NovelToon NovelToon
The Legend Of The Shadow Eater

The Legend Of The Shadow Eater

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / TKP / Hantu
Popularitas:483
Nilai: 5
Nama Author: Senara Rain

Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23

“Lira…” suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. “Bukankah tadi aku sudah bilang kalau aku menunggumu ratusan tahun? Kau pikir aku akan membiarkanmu menutup gerbang itu begitu cepat?”

Lira menoleh dengan wajah kaku. “Apa maksudmu?”

“Ada banyak hal yang ingin kulakukan denganmu. Ratusan tahun aku menunggu, dan sekarang kau ingin segera menutup gerbang itu?” senyum Yash melengkung samar, tapi dingin.

“Yash…” suara Lira bergetar, setengah tak percaya.

“Kau pikir kau reinkarnasi pertama Arum?” Yash semakin menunduk mendekat, suaranya berbisik di telinganya. “Tidak, Lira. Sudah ada puluhan reinkarnasi Arum. Dan semuanya… mati di tanganku.”

Lira menegang, darahnya seakan berhenti mengalir. “A-apa…?”

Dengan tiba-tiba, tangan Yash melingkari pinggangnya, menahannya erat.

“Yash! Jangan macam-macam kau!” Lira berusaha mendorong tubuh pria itu, tapi kekuatannya tak sebanding.

Yash tertawa rendah, suara yang membuat bulu kuduk meremang. “Kau tak akan bisa melawanku, Lira. Dan sebelum kau mati… aku ingin memilikimu, seutuhnya.”

“Brengsek!” Lira mendesis, matanya penuh kemarahan dan pengkhianatan. “Ternyata kau sama saja dengan makhluk-makhluk itu!”

“Aku berbeda, Lira…” Yash menatapnya dengan mata merah berkilat. “Aku lebih berkuasa dari mereka.”

“Lepaskan aku!” Lira meronta, panik sekaligus marah, berusaha melepaskan cengkeraman yang semakin erat.

Yash menunduk, wajahnya begitu dekat hingga Lira bisa merasakan dingin hembusan napasnya. “Semakin kau melawan, semakin aku ingin memilikimu.” Suaranya dalam, sarat dengan obsesi.

“Dasar gila!” Lira berteriak, namun suaranya tercekat. Di balik tatapannya, ada kilasan takut yang tak bisa ia sembunyikan.

“Takdir selalu mengembalikanmu padaku,” bisik Yash, jemarinya menelusuri lengan Lira, menahan setiap gerakan. “Aku membunuh setiap reinkarnasimu, hanya untuk membuktikan… tak ada yang bisa memisahkan kita. Kau milikku, Lira. Hanya milikku.”

Air mata marah menggenang di sudut mata Lira. “Kau bukan cinta… kau kutukan.”

Mata Yash berkilat, merah pekat seperti bara api. “Kutukan? Tidak, aku adalah takdirmu.”

Cengkeramannya di pinggang Lira makin erat, nyaris membuat gadis itu kesakitan.

“Yash… kau—kau sakit! Ini bukan cinta!” Lira menjerit, mencoba melepaskan diri, tapi tubuhnya semakin terjerat dalam kekuatan bayangan yang merambat di sekeliling mereka, seperti akar gelap yang muncul dari lantai apartemen.

Bayangan itu melingkar, berputar seperti rantai, siap mengikat Lira sepenuhnya.

Lira menatapnya dengan napas terengah, tubuhnya gemetar. “Kalau memang benar kau menungguku ratusan tahun… kenapa kau harus menghancurkan setiap hidupku?”

Wajah Yash menegang sejenak, lalu ia menyeringai. “Karena aku tak pernah rela kau menjadi milik dunia lain. Lebih baik kau mati di tanganku, daripada hidup tanpa aku.”

Bayangan semakin menutup tubuh Lira, hanya menyisakan wajahnya.

“Tapi untuk kali ini,” bisik Yash seraya menundukkan wajahnya semakin dekat, suara rendahnya bergema seperti mantra, “aku tak akan membunuhmu semudah itu, Lira. Aku akan membuatmu mencintaiku… melebihi cintaku padamu.”

Lira terperangah, matanya melebar penuh amarah. “Itu tidak akan terjadi! Sampai kapan pun aku tak akan pernah mencintai makhluk sepertimu. Kau… monster!”

Senyum Yash melebar, bukan senyum hangat, melainkan senyum bengis yang penuh keyakinan. “Monster? Mungkin. Tapi monster ini adalah satu-satunya yang bisa menjagamu dari mereka semua. Dan semakin kau menolak, semakin kau akan terikat padaku.”

Bayangan pekat yang melingkari tubuh Lira merapat, membelit pergelangan tangan dan pergelangan kakinya hingga ia terpaksa terduduk di ranjang. Rasa dingin dari kegelapan itu menjalar ke kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri.

“Kita lihat saja nanti, Lira.” Yash menangkup wajahnya dengan kedua tangan, ibu jarinya menyapu lembut pipi gadis itu, kontras dengan kekejaman yang terpancar dari tatapannya. “Aku punya waktu. Puluhan tahun, ratusan tahun lagi… tak ada yang bisa menghalangiku.”

“Lepaskan aku!” Lira berteriak, suaranya pecah, namun bayangan makin menjerat, membuat tubuhnya sulit bergerak.

Yash menunduk, bibirnya nyaris menyentuh telinga Lira. Suaranya serak, penuh obsesi. “Pada akhirnya, kau akan menyerah. Dan saat itu tiba, aku akan menjadi satu-satunya dunia yang kau kenal.”

Lira menahan nafas, tubuhnya bergetar, antara marah, takut, dan muak. “Aku lebih rela mati daripada mencintaimu.”

Yash tertawa rendah, menggema di ruangan sunyi. “Kalau begitu… aku akan pastikan kau merasakan keduanya.”

Lira masih berusaha melepaskan diri ketika tiba-tiba genggaman bayangan itu melonggar. Wajah Yash menegang sesaat, seolah ia menahan sesuatu dalam dirinya. Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum miring.

“Belum saatnya,” ucapnya pelan, matanya redup namun berkilat tajam. “Aku ingin kau sendiri yang menyerahkan hatimu padaku, Lira. Bukan karena keterpaksaan.”

Bayangan yang menjerat tubuh Lira lenyap seketika, membuat gadis itu jatuh terduduk di ranjang dengan napas terengah.

Yash berdiri perlahan, tubuhnya memudar, serpihan hitam mulai mengelupas dari ujung jemarinya. Lira hanya bisa menatap, campuran ngeri dan lega, ketika sosok pria itu berubah menjadi kabut pekat yang melayang-layang di udara.

“Jangan lupakan ini, Lira…” suara Yash menggema di telinga gadis itu, meski tubuhnya kian pudar. “Aku akan selalu ada. Mengawasi. Menunggu.”

Kabut itu meluncur deras ke arah jendela kaca besar apartemen, lalu menembusnya tanpa meninggalkan retakan sedikit pun. Hanya tersisa bayangan hitam tipis di udara yang cepat menghilang bersama cahaya matahari pagi.

Lira memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar hebat. “Sialan kau, Yash…” bisiknya dengan suara serak, sebelum air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.

...

Langit masih berwarna biru gelap, garis tipis jingga di ufuk timur hanya menandakan sebentar lagi matahari akan terbit. Udara pelabuhan terasa lembab, bau asin laut bercampur dengan aroma solar dari kapal-kapal nelayan yang terikat di dermaga kayu.

Langkah Lira terdengar tegas meski tubuhnya masih terasa rapuh. Ia menenteng backpack hitam yang sudah ia siapkan sejak malam. Pakaian kasual yang sederhana ia kenakan, lengkap dengan jaket tipis untuk melawan angin laut yang menusuk kulit. Matanya penuh tekad—hari ini, apapun yang terjadi, ia harus menemui Pak Merta di Pulau Lematang.

Namun, baru beberapa langkah memasuki area pelabuhan, tubuhnya mendadak berhenti. Suhu udara di sekelilingnya turun drastis. Kabut tipis, yang seharusnya tak ada di dekat laut, tiba-tiba menyelimuti dermaga.

Suara langkah berat menggema dari arah geladak kapal tua yang terbengkalai. Dari kabut itu, perlahan muncul sosok yang begitu dikenalnya—tubuh jangkung Yash, dengan sorot mata gelap berkilat, dan senyum tipis yang menyingkapkan kesan berbahaya.

“Pergi pagi sekali, hm?” suaranya rendah, namun menggema seolah berasal dari banyak arah. “Kau benar-benar berani mencoba melarikan diri dariku, Lira?”

Lira memeluk erat tali backpack-nya, jantungnya berdegup kencang. “Aku tidak lari, Yash. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan.”

“Menemui roh pohon tua itu?” Yash melangkah maju, butiran kabut bergerak mengikuti setiap gerakannya, seperti ekor bayangan yang hidup. “Apa kau pikir ia bisa melindungimu dariku? Dari dunia yang sudah terikat dengan takdirmu?”

Lira menegakkan dagu, meski ada sedikit gemetar di suaranya. “Kalau kau benar-benar menungguku ratusan tahun, biarkan aku menyelesaikan ini. Jangan menghalangi!”

Senyum Yash melebar, kali ini lebih dingin. “Lira… kau masih belum paham. Aku tidak pernah berniat membiarkanmu pergi begitu saja.”

Ia menjejakkan kakinya di atas papan dermaga, dan papan itu berderit keras seolah tak sanggup menahan kehadirannya. Angin laut yang tadinya sepoi berubah tajam menusuk, membuat beberapa nelayan yang sempat lewat buru-buru menyingkir, bisik-bisik ketakutan.

Kini Yash berdiri tepat di hadapan Lira, hanya beberapa langkah memisahkan mereka. Matanya menatap dalam, menekan, seakan hendak menelan seluruh perlawanan gadis itu.

“Jadi, kau tetap memaksa?” bisik Yash, suara lirihnya justru lebih mengerikan daripada teriakan.

“Yash, menjauh dariku!” suara Lira bergetar, tapi matanya menatap tajam penuh perlawanan.

Alis Yash terangkat, lalu senyum miring tersungging di bibirnya. “Kenapa, Lira? Kau ketakutan?” suaranya terdengar seperti bisikan yang menekan dada.

“Tidak!” Lira menggertakkan giginya. “Aku muak denganmu!”

Senyum Yash memudar, berganti sorot mata dingin yang membara. “Muak? Kau salah besar. Kau butuh aku, Lira. Tanpa aku, makhluk-makhluk itu akan mencabik-cabikmu. Dan ingat satu hal—” ia menundukkan wajahnya mendekat ke telinga Lira, napasnya dingin menusuk. “—yang berhak membunuhmu hanyalah aku.”

“Brengsek!” Lira berteriak, tangannya berusaha menepis dada Yash.

Namun dengan gerakan cepat dan kasar, Yash menjulurkan tangannya, mencengkeram pergelangan Lira kuat-kuat hingga kulitnya terasa sakit. “Ayo ikut aku!”

“Lepas!” Lira meronta, tubuhnya bergetar keras. Tapi sebelum ia bisa melawan lebih jauh, Yash menariknya ke dalam pelukan paksa.

Dalam sekejap, tubuhnya terangkat dari dermaga. Yash menggendongnya dengan satu lengan, sementara kabut hitam berputar menyelimuti mereka. Angin kencang menghantam wajah Lira ketika sosok itu terbang melesat dari pelabuhan, meninggalkan nelayan-nelayan yang hanya bisa berteriak kaget melihat bayangan gelap melintas cepat di langit menjelang fajar.

Lira memukul dada Yash berkali-kali, berteriak marah bercampur panik. “Turunkan aku, Yash! Lepaskan aku sekarang juga!”

Tapi Yash hanya tertawa rendah, suaranya bergema di antara deru angin. “Kau bisa berontak sepuasmu, Lira. Tapi sampai aku mau… kau tak akan pernah bisa lepas dariku.”

Begitu menjejakkan kaki di tanah basah halaman rumah besar itu, Lira langsung memberontak, tangannya menepis dada Yash. “Yash, lepaskan aku!”

Senyum dingin muncul di bibir pria itu. Dengan gerakan cepat ia menurunkan Lira ke teras kayu yang berdebu. “Baiklah,” ujarnya santai, sorot matanya tajam menusuk. “Cobalah kabur… kalau kau bisa.” Setelah berkata begitu, Yash berbalik dan masuk ke dalam rumah besar yang remang, meninggalkan Lira sendirian.

“Brengsek! Kau pikir aku tak bisa kabur darimu?” gumam Lira geram, menggertakkan gigi. Ia segera menoleh ke sekitar—hutan lebat mengepung rumah itu, pepohonan menjulang tinggi dengan akar-akar yang seperti tangan menjulur.

Dengan cepat ia melangkah masuk ke rimba. Daun-daun basah menyapu wajahnya, ranting patah berderak di bawah kakinya. “Kalau aku bisa menemukan jalan keluar… pasti ada jalan menuju desa.” Namun semakin ia berjalan, semakin pekat hutan itu terasa. Jalan setapak lenyap, terganti kabut tipis yang menutup pandangan.

Lira merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel. Layar menyala, tapi… “Sial.” Sinyal hilang total, hanya ikon kosong yang menertawakan keputusasaannya. “Aku benar-benar terjebak di sini,” gumamnya, napas mulai memburu.

Saat ia terus berjalan, tiba-tiba terdengar suara gesekan aneh dari semak belukar. Srak… srak… Suara itu makin mendekat, disertai desis rendah yang membuat bulu kuduknya berdiri. Lira spontan berhenti, menahan napas, matanya menyapu kegelapan di antara pepohonan.

Dari balik kabut, muncul sesosok makhluk. Tubuhnya setengah manusia, setengah ular. Wajahnya panjang dengan mata kuning menyala, lidah bercabang menjulur keluar, dan tubuhnya diselimuti sisik kehijauan yang berkilat samar terkena cahaya bulan. Tubuh bagian bawahnya berupa ekor ular raksasa yang melata di tanah, meninggalkan jejak basah berlendir.

“Manusia…” suara makhluk itu serak, seperti bisikan dari perut bumi. “Aroma cahaya… mengalir dari tubuhmu.”

Lira mundur selangkah, jantungnya berdentum keras. “Siluman… ular,” bisiknya, suara tercekat di tenggorokan.

Makhluk itu tersenyum menyeringai, menampakkan deretan gigi tajam. “Aku lapar… dan cahayamu akan menjadi santapan yang sempurna.”

Lira berlari terseok menembus semak, napasnya semakin berat. Namun tiba-tiba, dadanya berdenyut hebat. “Akh…!” serunya tertahan, tubuhnya mendadak lemas seperti kehilangan tenaga. Ia jatuh berlutut di tanah lembap, kedua tangannya refleks menekan dadanya yang terasa seolah diremas dari dalam. Napasnya terputus-putus, keringat dingin menetes di pelipis.

Siluman ular itu mengangkat kepalanya tinggi, desis panjang keluar dari bibirnya. Melihat Lira tak berdaya, ia melata cepat mendekat, ekornya menyeret tanah hingga menimbulkan bunyi gesekan yang menggetarkan hutan. Tatapan kuningnya menyala penuh nafsu.

“Akhirnya… cahaya itu tak bisa menolongmu…” bisiknya dengan nada puas. Tangan bersisiknya yang dingin terulur, mengusap pipi Lira dengan gerakan lembut namun menjijikkan. Lidah bercabangnya menjilat udara, mendekati wajah gadis itu.

Mulutnya terbuka lebar, menampilkan deretan gigi runcing yang meneteskan cairan berbau busuk. Siluman itu menunduk, siap menggigit leher Lira.

Namun tepat pada detik itu—dadanya memancarkan cahaya. Dari dalam tubuh Lira, sinar putih keemasan meledak seketika, menyembur keluar dengan suara berdesing.

“AAARGH!” teriak siluman ular itu, tubuhnya tersentak keras ke belakang. Ledakan cahaya itu menghantam tidak hanya dirinya, tapi juga seluruh hutan di sekeliling. Pohon-pohon berguncang, daun-daun beterbangan, dan kabut yang pekat tersapu lenyap diterpa cahaya yang meluas bagaikan gelombang.

Siluman ular itu terlempar jauh, menghantam batang pohon besar hingga tanah bergetar. Sisiknya terbakar, tubuhnya melilit kesakitan, suara desisannya memekik marah dan perih.

Sementara itu, Lira terhuyung. Sinar dari dadanya meredup perlahan, wajahnya pucat pasi. Matanya yang sempat membelalak kehilangan fokus. “Apa… yang…” suaranya melemah, lalu seluruh tubuhnya ambruk di tanah.

Ia pingsan, tak sadarkan diri, dengan sisa cahaya samar masih berdenyut lemah dari dadanya.

Di sebuah kastil tua berdiri megah di balik kabut hitam, Lysander sedang duduk di singgasana batu hitamnya. Matanya terpejam, satu tangan menopang dagu dengan malas. Namun tiba-tiba, udara di sekelilingnya bergetar—getaran halus tapi mematikan, disertai pancaran cahaya yang seakan menusuk hingga ke dasar dunia kegelapan.

Mata emasnya terbuka, bersinar tajam. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.

“Cahaya itu… akhirnya muncul juga.” Suaranya dalam, penuh kuasa. Ia berdiri, kain jubah hitamnya berderai, menjuntai panjang hingga menyapu lantai. “Gerbang belum terkunci… dan dia sudah bangkit.” Tawa rendahnya menggema di dalam kastil, membuat dinding berlumut bergetar.

---

Di tempat lain, di sebuah pulau penuh rimbun pohon besar, Pak Merta tengah menyiram tanaman kecil di halaman gubuknya. Air menetes dari kendi tanah liat di tangannya, namun tiba-tiba ia menghentikan gerakan itu. Tangannya bergetar, matanya menatap jauh ke langit yang baru saja terbelah oleh kilatan cahaya samar.

Keningnya berkerut dalam.

“Cahaya Penyeimbang…” bisiknya. “Itu sudah bangkit… tapi terlalu cepat. Tubuh anak itu belum siap.” Ia menggenggam tongkat kayunya, wajahnya diliputi kekhawatiran. “Ini… pertanda buruk.”

---

Sementara itu, tak jauh dari hutan tempat Lira terbaring pingsan, Yash yang baru saja keluar dari rumah besar itu mendadak berhenti. Tubuhnya tersentak ketika gelombang cahaya menyapu udara, menghantam dadanya hingga ia hampir kehilangan keseimbangan.

Mata merah darahnya menyala intens. Ia menoleh ke arah hutan, wajahnya berubah pucat sekaligus marah.

“Lira…” desisnya pelan. Giginya terkatup rapat, tangannya mengepal.

“Cahaya itu… dia sudah mengeluarkannya tanpa kendali.”

Yash berlari dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya melesat menembus pepohonan seperti bayangan. Setiap langkahnya meninggalkan bekas cekungan di tanah, ranting-ranting patah diterjang tubuhnya yang diliputi aura hitam.

Di kejauhan, masih samar, ia bisa merasakan denyut cahaya itu melemah—dan Lira… tergeletak tak berdaya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!