Islana Anurandha mendapati dirinya terbangun di sebuah mansion besar dan cincin di jemarinya.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk keluar dari rumah istana terkutuk ini. “Apa yang sebenarnya kamu mau dari aku?”
“Sederhana. Pernikahan.”
Matanya berbinar bahagia saat mengatakannya. Seolah-olah dia sudah lama mengenalku. Seakan-akan dia menunggu ini sejak lama.
“Kalau aku menolak?” Aku bertanya dengan jantung berdebar kencang.
Mata Kai tidak berkedip sama sekali. Dia mencari-cari jawaban dari mataku. “Orang-orang terdekatmu akan mendapat hukuman jika kamu menolak pernikahan ini.”
Islana berada di persimpangan jalan, apakah dia akan melakukan pernikahan dgn iblis yg menculiknya demi hidup keluarganya atau dia melindungi harga dirinya dgn lari dari cengkraman pria bernama Kai Itu?
CHAPTER 28
Chapter 28
Delapan tahun yang lalu
POV – Islana
Ibu selalu seperti biasa. Pulang malam dan tidak pernah pulang saat kami sedang makan. Ayah hanya bisa tersenyum pada kami semua saat hanya ada kami berempat di meja makan.
“Ayah,” Tiyana berhenti makan. “aku dengar gossip di sekolah.”
“Sttt!” Kiran memintanya diam.
Ayah dengan wajahnya yang terlalu letih karena kerja di perusahaan bangunan mengabaikan Tiyana.
“Gossip-nya Ibu jalan sama cowok yang lebih muda di pasar kemarin.” Tiyana tetap mengatakan kabar buruk itu.
Kabar? Itu cuman gossip kan? Kenapa hatiku sakit mendengarnya?
“Tiyan, kamu harus tau kalau kita semua sedang makan, nggak baik ngomongin hal yang simpang siur kaya gitu.” Aku mengomel sambil memotong ayam yang terlalu keras buatan Kiran.
“Itu bukan simpang siur. Mereka kasih aku fotonya. Ibu kayanya mau cerai dari Ayah ya?” Tiyana tidak bisa menutup mulutnya.
Kiran memegang tangan Tiyana. “Bisa nggak kamu berhenti?!”
Ayah menepuk pundak Kiran. Ayah justru paling sabar dari kami semua. “Kalau kalian sudah selesai makan, jangan lupa cuci piring. Nanti Ayah yang bersih-bersih buat besok.”
Ayah yang tambah semakin kurus dari bulan lalu, berjalan ke lantai atas setelah menaruh piring di tempat cucian.
Aku menyentil kepala Tiyana. “Kamu nggak bisa jaga mulut ya?!”
“Tapi itu fakta! itu bukan editan. Jangan kaget kalau Ibu bener-bener nggak balik lagi ke rumah ini. Pasti cowo itu kaya raya. Ibu kan mata duitan.”
Kiran menutup mulut Tiyana. “Udah gosok gigi deh mending kamu, biar Kakak yang cuci semuanya.”
Tiyana dengan kesal pergi ke kamarnya tanpa membawa piringnya ke tempat cucian. Sementara ketika aku ingin membantu Kak Kiran tapi dia menolak. Bilang kalau aku lebih baik tidur. Tapi aku tahu dia bilang begitu karena dia sendiri sedang sedih dan tidak mau aku melihat matanya yang bisa kapan saja mengeluarkan air mata.
Tapi aku tidak menekan Kakakku itu. Aku membawa semua piring ke dapur dan langsung ke kamar. Mematikan lampu dan berkutat dengan pikiranku di dalam selimutku yang lusuh.
Aku tidak bisa tidur sama sekali. Sudah berapa kali membolak balikan badan tapi tidak bisa memejamkan mata.
Aku menyibakkan selimut dan berjalan ke luar kamar. Tapi langkahku terhenti ketika pintu kamar Kak Kiran sedikit terbuka. Saat aku ingin membantu menutupnya, ada satu suara yang membuatku diam.
Dan justru mendengarkan.
“Kiran, Ayah harus kasih tau kamu kalau Ibu kamu bisa saja menikah dengan pria itu.”
Aku menutup mulutku dan menahan reaksi kagetku itu dalam tenggorokanku. Badanku dingin. Seolah-olah jantungku diambil dan hanya tersisa fisikku saja.
Tanganku bergetar hebat dan dengan sekuat tenaga berlari ke kamarku lagi. Aku harusnya mendengar lebih lama, tapi nyatanya aku tidak sanggup. Yang aku lakukan justru menangisi nasib keluarga ini yang sepertinya tidak pernah tidak diliputi awan hitam.
***
Masa Kini
POV – Islana
Begitu tidak tahu malunya seorang Ibu yang meninggalkan anak mereka dan sekarang bersiap bertemu dengan aku seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Pakaiannya-pun seperti orang kalangan atas. Jaket tebal berbulu seperti seorang sosialita.
Oza menempelkan wajahnya di sampingku. “Kamu nggak jadi turun?”
Aku mendorongnya. Setelah kejadian di mobil, bersentuhan dengan dia sepertinya hal utama yang harus aku jaga.
Aku turun di tangga kayu spiral. Di ruang makan ini suhunya lebih dingin dari ruangan lainnya. Sialnya aku memakai baju terusan tipis tanpa lengan.
Mereka melihatku. Sang Ibu ‘durhaka’ dan anak kebanggaannya. Anak laki-laki yang sekitar usia enam atau tujuh tahun. Wajahnya ada kemiripan dengan kami. Alis yang cukup tebal dan wajah yang mungil. Bisa-bisanya anak ini mirip dengan kami. Seharusnya dia hanya perlu mengambil wajah ayahnya saja!
“Isla,” ucap Ibu dengan suara ragu-ragu. “Apa kabarmu nak?”
Aku menghentikan langkahku. Melihat rambutnya yang berubah warna semenjak terakhir kali kami ketemu. Kantung matanya terlalu besar untuk orang yang harusnya tidak punya tekanan hidup lagi karena sudah menjadi orang kaya raya.
Oza menarik sikuku dan dengan terpaksa aku harus duduk mengikuti kemauannya meskipun aku menarik tanganku tidak lama kemudian. Aku melihat bagaimana Ibu melihat tangan Oza yang menyentuh tanganku. Dia seperti berusaha menerka bagaimana hubungan kami dari matanya.
Oza duduk di kursi ujung seperti Raja. Aku berseberangan dengan Ibu dan anak kesayangannya. Pemandangan yang tidak pernah aku bayangkan terjadi. Sayang sekali ini bukan mimpi.
Bahkan mimpi-pun aku tidak ingin seperti ini. Mereka bertiga harusnya tidak ada di hidupku. Aku masih berdoa kalau aku bisa menjalani hidupku sebagai mahasiswi biasa.
“Mama Ayara.” Oza memanggil Ibuku dengan namanya dan dengan sebutan Mama?
Aku membuka mulutku dan menutupnya dengan cepat. “Sepertinya kalian sudah kenal dengan dekat.”
Ibu sudah jelas menyadari kebencianku dari pernyataan itu. Matanya menunduk ke bawah dan tangannya menggenggam tangan ‘anaknya’ di atas meja.
“Kita akan makan malam bersama untuk pertama kalinya sebagai sebuah ‘keluarga’.” Oza seperti meringis mengucapkan kata keluarga. Seolah-olah asing di lidahnya.
“Kita nggak perlu makan bersama. Langsung saja ke pembahasan utama pertemuan ini.” Aku melipat tanganku.
Ibu sesekali memandangku tapi tidak mengatakan apapun. Ibu harusnya beruntung bukan Tiyana yang ada di kursi ini karena dia adalah orang yang paling muak dengan perselingkuhan, perceraian dan pernikahan kedua seorang Ayara.
Oza mendesah panjang. “Sayangnya, aku lapar dan kamu juga nggak makan banyak tadi siang, gadis cilik. Jadi kita akan makan sesuai dengan apa yang aku mau dan kita akan sambil berbicara masalah pernikahan.”
“Aku udah bilang,”
Oza mengangkat tangannya. Menyuruhku berhenti. “Pernikahan akan tetap terjadi, gadis cilik. Karena Mama Ayara di meja ini melakukan sesuatu denganku.”
Oh Tuhan. “Melakukan apa?”
Ibu menutup matanya saat Oza berbicara lagi.
Oza tersenyum dengan meyakinkan. “Ibu kamu meminjam uang dari keluarga Barabay sejak satu tahun yang lalu.”
Hidupku hancur saat ini juga...