“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Keesokan harinya. Hari baru dimulai. Andin tidak lagi menjadi wanita lemah. Kini Andin berdiri menatap gedung utama sebuah industri ternama di kota.
"Anakku. Doakan ibumu ini" lirihnya penuh tekad.
Andin melangkah kesana dengan penuh harapan. Bahwa jalan ini akan membawa perubahan besar dalam hidupnya.
Sesampainya disana. Ruang audisi itu begitu luas dan gemerlap Lampu-lampu studio menyala terang, menyinari panggung kecil di depan puluhan juri dan para peserta.
Poster besar bergambar judul film baru terpajang megah di dinding. Suasana begitu tegang—setiap orang ingin menjadi bintang.
Andin berdiri di pojok ruangan, mengenakan pakaian sederhana. Rambutnya dikuncir rapi. Wajahnya tidak dihiasi riasan mewah seperti para peserta lainnya. Meski begitu, matanya menyala penuh tekad.
Bisikan-bisikan mulai terdengar dari berbagai sudut ruangan.
“Itu siapa?”
“Pakaian saja seperti orang baru bangun tidur.”
“Katanya dia cuma orang biasa, bukan siapa-siapa.”
“Hahaha… berani-beraninya masuk industri ini.”
Andin mendengar semuanya. Tapi dia diam. Tatapannya lurus ke depan, menahan semua ejekan itu dalam dadanya yang kuat.
Tepat saat itu, suara pembawa acara memanggil satu nama dengan penuh semangat.
“Selanjutnya, kita sambut bintang favorit kita—Clara!”
Bintang film terkenal itu melangkah maju anggun, mengenakan gaun mahal dan sepatu hak tinggi berkilau. Semua mata langsung tertuju padanya. Sorakan dan tepuk tangan riuh terdengar dari seluruh ruangan.
“Lihat, Clara datang!”
“Wah, udah pasti pemeran utama sih.”
“Dia kan orang dekat pemilik industri ini. Apalagi dia cantik dan berkelas”
Namun belum sempat Clara naik ke panggung, dia dengan sengaja menoleh ke arah Andin yang nampak biasa. Tatapannya tajam dan meremehkan, senyumnya penuh kesombongan.
“Kau…,” ucapnya pelan tapi penuh nada sinis.
“Berani sekali orang sepertimu ikut audisi ini. Industri ini bukan tempat untuk orang miskin dan tidak punya nama.”
Beberapa peserta lain ikut tertawa pelan.
Andin tidak menjawab, hanya menghela napas dalam. Ia mengingat semua luka masa lalu—Raka, Ratna, rumahnya, bayinya yang sudah tiada—dan semua itu menjadi sumber kekuatannya.
"Lihatlah dirimu? kumuh seperti gembel di jalanan. Kamu yakin ingin tampil dengan pakaian seperti itu?" ejeknya tertawa sinis.
"Paling kalau lolos cuma masuk pemeran pembantu sebagai tukang sayur aja, hahahha" timpal teman Clara di sampingnya ikut mengejek.
"Kita lihat saja, siapa yang akan menjadi pemeran pembantu itu" jawab Andin pada akhirnya.
Clara menggertak geram, "Kamu berani melawanku? Kamu tidak tau siapa? Hah?"
"Kita lihat bagaimana kamu hancur setelah ini. Bahkan aku yakin namamu tidak akan ada dalam daftar pemain film ini" kecam Clara tajam.
Clara melangkah ke panggung dengan angkuh. lalu mulai tampil sebaik mungkin. Dengan penuh percaya diri, ia membawakan peran wanita utama yang kuat dan glamor. Sorakan pun menggema. Tepuk tangan terdengar panjang. Para juri mengangguk puas. Semua orang berpikir: Pemeran utama sudah pasti milik Clara.
“Selanjutnya…” suara panitia menggema, “…Andin.”
Ruangan seketika menjadi hening. Beberapa orang saling berbisik pelan, ada yang tertawa kecil. Clara melipat tangan di dada sambil berucap sinis.
“Aku tunggu kau mempermalukan dirimu sendiri.”
Andin melangkah maju. Suara langkahnya menggema pelan di lantai studio. Meskipun jantungnya berdegup keras, ia berdiri tegak.
Seketika saat lampu panggung menyinari wajahnya—Andin mulai berakting.
Dalam sekejap, ekspresinya berubah. Matanya penuh luka, suaranya tajam namun menyayat hati. Setiap kalimat yang ia ucapkan mengalir alami, seolah ia bukan sedang berakting, tapi benar-benar menghidupkan peran itu. Air matanya jatuh tepat di momen klimaks, membuat suasana ruangan terdiam total.
Juri yang tadinya cuek, kini mencondongkan tubuh ke depan. Yang tadinya tidak terlalu memperhatikan, kini mulai menatap Andin terkejut. Bahkan ia sampai berdiri saking kagumnya.
Beberapa peserta menutup mulut tak percaya.
Bahkan Clara—yang tadinya bersikap angkuh—menegang di tempatnya. Dia tak menyangka penampilan Andin bahkan sebagus itu.
Begitu adegan selesai, suara tepuk tangan menggelegar memenuhi ruangan. Para juri berdiri memberi tepuk tangan penghargaan.
“Luar biasa!” seru salah satu juri.
“Bakat alami!” kata juri lainnya.
“Dia… dia bukan sekadar bisa akting. Dia menghancurkan panggung ini dengan perasaannya.”
Mata semua orang melotot tak percaya.
Clara kalah telak. dia berdiri di sudut ruangan dengan rahang mengeras, wajahnya berubah pucat. Tak ada lagi senyum angkuh. Hanya rasa terhina dan tidak percaya bahwa gadis sederhana yang ia remehkan—bisa mengalahkannya hanya dengan satu penampilan.
Andin mengusap air mata di pipinya, lalu sedikit menunduk sopan. Tepuk tangan masih bergema. Untuk pertama kalinya setelah semua penderitaan, Andin menang—bukan karena belas kasihan, tapi karena kemampuannya sendiri.
Dalam hatinya ia berbisik pelan, “Lihatlah Raka, ibu. Aku akan bangkit, setinggi mungkin, sampai kalian yang pernah merendahkanku dan menyakitiku hanya bisa menatap dari bawah.”
.
.
.
Bersambung.