“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 22
“HEY, JANGAN LARI KAU, JINGAAANN!” Madun berteriak murka.
Sosok misterius yang sedari tadi menguping pembicaraan Nyai Lastri dan Mbah Sosro—semakin berlari kencang.
Sontak Madun mengejar, menerobos semak-semak basah dengan langkah kasar dan terengah. Daun-daun menyapu wajahnya, tanah licin membuat kakinya beberapa kali nyaris terpeleset. Namun, sosok berjubah hitam itu terus melaju seperti angin, menembus kegelapan bukit.
“BERHENTI, BRENGSEK! KALAU KETANGKAP—KUPATAHIN KAKIMU!”
Madun terus melesat, napasnya memburu dan dadanya naik turun. Hujan gerimis mulai turun dari langit kelam, membuat tanah makin licin dan semak-semak terasa menyayat kulit. Tapi, tekadnya terlalu besar untuk dihentikan oleh lumpur atau duri.
Tangannya yang lebar, akhirnya berhasil meraih ujung belakang jubah sosok itu—
BRUGH!
Mereka sama-sama terjungkal, berguling keras ke tanah basah.
Keduanya kini berdiri, memasang posisi kuda-kuda, hendak saling baku hantam. Madun lebih dulu maju untuk menyerang, ia melayangkan pukulan. Namun, dengan gesit sosok itu menangkisnya.
“CUIH!” Madun membuang ludah ke tanah yang perlahan mulai becek. “TAK BIKIN MAMPUS, KOWE!”
Keduanya saling menyerang. Tubuh mereka saling menerjang dalam gelap, saling menyikut, menghantam, mendorong, dan mencakar. Hutan bukit seketika berubah menjadi ring adu hidup dan mati.
Namun, Madun mulai kehilangan tenaga. Di usianya yang tak lagi muda, pergelutan ini jelas membuat pria itu kewalahan. Apalagi, dirinya sangat malas berolahraga—membuat refleksnya semakin melambat.
Madun masih melemparkan pukulan—meskipun meleset. Lawannya memanfaatkan celah itu dan mendorong tubuh Madun ke tanah basah, mencekiknya hingga pria itu gelagapan.
“L-e-pas!” jerit Madun terbata-bata.
Dalam keadaan tersudut, Madun berusaha merogoh balik sabuk kulitnya—ia berhasil mengeluarkan sebilah keris kecil berukir. Lalu, dengan segenap tenaga yang tersisa—
JLEB!
Ia menghujamkan senjata itu ke bagian punggung bawah sang lawan.
“ARGGHHH!” Sosok itu menjerit keras.
Darah hangat menyembur, membasahi tangan Madun. Sosok itu terlempar ke samping, menggeliat menahan perih. Namun, naluri bertahannya masih kuat—ia lekas berdiri. Dan lekas melayangkan satu tendangan ke wajah Madun.
DUAK!
ARRRGGGHHH!
Madun menjerit keras manakala tapak sepatu penuh lumpur menghantam wajahnya, pria yang nyaris tua itu langsung terkapar di tanah.
“Sialan!” erang Madun. Darah kental merembes dari ujung bibirnya.
DUAK!
Satu tendangan lagi mendarat mulus di wajahnya. Madun—pingsan seketika.
Momen itu segera dimanfaatkan oleh sosok misterius untuk pergi dari sana. Ia melangkah dengan susah payah, menahan luka di punggungnya. Tubuhnya sempoyongan, tapi masih cukup kuat untuk melangkah—menembus semak belukar, meninggalkan jejak darah yang berceceran di rerumputan.
.
.
“Ayo, tahan tubuhmu, Dun. Jangan mati dulu, setidaknya—sampai masalahku selesai!” Geram Nyai Lastri sambil menarik lengan Madun yang bersimbah lumpur dan darah. Mbah Sosro ikut membantu memapah tubuh Madun ke dalam pondok.
Sesampainya di dalam, Madun terhuyung jatuh di atas tikar usang, napasnya ngos-ngosan, wajahnya lebam dan memar. Darah dari pelipisnya masih menetes.
“Dun, siapa orang tadi? Apa kau melihat wajahnya?!” Nyai Lastri mulai menginterogasi ketika ritme napas Madun mulai teratur.
Madun menggeleng lemah sambil menatap atap berbahan ijuk.
“Wajahnya tertutup kain, Nyai. Saya tak memiliki kesempatan untuk membuka dan melihat wajah manusia jahanam itu!” Napas Madun kembali naik turun. Perlahan ia mengusap mulutnya yang sobek. “Tapi saya yakin, dia sedang mencari tau tentang kita. Gerak-geriknya ... cara ia melangkah ... dan sorot matanya—entah kenapa terasa sangat ... akrab. Seolah saya pernah mengenalnya. Tapi di mana ... saya tak bisa ingat.”
Nyai Lastri mulai gelisah. Ia menerka-nerka, siapa gerangan orang yang membuntuti mereka.
Di luar pondok, hujan masih turun—perlahan semakin deras, seperti ingin menghapus jejak darah yang berserakan di rerumputan.
.
.
Sementara itu, jauh di rumah besar—
Angin malam menyelusup dari sela-sela pohon randu tua, membuat daun-daun bergesekan seperti bisikan alam semesta. Di Paviliun, tepatnya kamar Mbah Darsih, suasana terasa mencekam. Hanya lampu minyak yang menerangi ruangan, bergoyang lembut tertiup angin.
Di dalam kamar itu, Arum duduk berdua dengan Mbah Darsih di pinggir ranjang. Arum tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha! Ramuannya manjur, Mbah. Juragan langsung pingsan. Saya terselamatkan malam ini.”
“Untuk saat ini, kau akan aman, Arum. Tetapi, untuk jangka panjang—lambat laun Juragan bisa curiga,” kata Mbah Darsih pelan. Ada kecemasan di wajah rentanya. “Kita, harus segera menuntaskan dendam kalian berdua.”
Arum meneguk ludah, ia sependapat dengan Mbah Darsih. Sepandai-pandai tupai melompat, pasti jatuh jua. Ia harus menyelesaikan semuanya dengan cepat—sebelum hari apes itu tiba.
Angin malam yang menerobos masuk dari celah jendela semakin membuat ruangan itu terasa dingin nan mencekam. Di tambah lagi tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar jendela—
TOK!
TOK!
TOK!
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣