar-benar Aira.
Namun, sebelum Dimas sempat melangkah keluar dari apartemennya, Rania tiba-tiba memeluknya dari belakang. Sentuhan Rania, yang biasanya membuatnya merasa nyaman dan bergairah, kini terasa dingin dan hambar.
"Kau belum bisa melupakannya?" tanya Rania dengan nada cemburu. Ia merasa kesal karena Dimas masih memikirkan Aira, meskipun ia telah berselingkuh dengannya. Ia ingin menjadi satu-satunya wanita dalam hidup Dimas, dan ia tidak ingin ada orang lain yang menghalangi jalannya.
Dimas terdiam sejenak, merasakan konflik batin yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus menyakiti Rania, namun ia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya terhadap Aira.
"Setidaknya biarkan aku memastikan keadaannya dulu," balas Dimas dengan nada lembut namun tegas. Ia melepaskan pelukan Rania dengan hati-hati, lalu berjalan menuju pintu keluar. Ia tahu bahwa ia harus melakukan apa yang benar, meskipun itu berarti ia harus menyakiti orang yang dicintainya.
Rania menatap kepergian Dimas dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia merasa marah, sedih, dan putus asa. Ia tahu bahwa ia telah kehilangan Dimas, bahwa ia tidak akan pernah bisa menggantikan Aira di hatinya. Ia mencebikkan bibirnya dan menghentakkan kakinya karena kesal dengan tingkah Dimas yang akhir-akhir ini selalu mempedulikan Aira. Ia merasa bahwa ia telah dipermainkan, bahwa ia hanya menjadi pelarian bagi Dimas.
**
Dimas tiba di rumah sakit dengan perasaan campur aduk antara harapan dan kecemasan. Ia berharap bahwa informasi yang diberikan oleh Sandi benar adanya, dan Aira benar-benar pernah dirawat di sana. Namun, ia juga takut jika apa yang dilihat oleh Sandi hanyalah sebuah kesalahan, dan ia akan kembali dikecewakan.
Sandi, yang telah menunggu Dimas di depan pintu masuk rumah sakit, menyambutnya dengan senyum ramah. "Gue udah bilang sama Agus, dia yang jaga ruang CCTV. Kita langsung ke sana aja," ucap Sandi sambil menepuk pundak Dimas.
Mereka berdua berjalan menuju ruang CCTV yang terletak di salah satu sudut rumah sakit. Di depan pintu ruangan itu, mereka melihat Agus, seorang pria bertubuh gempal dengan wajah yang tampak lelah.
"Gus, dompetku ilang dan belum ketemu. Bisa nggak aku lihat CCTV sebentar?" ucap Sandi dengan nada merayu. Ia tahu bahwa Agus adalah orang yang baik hati dan mudah dibujuk, terutama jika ada imbalan yang menarik.
Agus terdiam sejenak, menatap Sandi dan Dimas dengan tatapan curiga. Ia tidak suka membawa orang asing ke ruang CCTV, karena itu melanggar aturan rumah sakit. Namun, ia juga tidak tega menolak permintaan Sandi, yang sudah lama menjadi temannya.
Sandi menyadari keraguan Agus. Ia segera mengeluarkan selembar uang dari sakunya dan menyodorkannya kepada Agus. "Ini buat kamu, Gus. Buat beli kopi," ucap Sandi sambil mengedipkan mata.
Agus tersenyum tipis, menerima uang dari Sandi. "Ya udah, deh. Tapi jangan lama-lama, ya. Nanti ketahuan sama atasan," ucap Agus sambil membuka pintu ruang CCTV.
"Kamu ngopi aja dulu, biar aku lihat rekaman dompet aku jatuhnya di mana," ucap Sandi sambil mendorong Agus keluar dari ruangan. Agus menerima uang itu dan segera pergi dari sana, meninggalkan Sandi dan Dimas di dalam ruang CCTV.
"Makasih, bro," ucap Dimas sambil menepuk pundak Sandi. Ia merasa lega karena Sandi berhasil membujuk Agus untuk menunjukkan rekaman CCTV.
Sandi mengangguk, lalu duduk di depan monitor dan mulai mencari tanggal di mana ia melihat Aira di rumah sakit. Ia menekan tombol-tombol pada keyboard dengan cepat, mencoba menemukan rekaman yang tepat.
Setelah beberapa menit mencari, Sandi akhirnya menemukan rekaman yang ia cari. Ia menunjuk ke arah layar, "Nah, ini dia. Coba lo lihat baik-baik."
Dimas mendekat ke arah monitor, matanya terpaku pada layar. Ia melihat seorang wanita yang sangat mirip dengan Aira sedang berjalan di lorong rumah sakit. Wanita itu tampak lemah dan pucat, dan ia dibantu oleh seorang pria yang tidak dikenal oleh Dimas.
Jantung Dimas berdegup kencang melihat pemandangan itu. Ia merasa yakin bahwa wanita itu adalah Aira. "Itu Aira! Gue yakin itu Aira!" seru Dimas dengan nada antusias.
Namun, dahinya tiba-tiba berkerut saat ia melihat pria yang ada di samping Aira. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan pria itu. Ia merasa pernah bertemu dengan pria itu, Ia tidak bisa menjelaskan apa yang membuatnya merasa curiga, namun ia yakin bahwa pria itu menyembunyikan sesuatu.
*
Bersambung...
Jangan lupa tinggalkan komentar kamu 🥰
guys baca juga ini seru buanget loh... apalagi mantan suami Aira, nanti sadar dan ngejer ngejer lagi tu mantan bini... hoho