Misteri Kematian Winarsih

Pak ustadz dan juga Bagas yang kaget mendengar teriakan para santri langsung masuk ke dalam gudang, ternyata di dalam sana ada sosok makhluk yang begitu menyeramkan sedang menyerang para santri.

"Mahkluk apa itu, Pak Ustadz?" tanya Bagas.

Pria itu sudah melihat sosok menyeramkan tersebut saat bi Tuti menyembahnya, tetapi dia tidak tahu soal makhluk apa itu yang dipuja oleh bi Tuti.

"Suami dari bi Tuti," jawab Pak Ustadz.

"Hah? Serius itu suami dari bi Tuti?"

Otak Bagas langsung travelling ke mana-mana, berhubungan dengan manusia saja mahkluk yang namanya wanita itu terkadang kelelahan. Lalu, bagaimana dengan bi Tuti yang memiliki suami makhluk ghaib yang terlihat menyeramkan dengan sosoknya yang tinggi besar.

"Hiiih!" ujar Bagas ketika membayangkan mahkluk itu menggauli bi Tuti.

"Ya, dia punya dua suami. Suami manusia dan juga setan," jawab Pak Ustadz.

Bagas sampai melongo mendengar apa yang dikatakan oleh pak ustadz, ternyata wanita yang bekerja di rumahnya itu bukanlah manusia biasa. Karena wanita itu memiliki dua suami, wanita itu melayani dua makhluk lain sekaligus.

"Lalu, bagaimana cara menghadapi makhluk itu?"

"Bismillahirrahmanirrahim, saya akan berusaha untuk memusnahkan mahluk itu." Pak ustadz menolehkan wajahnya ke arah para santri. "Dari mana datangnya makhluk itu?"

"Dari cermin yang ada di pojok ruangan, Pak Ustadz."

Pak ustadz melihat ke arah cermin yang ada di pojok ruangan, ternyata itu bukanlah cermin biasa. Melainkan pintu menuju dunia lain, makhluk itu bisa datang dan pergi melalui cermin itu.

"Subhanallah, ternyata bi Tuti sungguh matang dalam pemujaan setan ini."

Pak ustadz duduk bersila, dia membaca doa pengusir setan. Mahkluk yang menyeramkan itu berhenti mengganggu para santri, lalu makhluk itu melayang di udara dan mendekat ke arah pak ustadz.

"Awas, Pak Ustadz!" teriak Bagas kaget karena tiba-tiba makhluk itu menyerang pak ustadz.

Bagas mengira kalau pak ustadz akan terluka, karena bola api yang terlihat begitu panas keluar dari telapak tangan makhluk itu. Namun, tiba-tiba saja ada cahaya putih yang melingkari tubuh pak ustadz. Hal itu membuat bola api itu terpental ke arah mahkluk itu.

"Argh! Dasar manusia sialan! Tukang ikut campur, beraninya kalian menyerangku!" teriak Makhluk itu dengan suaranya yang menggelar.

Kemarahan terlihat dengan begitu jelas dari sorot mata makhluk ghaib itu, dia tak terima kalau rumahnya di dunia nyata di obrak-abrik oleh pak ustadz dan juga para santri.

"Ini bukan tempat kamu, tempat kamu adalah di gunung larangan. Pergilah! Jangan ganggu manusia-manusia yang tak berdosa," ujar Pak Ustadz.

"Tidak mau! Aku tidak mau pergi, aku ingin tetap di sini bersama dengan istriku. Aku akan tetap di sini membantu istriku, membantu istriku terhindar dari orang-orang jahat seperti kalian."

Bagas mengerjapkan matanya berkali-kali, dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh makhluk halus itu. Bisa-bisanya makhluk itu mengatakan kalau dirinya dan juga orang-orang yang ada di sana merupakan orang yang jahat, padahal yang jahat itu adalah bi Tuti dan makhluk mengerikan itu.

"Jika kamu bersikeras tidak mau pergi, maka bersiap untuk musnah."

Pak ustadz berkata dengan begitu tenang, berbeda dengan mahkluk ghaib itu yang nampak belingsatan. Makhluk itu mulai ketakutan, karena pak ustad tiba-tiba saja bangun dan mendekat ke arah cermin yang ada di pojok ruangan.

"Mau apa kamu mahkluk jahat?!" teriaknya dengan suaranya yang mampu menggetarkan tiang gudang itu.

"Aku sudah meminta kamu secara baik-baik untuk pulang, tetapi nyatanya kamu malah melawan. Kini, saatnya kamu merasakan akibatnya."

"Hahahahaha! Aku mau tahu apakah makhluk seperti kamu bisa menghancurkan aku atau tidak!" tantang mahkluk itu.

Pak ustadz tersenyum, kemudian dia mengambil potongan kayu yang ada di gudang itu dan memecahkan cermin itu dengan kekuatan penuh.

Prang!

Makhluk ghaib itu semakin marah saja melihat pintu yang terhubung ke dunia ghaib itu hancur berantakan, dia langsung menyerang pak ustadz. Namun, para santri mendekat dan mereka membaca doa pengusir setan bersama-sama.

"Argh! Tolong, jangan lakukan itu! Panas!" teriak mahkluk itu.

Pak ustadz dan para santri tak berhenti, hingga tak lama kemudian mahkluk itu meledak dan berubah menjadi abu.

"Alhamdulillah," ujar semuanya. Mereka merasa lega karena akhirnya makhluk ghaib itu musnah juga.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Pak Ustadz?" tanya Bagas.

"Bakar semua sisa benda yang ada di gudang ini, mulai saat ini kamu harus lebih rajin lagi beribadah agar tak ada setan yang berani mengganggu kalian."

"Insya Allah, Pak Ustadz." Bagas menganggukan kepalanya tanda mengerti.

Bagas, pak ustadz dan juga para santri mengeluarkan semua barang yang ada di gudang. Semuanya mereka bakar, setelah itu mereka membersihkan gudang dan mengepel lantai gudang sampai bersih.

"Terima kasih atas bantuannya, Pak Ustadz."

"Sama-sama, kalau begitu kami permisi."

Bagas tentunya tak membiarkan pak ustadz dan juga para santri pulang sendirian, dia mengantarkan mereka dan tak lupa menyumbang sejumlah uang untuk keperluan pondok sebagai bentuk terima kasih.

"Alhamdulillah, semoga setelah ini Winarsih bisa tenang. Dia bisa bebas dari kerajaan setan dan pulang ke Rahmatullah, Mas ikhlas kehilangan kamu, Dek. Mungkin ini sudah takdir dari Tuhan, Mas harus jadi seorang duda."

Winda sejak kepulangan putranya nampak memperhatikan Bagas, Winda menghampiri Bagas dan duduk tepat di samping pria itu.

"Aamiin, tapi... Ehm! Bunda mau tanya, apakah kamu ada niatan untuk nikah lagi?"

"Entahlah, Bu. Mungkin untuk saat ini tak ada, tapi aku juga pria normal. Mungkin suatu saat aku akan menikah kembali, karena aku butuh istri. Cantik juga butuh ibu," jawab Bagas.

"Hem, Bunda paham. Bunda doakan semoga nanti kamu bisa mendapatkan wanita yang mampu menjadi istri dan juga ibu yang baik untuk anak kamu."

"Aamiin," ujar Bagas mengamini.

Bagas yang merasa begitu lelah segera melaksanakan salat dzuhur, lalu beristirahat di dalam kamarnya. Berbeda dengan bi Tuti, wanita itu baru pulang dari Jogja. Dia membeli banyak makanan yang dipesan oleh Bagas.

Selain itu, bi Tuti membeli perlengkapan untuk pemujaan. Dia juga membeli ayam cemani untuk syarat pemujaan, agar Bagas bisa langsung tunduk bersama dengan ibu dan juga adiknya kepada dirinya.

"Di sini aja, Pak."

Bi Tuti meminta kang becak untuk berhenti di gerbang rumah belakang, karena tak mungkin dia berhenti di gerbang depan. Bi Tuti tak mau kalau ada orang di rumah itu yang mengetahui jika dirinya membawa barang-barang untuk pemujaan.

"Tolong bawakan barang-barangnya sampai pintu dapur," ujar Bi Tuti sambil membuka pintu gerbangnya.

Kang becak menurut, dia membawakan semua barang-barang milik wanita itu sampai ke depan pintu dapur. Bi Tuti lalu memberikan ongkos lebih karena barang yang dia bawa memang sangat banyak.

"Mending nyimpen barang-barang buat muja dulu ke gudang, baru nanti laporan sama Bagas kalau makanan yang dia pesan sudah dibelikan."

Bi Tuti tersenyum penuh kelicikan, kemudian dia melangkahkan kakinya menuju gudang dengan membawa barang-barang untuk pemujaan.

Awalnya senyum terus saja terbit di bibir wanita itu, tetapi tidak lama kemudian senyum itu langsung surut ketika membuka pintu gudang.

"Ya ampun! Ini kenapa gudangnya kosong? Apa aku salah lihat?" tanya Bi Tuti sambil mengucek kedua matanya karena takut salah lihat.

**

Kalau ada typo bisikin, biar Mak Othor edit. Kadang gak dibaca dulu, langsung upload aja. Makasih🥰