Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28 : Selesaikan semuanya disini
Di dalam ruangan, Lian Hua duduk seorang diri, menunggu dalam hening. Pintu yang terbuka pelan membuatnya menoleh, melihat Xueli masuk sambil membawa semangkuk ramuan berwarna ungu pekat.
Alis Lian Hua berkerut. “Apa itu?” tanyanya hati-hati.
Xueli duduk di sisi tempat tidur, meletakkan mangkuk itu di pangkuannya. “Ini bubuk seratus bunga,” ucapnya lembut. “Ramuan herbal paling ampuh untuk meredakan rasa sakit. Efeknya memang lama, tapi sangat manjur.”
Tatapan Lian Hua jatuh pada warna ungu ramuan itu. Hatinya mendadak bergejolak. Serbuk seratus racun… Ia teringat cairan yang pernah diberikan Yi Chen padanya, tak jauh berbeda dari ini.
“Obat ini… hampir sama dengan Serbuk Seratus Racun,” ucapnya pelan.
Xueli sontak tertegun. “Kau tahu tentang itu?” tanyanya, nadanya berubah waspada.
Lian Hua mengangguk singkat. “Yi Chen memberikannya padaku, sebelum aku masuk ke istana.”
Sejenak Xueli terdiam, jemarinya menegang di sekitar mangkuk. Kemudian ia tersenyum tipis, entah getir atau tenang. “Mereka memang mirip,” katanya perlahan. “Tapi berbeda. Serbuk Seratus Racun dan Bubuk Seratus Bunga sama-sama menyembuhkan, hanya jalannya yang berbeda.”
Rasa ingin tahu membuat Lian Hua bertanya lagi, “Apa bedanya?”
Namun sebelum Xueli sempat menjawab, pintu kembali terbuka. Sosok tinggi tegap berdiri di ambang. Lian Hua langsung menegakkan tubuhnya, jemarinya sigap meraih tusuk konde di meja, menggenggamnya erat seolah senjata. Tatapannya tajam menusuk pria itu.
Xueli merasakan ketegangan yang mendadak memenuhi udara. Ia segera berdiri, menatap Yi Chen dengan tatapan serius. “Ada keperluan apa kau datang kemari? Apa perjamuan bersama Tuan Wei Ming sudah selesai?”
Yi Chen tak menjawab, hanya melirik mangkuk di tangan Xueli sebelum melangkah masuk. Ia duduk di kursi tak jauh dari mereka, menjaga jarak dari Lian Hua. Suaranya rendah, datar, namun sarat perintah. “Minum obatmu dulu. Setelah itu, kita akan bicara.”
Xueli bisa merasakan arah tujuan kedatangan Yi Chen. Ia menghela napas, lalu menoleh pada Lian Hua. “Minumlah perlahan,” katanya lembut, menyodorkan mangkuk. “Rasanya sangat pahit, tapi akan menolongmu.”
Lian Hua menatap cairan ungu itu sejenak, lalu menuruti. Saat ia meneguknya, wajahnya sedikit meringis karena rasa getir yang menyebar di lidah.
Xueli kembali menoleh pada Yi Chen, matanya menajam penuh peringatan. “Bicaralah baik-baik dengannya. Bagaimanapun juga, hubungan kalian adalah rahasia istana. Dendam sekalipun… tidak boleh dipertontonkan di hadapan orang lain.”
Dengan itu, ia beranjak keluar. Suara pintu yang tertutup pelan meninggalkan keheningan tegang di antara keduanya.
Yi Chen hanya menatap kepergian Xueli hingga pintu kembali tertutup. Suara helaan napasnya terdengar pelan saat ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, mencoba meredakan sesuatu dalam dirinya.
Lian Hua, sebaliknya, tidak bergeming. Tatapannya menusuk tajam, penuh kewaspadaan. Jemarinya tetap menggenggam erat tusuk konde, tersembunyi di samping pahanya, seakan bersiap menikam kapan saja.
Mata Yi Chen beralih padanya, tenang namun penuh tekanan. “Aku hanya ingin berbicara denganmu,” ucapnya datar. “Tidak lebih. Jadi letakkan tusuk kondenya.”
Lian Hua menyipitkan mata, bibirnya melengkung sinis. “Bagaimana aku bisa tahu kau tidak berbohong? Apa jaminannya kalau semua ini hanya… percakapan biasa?”
Diam sejenak. Yi Chen menahan diri, matanya sedikit meredup. ‘Perempuan ini…’ pikirnya. Ia selalu mengira Lian Hua berbahaya karena kelicikannya, namun kini ia sadar: keras kepalanya lah yang membuatnya hampir kehilangan kendali. Padahal, ini kali pertama mereka benar-benar berhadapan tanpa topeng kebencian yang biasanya menyelimuti.
Yi Chen akhirnya bangkit dari kursi. Langkahnya perlahan tapi mantap, mendekati sosok Lian Hua yang tetap siaga. Tanpa aba-aba, ia meraih tangan mungil itu, menggiringnya hingga tusuk konde yang digenggam mengarah tepat ke lehernya sendiri.
Tatapannya dalam, dingin, namun ada bara emosi yang sulit ditebak. “Kalau itu yang kau inginkan,” bisiknya rendah, “kau bisa melanjutkan apa yang kau tahan sebelumnya. Tikam aku. Selesaikan semuanya di sini… jika suasana di antara kita benar-benar tak bisa lagi ditahan.”
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂