NovelToon NovelToon
Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Beda Usia / Kontras Takdir / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Sad ending / Janda
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2: Kenangan yang Tak Pernah Pudar

#

Dewanga duduk di emperan sebuah warung tutup, memandangi gerimis yang masih membasahi jalanan. Tubuhnya basah kuyup, tapi ia tidak peduli. Tangannya merogoh saku celana, mengeluarkan sebuah foto lusuh yang terlipat—foto keluarganya saat ia masih kecil.

Ayah, Ibu, dirinya yang masih bocah, dan Agung yang lebih muda.

Air mata kembali mengalir saat jari-jarinya menelusuri wajah ayahnya dalam foto itu.

***

**5 tahun yang lalu. Dewanga kelas 9 SMP.**

"Dewa! Dewa, ayo bangun! Bantu Ibu masak dulu sebelum sekolah!"

Suara itu membangunkan Dewanga dari tidur singkatnya. Ia mengucek mata, melirik jam dinding—pukul 03.30 dini hari.

Ia bangun dengan cepat, keluar dari kamar kecil yang ia bagi dengan Agung. Adiknya yang duduk di kelas 3 SD masih terlelap pulas.

Di dapur sempit, Rini sudah sibuk memotong sayuran. Di sampingnya, Pak Sentanu—ayah Dewanga—terbatuk-batuk keras sambil mengangkat panci besar berisi air untuk memasak nasi.

"Yah, istirahat dulu. Biar Dewa yang angkat," kata Dewanga cepat, mengambil alih panci dari tangan ayahnya.

"Gak apa-apa, Nak. Ayah masih kuat," jawab Pak Sentanu dengan suara serak, lalu terbatuk lagi—lebih keras, lebih lama.

Dewanga menatap ayahnya dengan dada sesak. Wajah Pak Sentanu yang dulunya tampan dan segar kini kurus kering. Tulang pipinya menonjol. Matanya cekung. Kulitnya pucat keabu-abuan.

Sudah delapan tahun.

Delapan tahun ayahnya menderita penyakit yang tidak pernah jelas apa namanya. Dokter puskesmas bilang paru-parunya bermasalah, ada yang bilang liver, ada yang bilang jantung lemah. Mereka tidak punya uang untuk periksa ke rumah sakit besar.

Yang pasti, setiap hari Pak Sentanu semakin kurus. Setiap hari batuknya semakin parah.

Tapi setiap hari, ia tetap bekerja.

***

Pukul 04.30 pagi, warung nasi sederhana mereka sudah siap.

Sebuah gerobak kayu beroda dengan terpal plastik sebagai atap. Nasi putih, sayur lodeh, tempe goreng, tahu goreng, telur dadar—menu sederhana untuk pekerja kasar yang mulai berangkat kerja pagi buta.

Pak Sentanu mendorong gerobak itu sendiri menuju emperan jalan raya, sekitar 500 meter dari rumah mereka. Dewanga membantu mendorong dari belakang, melihat punggung ayahnya yang membungkuk, tangannya yang gemetar memegang gagang gerobak.

"Yah, biar Dewa yang dorong," kata Dewanga, suaranya bergetar.

"Gak usah. Kamu sekolah. Belajar yang bener. Ayah gak papa."

"Tapi Ayah—"

"Dewa." Pak Sentanu berhenti sejenak, menoleh pada anaknya dengan tatapan lembut tapi tegas. "Ayah masih bisa. Selama Ayah masih bisa, Ayah akan kerja. Demi kamu dan Agung. Biar kalian bisa sekolah. Biar kalian gak kayak Ayah."

Dewanga menunduk, menahan tangis.

Mereka sampai di emperan jalan raya. Langit masih gelap. Lampu jalan menerangi samar-samar.

Pak Sentanu mulai menyiapkan warung. Memasang terpal, menata piring-piring, menyalakan kompor gas kecil untuk menghangatkan makanan.

"Dewa, pulang sana. Sekolah jam 7 kan? Berangkat jam 6. Tidur lagi satu jam."

"Gak apa-apa, Yah. Dewa gak ngantuk."

"Bohong. Matamu udah merah. Pulang. Ayah bisa sendiri."

Dewanga tahu ia tidak boleh membantah. Ia mengangguk pelan, lalu berlari kembali ke rumah.

Dari kejauhan, ia menoleh. Melihat sosok ayahnya duduk sendirian di depan gerobak, terbatuk-batuk, memegang dadanya yang sakit, tapi tetap menyiapkan warung dengan tangan gemetar.

***

Siang hari, setelah warung tutup sekitar pukul 10 pagi, Pak Sentanu tidak istirahat.

Ia langsung pergi bekerja sebagai kuli bangunan.

Mengangkat semen. Mengaduk cor. Memikul batu bata. Tubuhnya yang sudah kurus dan sakit tetap dipaksa bekerja.

"Pak, istirahat dulu. Bapak kelihatan pucat," kata Pak Gunawan, mandor proyek, dengan nada khawatir.

"Gak papa, Pak. Saya masih kuat. Anak-anak saya masih sekolah. Saya harus kerja," jawab Pak Sentanu sambil tersenyum lemah.

Tapi di balik senyum itu, tubuhnya gemetar. Keringatnya bercucuran bukan karena panas, tapi karena demam yang ia sembunyikan.

Pak Gunawan hanya bisa menggeleng sedih. Ia tahu kondisi Pak Sentanu, tapi ia juga tahu kebanggaan seorang ayah yang tidak mau menyerah.

***

Malam hari, sekitar pukul 7 malam, Pak Sentanu kembali membuka warung nasi di emperan jalan raya yang sama.

Kali ini untuk pekerja malam, supir truk, pedagang pasar malam.

Rini menemaninya. Mereka berdua melayani pembeli dengan senyum, meski tubuh mereka sudah remuk.

Dewanga datang setelah belajar, membawa Agung. Mereka duduk di belakang gerobak, mengerjakan PR dengan lampu seadanya.

"Yah, Dewa bantuin jualan ya?" tawar Dewanga.

"Gak usah. Kamu kerjain PR. Besok ulangan kan?"

"Udah selesai, Yah."

Pak Sentanu tersenyum, mengusap kepala anaknya. "Anak Ayah pinter. Ayah bangga."

Dewanga tersenyum, tapi hatinya hancur.

Ia melihat ayahnya yang terus terbatuk, memegang dada, menahan sakit, tapi tetap tersenyum pada setiap pembeli.

***

Pukul 11 malam, warung tutup.

Pak Sentanu dan Rini mendorong gerobak kembali ke rumah. Dewanga dan Agung membantu.

Sampai di rumah, Pak Sentanu langsung ambruk di kasur tipis mereka.

"Yah! Ayah kenapa?!" Dewanga panik.

"Gak papa, Dewa. Ayah cuma capek. Tidur sebentar aja."

Rini menangis dalam diam, mengompres dahi suaminya yang panas.

Pak Sentanu hanya tidur satu jam—dari pukul 11 malam hingga tengah malam.

Lalu ia bangun lagi.

Membantu Rini memasak untuk warung besok pagi.

Memotong sayuran. Menggoreng tempe. Menyiapkan bumbu.

Tubuhnya limbung. Tangannya gemetar. Keringatnya dingin.

Tapi ia tidak berhenti.

"Pak, istirahat. Biar saya yang masak sendiri," pinta Rini sambil menangis.

"Gak bisa, Bu. Kamu juga capek. Kita kerjain bareng, cepet selesai."

"Pak, kumohon..."

"Bu." Pak Sentanu menatap istrinya dengan mata berkaca-kaca. "Ini yang bisa Ayah lakukan buat anak-anak kita. Biar mereka sekolah. Biar mereka gak susah kayak kita. Biar mereka punya masa depan."

Rini memeluk suaminya, menangis tersedu-sedu.

Dewanga melihat dari celah pintu kamar. Ia menggigit bibir, menahan tangis, tapi air mata tetap mengalir.

***

**Pagi itu. Hari yang mengubah segalanya.**

Dewanga bangun pukul 3.30 seperti biasa.

Tapi kali ini, ayahnya tidak membangunkannya.

Ia keluar kamar, menuju dapur.

Di sana, Rini duduk di lantai, memeluk tubuh Pak Sentanu yang tergeletak lemah.

"IBU! AYAH KENAPA?!" Dewanga berteriak panik.

"Dewa... panggil tetangga... cepat... Ayah... Ayah gak bangun..." Suara Rini putus-putus di antara isak tangis.

Dewanga berlari keluar, membangunkan tetangga.

Mereka membawa Pak Sentanu ke puskesmas dengan dipapah oleh beberapa orang.

Tapi sudah terlambat.

Tubuh Pak Sentanu sudah terlalu lemah. Delapan tahun ia memaksakan diri bekerja siang malam tanpa istirahat, dengan penyakit berat yang terus menggerogoti tubuhnya.

Pukul 05.47 pagi, Pak Sentanu meninggal di ruang UGD puskesmas.

Kata-kata terakhirnya untuk Dewanga:

"Dewa... jaga adikmu... jaga Ibumu... Ayah... mohon maaf... gak bisa... kasih kalian hidup yang layak... tapi Ayah... udah... berusaha..."

Dan Pak Sentanu memejamkan mata untuk selamanya.

***

Dewanga kembali ke masa kini, masih duduk di emperan warung tutup, memegang foto ayahnya yang lusuh.

Air matanya mengalir deras.

"Ayah... maafin Dewa..." bisiknya parau. "Dewa... gak bisa bikin Ayah bangga... Dewa... masih gagal terus..."

Hujan deras mengguyur.

Dan Dewanga menangis sendirian dalam gelap—sama seperti malam ketika ayahnya meninggalkan dunia ini.

 

**[Bab 2 Selesai]**

*Dewanga membawa luka yang dalam—kehilangan sosok ayah yang bekerja hingga titik darah penghabisan. Trauma itu membentuknya menjadi seseorang yang takut gagal, yang ingin membuktikan diri, yang mencari penerimaan dengan cara apa pun. Bahkan jika itu berarti menikahi wanita yang salah.*

1
Chanikya Fathima Endrajat
umur adeknya 20, dewa 22, telah bekerja 5 th sejak umur 17. wkt dewa kls 9, adiknya msh SD. setidaknya selisih umur mereka 3 th.
Seroja_layu
Astagfirullah nyebut Bu Nyebut
Dri Andri: nyata nya gitu kak
total 1 replies
Chanikya Fathima Endrajat
umur dewangga membingungkan, ketika ingin melamar anis umurnya br 19th, ketika falshback 10th yll, dewa sdh kls 9 (SMP) tdk mungkin umurnya wkt itu 9th kan thor
Dri Andri: ya saya salah maaf yaa...
karena kisah nya kisah nyata jadi saking takut salah pada alur intinya
alur di minta sama
peran, tempat di minta di random
maaf ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!