Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.
Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.
Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.
Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berlatih Aji-aji
"Bangun, Aji,"
Aji segera membuka mata saat Kaka Kerub (yang dulunya sering disebut sebagai Jaka Tarub), membangunkan dirinya. Di luar, dari celah-celah jendela, sepertinya langit masih gelap, tapi ayam jantan sudah berkokok.
Hari ini, sesuai janji yang sudah disepakati kemarin, Aji akan berlatih bela diri. Selain itu, bersemedi lagi. Jaka Kerub pun akan mengajarkan bagaimana caranya berpindah-pindah dimensi atau waktu dan tanpa harus diatur oleh lubang hitam yang datang seenaknya.
Jaka Kerub menyerahkan kendi berisi air minum, dan berkata, "Minumlah dahulu. Apa yang terjadi hari ini, akan menjadi berat sekali. Aku pun sudah menyiapkan daging rusa, meski itu sisa semalam."
Aji duduk perlahan, menerima kendi itu dengan kedua tangan. Airnya dingin dan menyentak kesadaran, seolah merambat langsung ke tulang. Ia meneguknya beberapa kali, lalu menghela napas panjang. Tubuhnya masih terasa pegal, tapi ada ketegangan berbeda di dadanya. Itu seperti tali yang ditarik dari dalam, menuntut untuk dilepaskan.
“Beratnya sampai seperti apa?” tanya Aji, setengah bercanda, setengah waspada.
Jaka Kerub tersenyum samar. “Sampai kau berharap lubang hitam itu datang menjemputmu lagi. Tapi kali ini, kau harus berjalan sendiri. Tanpa bantuan lubang hitam itu."
Mereka keluar pondok. Udara subuh menusuk kulit. Kabut tipis menggantung rendah di atas tanah, menutupi rerumputan. Di kejauhan, garis hitam Danau Toba masih menyatu dengan langit. Jaka Kerub mengajak Aji berjalan ke sebuah lapang kecil di balik batu-batu besar. Itu adalah tempat yang tanahnya rata dan dipenuhi bekas tapak kaki lama.
“Ini bukan latihan otot,” ujar Jaka Kerub sambil berdiri di tengah lapangan. “Ini latihan menyelaraskan niat dan tubuh. Karena orang yang melintas dimensi dengan tubuh yang kacau, akan tercerai di tengah jalan.”
Tanpa aba-aba, Jaka Kerub melangkah cepat, telapak kakinya menghantam tanah. Dalam sekejap, ia sudah berada di depan Aji dan mendorong bahunya. Aji terhuyung dan jatuh berguling.
“Bangkit,” kata Jaka Kerub.
Aji bangun, menahan nyeri. Serangan berikutnya datang lebih cepat. Mulai dari sapuan kaki, dorongan siku, hingga tangkisan tajam. Aji terpukul berkali-kali, napasnya tersengal. Namun perlahan, sesuatu berubah. Ia mulai merasakan arah serangan sebelum tubuh Jaka Kerub bergerak.
“Jangan melihat dengan mata,” teriak Jaka Kerub. “Melihatlah dengan retakan di dalam dirimu itu!”
Aji memejamkan mata. Ia membiarkan napasnya jatuh ke perut, seperti ajaran semedi yang selama seminggu ini menggerogoti kesabarannya. Ketika Jaka Kerub menyerang lagi, Aji bergeser, menangkis dengan gerak naluriah. Tanpa sadar, kaki Aji berpijak kuat, dan tangannya menemukan jalur yang tepat.
Jaka Kerub berhenti.
“Cukup,” kata Jaka Kerub. “Kau belajar cepat. Terlalu cepat.”
Mereka duduk bersila. Jaka Kerub mengeluarkan sepotong daging rusa, membaginya dua. Aji makan perlahan, keringat dingin masih membasahi punggungnya.
“Sekarang bagian yang tidak bisa dipaksakan,” ujar Jaka Kerub. “Berpindah tanpa lubang hitam.”
Ia menggambar lingkaran di tanah dengan tongkat. Di tengahnya, sebuah titik kecil.
“Lubang hitam itu seperti badai,” jelas Jka Kerub. “Ia datang karena keseimbanganmu goyah. Yang akan kita lakukan adalah membuat pintu. Pintu hanya terbuka jika kau tahu ke mana kakimu melangkah.”
Aji menatap lingkaran itu. “Bagaimana caranya?”
“Dengan melepaskan keinginan kita sendiri,” jawab Jaka Kerub tenang. “Keinginan untuk kembali. Keinginan untuk membuktikan. Termasuk keinginan untuk menyelamatkan yang ingin kita selamatkan.”
Aji tersentak. “Kalau aku tidak ingin menyelamatkan Sari, lalu untuk apa aku berjalan?"
“Bukan tidak ingin,” koreksi Jaka Kerub. “Tapi tidak menggenggam hasilnya. Dunia gaib membenci orang yang banyak menuntut.”
Aji menarik napas panjang. Ia duduk di tengah lingkaran. Tanah di bawahnya terasa lebih hangat. Jaka Kerub duduk berhadapan.
“Pejamkan mata,” perintah Jaka Kerub. “Sebutkan namamu tanpa suara.”
Aji menuruti. Ia mengucap “Aji” bukan lagi sebagai sebutan dirinya, melainkan seperti gema. Selanjutnya, muncul wesuatu yang pernah ia tinggalkan di banyak tempat.
“Sekarang,” lanjut Jaka Kerub, “ingat satu tempat, satu waktu, di mana kau merasa tidak sepenuhnya menjadi dirimu.”
Bayangan muncul dengan brutal. Entah itu Majapahit yang hiruk-pikuk, Sari yang menghilang di Samosir, wajah Nawang Wulan yang selalu separuh dekat, separuh menjauh; bahkan Aji membayangkan saat ia dan Pretty saling berciuman bibir.
Napas Aji tersengal. Udara di sekitar lingkaran bergetar. Tanah berdesir pelan.
“Jangan melawan,” ujar Jaka Kerub. “Biarkan dunia bergeser, bukan dirimu, Aji.”
Tiba-tiba Aji merasa dadanya berongga. Seolah pintu kecil terbuka di balik tulang rusuk. Tidak ada tarikan kuat seperti lubang hitam. Hanya dorongan halus, konsisten.
Namun kenangan tentang Sari muncul terlalu kuat.
“Aji!” suara Jaka Kerub terdengar jauh. “Lepaskan!”
Aji berteriak tanpa suara. Tubuhnya menggigil. Sebagian dirinya ingin membiarkan arus itu membawa, sebagian lagi mencengkeram dunia ini mati-matian.
Lalu semuanya berhenti.
Kemudian Aji terjatuh ke tanah, terengah-engah. Lingkaran itu pecah. Tanah itu kembali menjadi tanah biasa.
Jaka Kerub memejamkan mata lama. Katanya, “Hampir."
“Aku gagal,” Aji berbisik.
“Tidak,” Jaka Kerub menggeleng. “Kau bahkan belum menemukan pintunya, meski masih saja sulit untuk bisa melaluinya. Itu lebih dari kebanyakan orang yang pernah menjalaninya."
Aji duduk, tubuhnya gemetar. “Kalau aku terus seperti ini… aku akan selalu tersangkut antara dunia.”
“Memang,” kata Jaka Kerub lirih. “Itulah harganya dari penguasaan yang aku ajari saat ini.”
Langit mulai terang. Ayam kembali berkokok. Hari benar-benar dimulai.
“Besok kita ulang,” ujar Jaka Kerub. “Dan suatu hari, kau akan bisa berpindah tanpa air mata dan darah.”
Aji menatap cakrawala. Di hatinya, rasa takut masih ada. Namun kini, ia juga membawa sesuatu yang baru. Itu adalah kendali, meski masih rapuh di awal.
Sementara itu, di lapisan dunia yang tak terlihat, makhluk yang menculik Sari sepertinya bisa merasakan getaran yang dihasilkan Aji tersebut. Mereka menyadari bahwa mangsanya tidak lagi sendirian. Mangsanya pun bukan manusia biasa.
Walaupun demikian, sebetulnya Sari tidak diculik oleh makhluk tak kasatmata. Yang menculik Sari adalah para manusia yang masih hidup. Tampaknya kelompok sebelumnya, di bawah pimpinan si Ompung, mereka sudah dikhianati. Ada pengkhianat di dalamnya. Para pengkhianat itu pun memiliki kesaktiannya pula. Bahkan itu termasuk kesaktian dalam mengontrol pada makhluk tak kasatmata.
Sekarang Sari disekap di sebuah rumah yang berada di pesisir selat. Rumah itu satu dari sekian rumah yang dimiliki oleh kelompok pengkhianat tersebut.
Tampaknya Jaka Kerub sudah mengetahuinya. Namun Jaka Kerub masih enggan untuk menceritakannya ke Aji. Jaka Kerub ingin Aji sendiri yang mengetahuinya sendiri.
*****
Di lapisan dunia yang berlapis kabut dan bayang, getaran itu terasa jelas. Bukan seperti gempa atau badai, melainkan denyut teratur. Itu lebih mirip seperti jantung yang baru belajar berdetak dengan kehendaknya sendiri. Makhluk-makhluk penjaga celah saling menoleh. Mereka mengenali tanda itu. Manusia yang sebelumnya terseret kini mulai berjalan. Namun kesadaran itu keliru bila mengira Sari berada di tangan mereka.
Sari membuka mata di sebuah ruangan sempit. Bau asin laut menyergap hidungnya. Dinding kayu di sekeliling tampak tua, beberapa celah menganga memperlihatkan cahaya matahari yang terpantul dari air selat. Tangannya terikat. Rupanya ikatan itu tidak terlalu kencang, tapi cukup membuatnya sadar bahwa ia tidak bebas.
Sari masih manusia seutuhnya. Detak jantungnya masih berdetak biasa. Napasnya pendek-pendek karena takut, bukan karena sihir.
Dari luar, terdengar suara lelaki-lelaki dewasa bercakap pelan. Nada mereka santai, seolah ini bukan perkara penculikan, melainkan transaksi biasa.
“Anaknya masih tenang?” tanya satu suara yang bernada berat.
“Tenang,” jawab yang lainnya. “Belum tahu siapa dirinya. Tapi darahnya tidak berisik. Yang kita incar sebenarnya bukan dia.”
Sari menahan napas. Air laut berdegap pelan di bawah rumah panggung itu.
*****
Sementara itu, di Samosir, Jaka Kerub duduk sendiri menghadap danau. Matanya terpejam, telinganya seakan mendengar sesuatu yang tak bisa ditangkap orang lain. Bayangan rumah di pesisir selat melintas di benaknya. Bayangan itu terlalu jelas.
“Manusia tetaplah manusia,” gumamnya. “Tak pernah sabar menunggu bagaimana makhluk gaib bekerja.”
Ia tahu siapa pengkhianat itu. Bahkan tahu siapa yang memerintahkannya. Namun ia memilih diam. Bukan karena ia tak peduli, melainkan karena jalan Aji tidak boleh dipotong.
Aji, di sisi lain, terbangun dengan keringat dingin. Dadanya berdenyut. Bukan mimpi. Ini firasat.
“Ada yang tidak beres,” kata Aji pelan.
Jaka Kerub, yang berdiri di ambang pintu pondok, mendengarnya. “Kalau kau sudah bisa merasakan itu,” ujarnya tenang, “berarti waktumu hampir tiba.”
“Apa maksudmu?” Aji bangkit.
“Manusia yang mengira dirinya pengendali makhluk tak kasatmata,” lanjut Jaka Kerub, “biasanya lupa satu hal, bahwa mereka tidak pernah sepenuhnya berkuasa atas setiap makhluk di alam semesta ini"
Aji menatapnya, ingin bertanya lebih jauh. Namun tatapan Jaka Kerub memberi isyarat jelas. Belum waktunya. Tidak sekarang.
*****
Di pesisir selat, Sari memejamkan mata. Ia berbisik dalam hati, memanggil satu nama yang selalu terasa aman sejak kecil.
“Mas Aji…”
Angin laut berembus, membawa bisikan itu melintasi air, menembus lapisan dunia yang rapuh.
Jauh di balik kesadaran manusia dan makhluk gaib, satu permainan lama kembali bergerak. Ini merupakan sebuah permainan tentang pengkhianatan, kesaktian, dan seorang pemuda yang perlahan belajar bahwa musuh terbesarnya bukanlah dunia lain. Musuh sebetulnya adalah manusia yang merasa kebal oleh kuasa gelap alam semesta ini.