PEDANG GENI. seorang pemuda yang bernama Ranu baya ingin membasmi iblis di muka bumi ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Lelaki bersayap itu memberi hormat kepada seorang lelaki setengah baya yang sedang duduk di sebuah kursi yang indah dan mewah. Meskipun terlihat seperti baru berumur setengah baya, lelaki yang duduk di kursi tersebut sejatinya sudah berumur ratusan ribu tahun, atau bahkan jutaan tahun.
"Tuan Andrayaksa, ada seorang manusia yang sudah memasuki pintu gerbang di puncak gunung Soputan. Dia sekarang sedang menunggu di depan pintu."
"Sudah lama sejak 100 tahun lebih yang lalu, baru sekarang ada manusia lagi yang melewati pintu gerbang tersebut," gumam Andrayaksa.
"Suruh dia masuk sendiri! Kau tunggu saja di luar"
"Baik, Tuan."
Lelaki bersayap tersebut menundukkan kepalanya memberi hormat, kemudian berbalik arah untuk menjemput Ranu.
Beberapa saat, Ranu memasuki ruangan itu dengan perlahan. Kekaguman terlihat jelas di mata pemuda itu ketika melihat isi dalam ruangan tersebut yang keindahannya tidak ada duanya.
Atapnya seolah terbuat dari kaca dengan lukisan langit biru dan awan yang menggantung indah.
"Duduklah, Anak Muda!" ucap Andrayaksa.
Ranu mengangguk lalu menempati sebuah kursi yang ada di ruangan itu, tidak jauh dari Andrayaksa.
Mata Andrayaksa yang tajam di buat terkejut, ketika melihat ke dalam tubuh Ranu, "Bagaimana ada ular api milik Dewa Agni di tubuh pemuda ini?" tanya Andrayaksa dalam hati.
"Namaku Andrayaksa. Aku adalah Dewa yang bertugas menjaga perbatasan antara alam manusia dan alam para Dewa. Siapa namamu, Anak muda."
"Namaku Ranu, Tuan Dewa," jawab Ranu, matanya terus bergerak mengamati keindahan yang ada di dalam bangunan luas tersebut.
"Berarti benar aku sekarang ada di alam para Dewa," kata Ranu dalam hati.
"Tidak usah bicara dalam hati, Ranu. Aku bisa mendengar apa yang kau katakan dalam hatimu. Memang benar kau sekarang berada di alam para Dewa. Sekarang katakan padaku, kenapa kau memberanikan masuk melewati pintu gerbang tersebut?" tanya Andrayaksa.
Ranu sedikit terkejut ketika apa yang dia ucapkan di hatinya bisa terbaca oleh Dewa Andrayaksa yang sekarang berada di depannya. Namun dia bisa menyadari, bahwa manusia biasa saja ada yang bisa membaca hati orang lain,apalagi Dewa, batinnya.
"Awalnya aku hanya penasaran apa yang ada di balik pintu gerbang itu, Tuan Dewa. Tapi aku sekalian juga mau meminta petunjuk tentang tugas yang harus aku lakukan," jawab Ranu.
Andrayaksa diam dan membaca kisah hidup Ranu. Sesekali dia menggelengkan kepalanya ketika melihat perjuangan yang dilakukan pemuda itu dalam menjalankan tugasnya.
"Kau pemuda yang tangguh dan bertanggung jawab, Ranu. Bahkan aku bisa menilai jika kau sudah siap berkorban nyawa untuk tugas besar yang bahkan belum kau ketahui apa tugas itu," jelas Andrayaksa
"Kalau untuk petunjuk yang hendak kau tanyakan padaku, Aku tidak bisa menjawabnya, Ranu. Dewa tidak boleh mencampuri urusan manusia secara langsung," lanjut Andrayaksa.
"Berarti percuma aku datang kemari, Tuan Dewa. Aku hanya ingin petunjuk di mana Racun Utara berada. Dia sedang membawa pusaka ketiga yang harus aku kumpulkan demi kedamaian di muka bumi," balas Ranu.
Andrayaksa tersenyum melihat keteguhan yang ditunjukkan Ranu, "Aku hanya bisa sedikit memberimu petunjuk. Carilah sebuah kota bernama Wentira. Di situlah Racun Utara berada sekarang."
"Di mana tepatnya kota Wentira itu berada?" tanya Ranu.
Andrayaksa menggelengkan kepalanya, "Sudah aku bilang, aku tidak boleh mencampuri urusan manusia secara langsung, Ranu. Aku tidak mau bernasib sama seperti dewa-dewa lain yang mendapat hukuman dari Kaisar, karena ikut campur secara langsung urusan manusia."
Ranu tertawa kecil, usahanya untuk mendapat petunjuk lebih ternyata tidak membuahkan hasil. Namun dia sudah bersyukur, karena sudah mendapatkan sebuah petunjuk untuk menemukan Racun Utara.
"Terima kasih atas petunjuk yang Tuan Dewa berikan. Bolehkah aku sekarang kembali ke alam manusia lagi?"
"Apa kau tidak ingin tinggal dan menikmati keindahan yang indah di sini?"
"Maaf, Tuan Dewa. Bagiku, keindahan adalah hal yang semu. Tujuan hidupku hanya ingin bisa selalu berbuat baik dan menjadi pribadi yang bermanfaat kepada sesama, tidak lebih," jawab Ranu.
"Sudah aku duga kau akan menjawab seperti itu, Ranu. Tidak salah kalau Dewangga memilihmu menjadi penerusnya."
"Tuan Dewa tahu juga tentang itu?" Ranu mengernyitkan dahinya karena lagi-lagi di buat terkejut.
Andrayaksa tertawa lebar, "Hampir semua Dewa tahu tentang Dewangga, Ranu. Nanti setelah tugasmu selesai, kau akan bertemu dengannya di alam para Dewa ini! Dan ular api yang ada di dalam tubuhmu itu, hanya orang-orang terpilih yang kuat untuk menampungnya," paparnya.
Ranu semakin bingung dengan penjelasan Andrayaksa, jika nanti dia akan bertemu dengan Pendekar Dewa Api itu di alam para dewa, berarti sosok yang memilihnya itu sekarang berada di alam para dewa juga, pikirnya.
"Tidak usah memikirkan yang aneh-aneh, Ranu. Sekarang akan aku kembalikan kau ke alam manusia lagi."
Andrayaksa melihat ke sekeliling. Setelah itu, dari jari telunjuknya keluarlah seberkas cahaya kecil yang melayang perlahan dan masuk menembus dahi pemuda tersebut.
Ranu yang bisa melihat dengan jelas saat sinar itu menembus dahinya menjadi begitu penasaran. Namun sebelum dia sempat bertanya, Andrayaksa melintangkan jari telunjuknya di bibir menyuruhnya untuk diam.
"Gunakan kunci itu untuk membukanya!"
Ranu baru akan membuka mulutnya hendak bertanya, namun tiba-tiba saja dia sudah berada di padang rumput yang berada di atas gunung Soputan.
Pemuda itu sedikit kecewa karena belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya,"Kunci apa yang dimaksud dan aku harus membuka apa?"tanyanya dalam hati.
Ranu menoleh ke arah kudanya yang masih terikat di sebuah pohon sedang memakan rumput yang tumbuh subur di sekitarnya. Bergegas dia mendekati kuda itu dan kemudian menaikinya.
Tanpa disadari Ranu, durasi waktu ketika dia berada di alam para dewa, berbeda jauh dengan di alam manusia. Jika dia sehari semalam berada di alam para dewa, maka di alam manusia bisa sampai 3 bulan lamanya. Hal itu juga berbeda dengan ketika dia berlatih di kerajaan Dewi Anjani yang malah kebalikannya. Satu tahun di alam jin, sama dengan satu bulan di alam manusia.
Sementara itu, Mahesa yang sudah hampir satu bulan lamanya tinggal di rumah Arika terlihat gundah gulana. Dia mondar mandir memikirkan Ranu yang belum juga datang untuk menjemputnya.
Mahesa sempat berpikir kalau Ranu sengaja meninggalkannya agar dia bisa bersatu dengan Arika. Namun pikiran itu segera ditepisnya jauh-jauh, karena dia merasa Ranu tidak akan setega itu meninggalkannya.
"Kenapa kau terlihat bingung seperti itu, Mahesa?"
Suara Arika mengagetkan Mahesa yang terus berpikir tentang Ranu.
"Kenapa Ranu belum datang juga? Apa dia sudah terkena musibah?" tanya Mahesa. Dia kemudian duduk di sebuah kursi yang berada di dekatnya.
Arika berjalan mendekati Mahesa dan duduk di sebelahnya, "Berdoalah yang baik-baik. Aku yakin Ranu akan ke sini untuk menyusulmu!"
Mahesa memandang wajah cantik Arika yang sedang tersenyum kepadanya.
Sejatinya dia masih merasa malu kepada Arika karena kejadian sekitar tiga Minggu yang lalu. Saat itu, Mahesa yang baru beberapa hari di rumah Atika, memberanikan diri bertanya kepada ayahnya Arika yang seorang tabib, tentang ucapan Ranu yang mengatakan bahwa efek obat yang diberikan kepadanya akan membuat cula badaknya tidak bisa berdiri tegang.
Di saat bersamaan, tanpa Mahesa sadari, Arika sudah berdiri di belakangnya.
Ayah arika yang baru saja pulang setelah bepergian cukup lama, masih belum tahu tentang ramuan dedaunan yang diberikan kepada Mahesa. Dia pun akhirnya bertanya kepada putrinya tersebut.